Belum lama ini, sebuah Pakta Integritas bermeterai untuk para mahasiswa baru (maba) dikeluarkan oleh Universitas Indonesia. Pro kontra pun mengiringi. Bagaimana tidak, ada diantaranya pasal kontroversioanal di dalamnya. Salah satunya adalah larangan "Berpolitik praktis yang mengganggu tatanan bernegara" dan "Terlibat dalam organisasi yang tak diizinkan pimpinan fakultas/universitas". ( tirto.id/11/09/2020). Kedua pasal tersebut kemudian disinyalir membatasi hak politik dan berorganisasi mahasiswa.
Selain itu, terdapat pasal kontroversial lainnya; “Mahasiswa UI tidak akan melakukan ataupun terlibat dalam tindak pidana khususnya penyalahgunaan narkoba, pelecehan seksual, kekerasan seksual, intoleransi, radikalisme, dan terorisme dalam bentuk apapun". Jelas bahwa dengan menambahkan kata intoleransi, radikalisme yang masih multitafsir, bahkan cenderung mendiskreditkan Islam, sebagaimana istilah yang dikeluarkan oleh Menteri Agama yaitu good looking sebagai agen radikal. Maka pasal ini sangat berpeluang digunakan mempersekusi aktivis dakwah kampus atau menjauhkan mahasiswa dari aktivitas mengkaji Islam.
Pakta ini kemudian secara otoriter disuguhkan kepada para mahasiswa. Tidak ada pilihan lain selain menandatanganinya, serta siap dengan konsekuensinya jika tak mengindahkan, seperti akan di nonaktifkan sebagai mahasiswa dan lain-lain.
Wajarlah kemudian Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) Fajar Adi Nugroho menyatakan, pihaknya telah mengeluarkan pernyataan sikap BEM UI dengan menolak PI-UI tersebut. Mahasiswa Fakultas Hukum UI itu menjelaskan, Pakta Integritas tersebut mengandung banyak poin-poin yang bermasalah secara kasat mata. Diantaranya dengan jelas mengisyaratkan pengekangan hak-hak mahasiswa dan lepas tanggung jawab universitas terhadap mahasiswanya yang melakukan tindakan bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya bahkan Pakta Integritas tidak terdapat di peraturan internal UI. (mediaindonesia.com,16/09/2020)
Jika pakta integritas benar-benar diterapkan, maka suara kritis mahasiswa juga telah dilenyapkan. Inilah sesungguhnya masa kehancuran negeri ini. Bagaimana tidak, kita bisa bayangkan profil mahasiswa hasil didikan sistem pendidikan tinggi saat ini, yaitu mahasiswa 3P ( kuliah, kampus dan kampung). Mahasiswa juga akan semakin jauh dari agamanya karena kata “radikalisme”, sehingga berpeluang lebih dekat dengan gaya hidup hedonis, daripada aktif ikut kajian dan terlibat dalam aktivitas dakwah kampus. Mahasiswa akan menjadi apatis dan pragmatis (sibuk kuliah) serta menjadi semakin tidak peduli dengan masalah rakyat.
Namun sesungguhnya, pakta integritas hanyalah penyempurna dari program penguasa untuk membungkam suara kritis mahasiswa. Hal ini terjadi karena kapitalis sangat takut adanya pemahaman ideologi Islam di kalangan mahasiswa, sehingga rawan menjadi martir kebangkitan umat untuk menjatuhkan sistem sekuler-kapitalisme. Mahasiswapun dibungkam dengan ditakut-takuti “sanksi” sejak awal menjadi mahasiswa. Inilah cara lama yang kembali dilakukan ketika kepentingan sekuler-kapitalisme terancam. Sebab jika melihat fakta, di masa orde baru, pasca demonstrasi mahasiswa pada tahun 1978, Soeharto berusaha menekan seluruh komunitas kampus dengan kebijakan yang bernama Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kampus (BKK). NKK BKK sendiri melarang ekspresi dan aktivitas politik di kampus dan menempatkan semua aktivitas kemahasiswaan di bawah kendali rektor.
Padahal secara fakta, mahasiswa dan akademisi adalah salah satu elemen masyarakat, yang tentu saja tidak bisa dipisahkan dari politik. Maka kampus sejatinya tidak bisa menghambat mereka dari perannya terhadap masyarakat dan bangsa ini.
Inilah wujud nyata gagalnya sistem pendidikan tinggi dalam mengoptimalkan potensial mahasiswa sebagai agen perubah dan aset berharga sebuah bangsa. Sebab salam sistem sekuler-kapitalisme, sistem pendidikan tinggi hanyalah sebagai aset bisnis. Hal ini terbukti dari berbagai kebijakan kapitalisasi pendidikan, perkawinan kampus dengan industri hingga kurikulum kampus harus disesuaikan dengan industri. Sehingga goal dari menempuh pendidikan tinggi bukan lagi untuk umat, melainkan untuk korporasi kapitalis semata.
Dengan dibungkamnya suara mahasiswa mengkritisi kebijakan penguasa, maka kedzaliman rezim terus berjalan tanpa kritik dan rakyat semakin sengsara. Inilah konsekuensi logis dari penerapan sistem sekuler kapitalisme. Potensi mahasiswa dibajak dan diarahkan untuk menjadi buruh kapitalis ketika lulus. Sehingga sudah saatnya dibutuhkan perubahan sistemis, yaitu sistem Islam dalam bingkai negara Khilafah Islamiyah. Wallahu A'lam Bissawab
Post a Comment