PANDANGAN SYARIAH DAN SEJARAH TENTANG KHILAFAH

By : Ummu Fatih

Keberadaan Khilafah Islam adalah fakta sejarah. Tak bisa dibantah. Khilafah Islam pernah eksis selama tidak kurang dari 13 abad. Menguasai tidak kurang dari 2/3 wilayah dunia. Jejak Khilafah ini begitu jelas dalam lintasan sejarah di dunia. Termasuk di Nusantara. 

Meski demikian, fakta sejarah Khilafah bukanlah dalil atas kewajiban menegakkan kembali Khilafah. Fakta sejarah Khilafah hanya mengungkap satu hal, yaitu bahwa sebagai suatu kewajiban, Khilafah pernah dipraktikkan oleh kaum Muslim selama berabad-abad. 

Karena merupakan istilah syariah, Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam sebagaimana shalat, puasa, zakat, haji dan yang lainnya. Bahkan Nabi saw. memerintahkan agar umatnya tidak hanya memegang teguh sunnah beliau, tetapi juga sunnah Khulafaur Rasyidin. Nabi saw. bersabda: 

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِيِّنَ مِنْ بَعْدِيْ، وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ 

Kalian wajib berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Perintah untuk terikat dengan sunnah Khulafaur Rasyidin yang terpenting tentu mempertahankan Khilafah dan menegakkan kembali Khilafah jika Khilafah tidak ada, sebagaimana saat ini. Karena itulah semua ulama kaum Muslim sepanjang zaman sepakat, bahwa adanya Khilafah adalah wajib. Kewajiban ini antara lain berdasarkan dalil al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat. 

Pertama: Dalil al-Quran. Allah SWT berfirman:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi Khalifah…” (QS al-Baqarah [2]: 30).

Kedua: Dalil as-Sunnah. Di antaranya sabda Rasulullah saw.:

مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً 

Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada Imam/Khalifah), maka ia mati jahiliah (HR Muslim).

Ketiga: Dalil Ijmak Sahabat. Perlu ditegaskan, kedudukan Ijmak Sahabat sebagai dalil syariah—setelah al-Quran dan as-Sunnah—sangatlah kuat, bahkan merupakan dalil yang qath’i. Imam as-Sarkhashi menegaskan:

وَمَنْ أَنْكَرَ كَوْنَ الإِجْمَاعُ حُجَّةً مُوْجِبَةً لِلْعِلْمِ فَقَدْ أَبْطَلَ أَصْلَ الدِّيْنِ…فَالْمُنْكِرُ لِذَلِكَ يَسْعَى فِي هَدْمِ أَصْلِ الدِّيْنِ.

Siapa saja yang mengingkari kedudukan Ijmak sebagai hujjah yang secara pasti menghasilkan ilmu berarti benar-benar telah membatalkan fondasi agama ini. Karena itu orang yang mengingkari Ijmak berarti sedang berupaya menghancurkan fondasi agama ini.” (Ash-Sarkhasi, Ushûl as-Sarkhasi, I/296).

Imam al-Haitami menegaskan:

أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ اِنْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ، بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اِشْتَغَلُّوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ ﷺ.

Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah berijmak bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw. (Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7).

Syaikh Abdurrahman al-Jaziri menuturkan:

إِتَّفَقَ اْلأَئِمَّةُ رَحِمَهُمُ اللهُ تَعَالىَ عَلىَ أَنَّ اْلإِمَامَةَ فَرْضٌ

Para imam mazhab (yang empat) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib (Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, V/416).

Hal senada ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah. Bukan berdasarkan akal.” (Ibn Hajar, Fath al-Bâri, XII/205).

Pendapat para ulama terdahulu di atas juga diamini oleh para ulama muta’akhirîn (Lihat: Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88; Dr. Dhiyauddin ar-Rais, Al-Islâm wa al-Khilâfah, hlm. 99; Dr. Abdul Qadir Audah, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah, hlm. 124; Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani (Pendiri Hizbut Tahrir), Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, 2/15; Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 248).

Ulama Nusantara, Syaikh Sulaiman Rasyid, dalam kitab berjudul Fiqih Islam, juga mencantumkan bab tentang kewajiban menegakkan Khilafah. Bahkan bab tentang Khilafah juga menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air.

Berdasarkan dalil-dalil di atas—dan masih banyak dalil lainnya—yang sangat jelas, seluruh ulama Aswaja, khususnya empat imam mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Hanbali), sepakat bahwa adanya Khilafah, dan menegakkan Khilafah ketika tidak ada, hukumnya wajib.
Previous Post Next Post