Oleh: Dian Wisdiyanti
Ibu Rumah Tangga
Dilansir dari worldometers.info pukul 08.00 WIB, kasus Covid-19 di seluruh dunia per Rabu (16/9/2020), mencapai 29.715.420 kasus. Dari jumlah tersebut, terdiri dari 938.406 orang meninggal dunia dan 21.523.708 pasien telah sembuh. Sementara itu, Indonesia ada di posisi 23, di atas China, dengan 225.030 kasus. Jumlah kematian 8.965 dan pasien dinyatakan sembuh 161.065 orang. Kini terdapat 55.000 kasus Covid-19 aktif atau yang dalam perawatan di Indonesia. Dengan demikian berdasarkan lingkup Asia, Indonesia berada di atas China, dan menjadi negara dengan kasus Covid-19 terbanyak di Asia Tenggara setelah Filipina.
Namun di tengah pandemi corona yang semakin meningkat di Indonesia, pemerintah memutuskan untuk tetap melanjutkan pelaksanaan pilkada dengan memperhatikan protokol kesehatan yang ada. Tentu ini sesuatu yang sangat mengkhawatitkan bagi kita semua. Karena itu banyak kalangan masyarakat kemudian menyampaikan aspirasinya supaya pilkada ditunda dulu hingga selesai pandemi. Sayangnya tidak demikian dengan pandangan penguasa, menurut mereka pilkada ini sangat penting dalam pelaksanaan pesta demokrasi di Indonesia sehingga harus tetap terlaksana.
Pemungutan suara pilkada sendiri akan dilaksanakan serentak pada 9 desember 2020. Dan ketua KPU RI Arief Budiman sendiri mengatakan siap dengan seluruh perangkat hukum dan anggaran pelaksanaan pilkada dengan memprioritaskan keamanan dan kesehatan bagi penyelenggara maupun pemilih dalam pilkada ini.
Namun tidak demikian menurut Dirut Indo Barometer, Mohammad Qodari meminta pemerintah dan DPR merespon serius pilkada sebagai klaster Covid-19. Menurutnya pilkada 9 Desember bisa menjadi superbig spreader alias bom atom kasus Covid-19. Dari simulasi yang dilakukan, kata Qodari, pilkada berpotensi melahirkan kerumunan di 305.000 titik. Itu berdasarkan estimasi jumlah tempat pemungutan suara (TPS) dalam pilkada serentak.
Di negeri ini demokrasi masih saja dianggap sebagai sebuah sistem yang baik untuk keberlangsungan kepemimpinan, buktinya nyata, saat ini meskipun demokrasi bentuknya berubah dari mulai demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila dst, tetap demokrasi masih diminati dan bisa disesuaikan dengan kondisi dan kepentingan yang ada bahkan sekalipun itu dalam kondisi pandemi.
Padahal bukti bahwa demokrasi ini buruk pun telah nyata di hadapan kita. Betapa tidak, kondisi kehidupan yang semakin sulit karena pandemi saja bukannya mendorong pemerintah mancari solusi yang bisa segera mengatasi keadaan ini. Alih-alih mereka mengurus rakyatnya yang terkena dampak pandemi, mereka justru mendahulukan kepentingan kekuasaannya. Sungguh ironi!
Lagipula sudah berkali kali pilkada dilakukan, namun negeri ini tak juga kunjung mengalami perubahan yang baik, sekali lagi, alih-alih perubahan lebih baik terwujud yang ada justru kondisi masyarakat semakin parah saja. Ekonomi semakin sulit ditambah karena pandemi dan resesi dunia, pendidikan tak tentu arah, ktiminalitas makin tinggi dan sederet masalah lain yang saling berkaitan dan makin menampah runyam keadaan.
Karena itu sudah saatnya kita menyadari bahwa berharap bahkan masih saja percaya pada demokrasi adalah sebuah kesalahan besar. Tentu keledai saja tidak akan terperosok dua kali pada lubang yang sama. Maka apatah mungkin kita seharusnya bisa beralih kepada sistem alternatif lain yang lebih baik dan sesuai dengan keyakinan kita sebagai kaum muslimin yang taat kepada Allah dan RasulNya?
Allah Swt. berfirman dalam Al Qur'an surat Al Ahzab ayat 21 yang artinya "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah".
Maka sudah selayaknya sebagai hambaNya, sebagai umat Nabi yang mengakui mencintainya kita ambil sistem yang diperintahkan Allah dan pernah dicontohkan Nabi, yakni sistem Khilafah Islam. Karena sudah pasti sistem ini terbaik bagi manusia, membawa rahmat bagi seluruh alam dan yang memberi kebaikan dunia akhirat.
Wallahu’alam Bi Shawwab.
Post a Comment