Berbeda dari tahun sebelumnya, kali ini mahasiswa baru UI diharuskan untuk menandatangani dokumen Pakta Integritas di atas materai setelah dicetak. Setelah file itu didapatkan mahasiswa baru, mereka pun langsung menandatanganinya, bahkan tak sedikit dari mereka yang tidak membaca isinya terlebih dahulu, karena masih banyak tugas administrasi dan orientasi yang harus mereka urus.
Terdapat 13 poin dalam Pakta integritas tersebut. Poin pertama dan kedua tentang kewajiban mahasiswa baru mengamalkan nilai-nilai universitas dalam kehidupan sehari-hari serta kewajiban mematuhi tata tertib dan peraturan kampus. Poin ketiga sampai kelima menyatakan kesediaan mahasiswa baru menerima sanksi akademik atau pidana atau perdata apabila melakukan pelanggaran aturan kampus atau hukum positif yang berlaku di Indonesia. Poin keenam terkait kewajiban memberikan informasi dan data yang benar. Pada poin ketujuh, mahasiswa baru wajib menjaga harkat martabat pribadi, keluarga, dan instansi. Pada poin kedelapan, mahasiswa baru diminta mempersiapkan diri dan menjalankan dengan sungguh-sungguh apabila diminta mewakili universitas atau negara dalam kegiatan akademik maupun non-akademik. Lalu poin kesembilan menyebut mahasiswa akan bertanggung jawab pribadi jika mengalami gangguan fisik atau mental. Pada poin kesepuluh, dikatakan bahwa mahasiswa baru UI tidak boleh terlibat dalam politik praktis yang mengganggu tatanan akademik dan bernegara. Poin nomor sebelas, mahasiswa baru dilarang mengikuti kegiatan yang diselenggarakan pihak yang tak mengantongi izin kampus. Kemudian Pakta ditutup dengan pernyataan berikut: "Dengan ini, saya telah membaca, memahami isi dari Pakta Integritas ini, serta setuju secara sadar dan tanpa ada unsur paksaan, untuk menandatanganinya. Jika saya melakukan pelanggaran terhadap Pakta Integritas ini, maka saya bersedia menerima sanksi dari universitas, yang setinggi-tingginya yaitu pemberhentian sebagai mahasiswa/i Universitas Indonesia."
Sayangnya, Pakta Integritas tersebut memiliki memiliki kesan negatif, khususnya bagi mahasiswa baru. Misalnya pada poin nomor 9 "siap menjaga kesehatan fisik dan mental serta bertanggung jawab secara pribadi jika di kemudian hari mengalami gangguan kesehatan". Artinya, jika terjadi pelecehan seksual, kekerasan, dan semacamnya di lingkungan kampus, pihak kampus enggan untuk memberikan layanan kesehatan. Universitas jadi abai sekali terhadap keadaan mahasiswanya. Demikian pula dengan poin ke-10. Frasa "politik praktis" atau "mengganggu tatanan akademik dan bernegara", seolah-olah membatasi ruang gerak mahasiswa untuk mejadi kompeten dan menumbuhkan sifat non-kritis pada suatu hal. Kita dipaksa untuk menyetujui apa yang sebenarnya tidak sesuai dengan pemikiran kita serta kita dilarang untuk mengkritis kebijakan yang bertentangan dengan ide kita.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI Fajar Adi Nugroho pun menilai Pakta Integritas UI. Menurutnya, UI sudah memiliki Peraturan Rektor dan Peraturan Majelis Wali Amanat (MWA) yang memuat larangan-larangan bagi mahasiswa. Posisi Pakta Integritas dalam sistem aturan UI menjadi tidak jelas. Poin ke-9 Pakta Integritas pun bertentangan dengan pasal 84 Anggaran Rumah Tangga UI yang menyatakan mahasiswa berhak untuk memperoleh pendidikan, pembelajaran, dan layanan yang berkualitas. "Pada akhirnya, ilusi program kampus merdeka tampak jelas di kampus kuning ini. Kampus perjuangan yang ternyata juga perlu untuk diperjuangkan dari dalam, hal-hal yang menjadi hak-hak mahasiswa," ujar Fajar. Fajar mengatakan BEM akan menggelar audiensi dengan pihak universitas dalam waktu dekat untuk membahas masalah ini.
Setelah Pakta Integritas ramai dibicarakan dengan nada negatif di media sosial, UI mengeluarkan tanggapan lewat siaran pers nomor Peng-186/UN2.HIP/HMI.03/2020. Menurut siaran pers, dokumen "yang telah beredar di kalangan mahasiswa baru bukan merupakan dokumen resmi yang telah menjadi keputusan Pimpinan UI." "Hal ini ditunjukkan antara lain dengan beredarnya beberapa versi dari dokumen dengan judul yang sama di kalangan masyarakat dan ketidaksesuaian format dokumen tersebut dengan format standar dokumen resmi UI," kata UI pada poin ke-2. Dengan kata lain, yang dipermasalahkan adalah beredarnya berbagai versi dari Pakta Integritas. Mereka sendiri membenarkan adanya dokumen ini dengan mengatakan "Pimpinan UI sangat menyayangkan penyebaran dokumen yang menyangkut kepentingan mahasiswa tersebut."
Lalu sebenarnya, adakah sisi positif dari Pakta Integritas UI? Menurut Reni Suwarso, Dosen Ilmu Politik Fisip UI, mahasiswa baru UI bisa belajar patuh terhadap hukum dengan bersedia menerima sanksi akademik atau sanksi pidana jika melakukan pelanggaran aturan kampus atau pelanggaran hukum. Seperti diketahui bahwa masalah penegakkan peraturan dan hukum di Indonesia masih sangat lemah.
Tampaknya, hal tersebut tidak dapat berjalan optimal jika diterapkan di sistem saat ini. Tujuan agar mahasiswa bisa patuh terhadap hukum tidak bisa diterapkan jika mahasiswanya dilarang untuk untuk berpikir kritis. Mahasiswa baru akan menjalankannya dengan rasa terpaksa, tanpa diiringi dengan keingintahuan mengapa harus mematuhi hukum. Alhasil, ia pun akan patuh ketika berada di lingkungan universitas, dan enggan patuh ketika berada di luar lingkungan tersebut.
Budaya berpikir kritis juga telah Allah perintahkan di dalam Al-Qur’an. Banyak sekali ayat yang berakhiran “afala ta’qiluun”, yang artinya “apakah kamu berpikir”. Tanpa budaya berpikir inilah, tak akan berkembang ilmu pengetahuan, manusia akan tetap berada pada ketidaktahuan. Islam pun tidak mungkin akan bisa berkembang pesat seperti saat ini. Situs-situs Islam tak mungkin dapat mudah terjangkau seperti saat ini.
Satu-satunya sistem yang dapat menghargai ilmu pengetahuan adalah sistem khilafah. Sistem ini sangat menghormati orang-orang yang berilmu seperti guru ataupun ulama. Dengan kata lain, kemauan masyarakatnya untuk bisa menjadi orang yang berilmu atau berpikir kritis juga sangat tinggi. Sehingga ketika ada aturan yang diperintahkan oleh Allah ataupun pemimpin pada saat itu, dengan lapang hati mereka mau untuk tunduk patuh, karena dalam dirinya sudah tertanam alasan yang kuat mengapa harus melakukan hal tersebut. Sistem seperti inilah yang seharusnya hadir di tengah-tengah masyarakat yang minim akan ilmu. Dengan sistem ini, masyarakat akan tumbuh sebagai masyarakat yang tajam pemikirannya.
Wallahu a'lam bishshawab
Post a Comment