Negara Wajib Hentikan Persekusi, Bukan Malah Apresiasi

Oleh: Baiq Winda Asmiati Dewi
(Aktivis Dakwah Kampus)

Viral video salah satu ormas yang mendatangi seorang kiai di sebuah madrasah, Kecamatan Rembang Pasuruan. Pro dan kontra muncul dari berbagai pihak atas tindakan tersebut. Sebab ketua ormas tersebut, yang juga merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pasuruan, Saad Muafi, bersama anak buahnya menggeruduk, membentak dan menunjuk-nunjuk Kiai Zainullah.

Diketahui, ormas tersebut berupaya melakukan tabayun atau klarifikasi atas dugaan penghinaan terhadap tokoh NU Habib Luthfi oleh akun media sosial salah seorang guru di sebuah yayasan lembaga pendidikan keagamaan di Rembang, Yang diduga bagian dari gerakan Islam yang telah dibekukan badan hukumnya, yaitu Hizbut Tahrir Indonesia  (HTI), yang selama ini istiqomah memperjuangkan Khilafah.

Mereka menemui Abdul Halim, dan Zainullah sebagai pimpinan madrasah dengan nama Yayasan Al Hamidy Al Islamiyah. Meski terjadi perdebatan panas antara ketua PC GP Ansor Bangil dengan Ustadz Zainullah. Sikap garang dan penuh amarah ditunjukkan Muafi selaku Ketua PC Ansor. Namun, tidak membuat Kiai Zainullah berbuat hal yang sama. Ia tetap tenang dan meminta agar dilaporkan ke polisi jika memang ada tindakannya yang keliru. (FAJAR.co.id, /23/08/20)

Atas perlakuan PC Ansor Bangil. Menteri Agama (MENAG) Fachrul Razi justru mengapresiasi sikap Banser yang mempersekusi Kiai Zainullah. Menag menganggap cara yang dilakukan banser sudah tepat karena mengedepankan cara yang penuh kedamaian. Ia mengatakan bahwa "Saya memberi apresiasi atas langkah tabayyun yang dilakukan oleh Banser PC Ansor Bangil yang mengedepankan cara-cara damai dalam menyikapi gesekan yang terjadi di masyarakat terkait masalah keagamaan."

Pernyataan menag diluar nalar kesadaran. Apakaah tindakan persekusi harus diapresiasi? Bukankah hal itu salah?

Jika benar negara ini berdasarkan hukum. Lantas, kenapa  banser main hakim sendiri? Apalagi dengan sengaja membentak-bentak sesama warga sipil yang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah meminta Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi mampu membedakan tabayyun dengan persekusi. Serta  Menag perlu menempatkan diri sebagai mediator terhadap hal yang berkaitan dengan masalah agama, termasuk kerukunannya. Dan mampu menempatkan diri sebagai penengah bukan menjadi pendukung salah satu pihak yang belum tentu benar dalam bertindak. (tagar.id, 22/8/2020).

Menag semestinya punya kemampuan membedakan tabayyun dan persekusi.  Apalagi memaksa seseorang mengakui aktivitas yang tidak terbukti benar di muka hukum.

Sejumlah tokoh juga mengkritik sikap Menag yang memberikan apresiasi terhadap Banser. Salah satunya Sosiolog Prof Musni Umar, ia menyesalkan respon Menteri Agama Fachrul Razi terhadap aksi penggerudukan Banser terhadap ulama yang dituduh anggota HTI. Sebab, dia melihat proses tabayun oleh Banser dilakukan dengan cara membentak dan mengintimidasi.

Jika aksi penggerudukan dilakukan banser atas ketidaksukaan dakwah khilafah. Lantas, apakah menyampaikan pendapat di depan umum tentang ide khilafah itu sebuah tindakan melawan hukum? Apakah itu merupakan tindakan yang melanggar konstitusi negara?

Jika penyebaran ide khilafah dianggap meresahkan masyarakat. Apakah mendakwahkan ajaran Islam menyebabkan kegaduhan hingga mempertaruhkan nyawa manusia? Apakah membuat rakyat menderita hingga membuat mereka kelaparan atau memiskinkan mereka akibat penyebaran ide khilafah?

 Segudang pertanyaan seperti ini tak mampu menjawab tuduhan Banser, bahkan jika dijawab pun akan membantah segala tuduhan yang diarahkan pada pendakwah Islam.  

Jadi, dukungan  Menag  terhadap tabayyun versi banser merupakan sikap ketidakwajaran. Dan ini disaksikan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Sangat disayangkan sikap Banser, padahal slogan yang sering digaungkan  yaitu bela agama, tapi pada prakteknya mengintimidasi Ulama.

Sikap banser ini mejadi perbincangan di tengah-tengah publik, bahkan diangkat menjadi topik terhot di salah satu stasiun  TV Nasional. Sementara, menuai pro dan kontra di berbagai kalangan dan tokoh agama salah satunya ustadz Ismail Yusanto. 

Ustad z Ismail Yusanto saat diwawancarai dalam program Kabar Malam TvOne mengatakan tidak selayaknya bagi seorang muslim menghalangi dakwah saudaranya yang lain. Khilafah itu bagian dari ajaran Islam yang sangat jelas sebagaimana yang ada dalam kitab fikih yang diajarkan di Madrasah Aliyah, sampai akhirnya digeser kepada materi tarikh. Dalam kitab tersebut dikatakan fardu kifayah. Jadi siapa saja yang mengatakan bahwa khilafah itu sesat, khilafah itu bukan ajaran Islam, maka dia akan berhadapan dengan pemilik ajaran itu, Allah SWT.

Beginilah sistem demokrasi, kebebasan berpendapat dibatasi, dan dibungkam suaranyam. Hal ini terlihat jelas di mata publik, wajah buruk demokrasi.

Slogannya menjamin kebebasan berpendapat, tapi di sisi lain mepersekusi orang-orang yang menyuarakan kebenaran.
Lantas, bagaimana sikap negara dalam menyikapi problematika seperti ini? Ya, tentu. Sikap negara sudah ditunjukkan lewat menterinya. Bukannya menghentikan, malah memberikan pujian.


Beginilah sistem demokrasi yang kerap kali menjadi alat untuk kepentingan segelintir orang. Melindungi kaum LGBT tapi mengkriminalisasi ulama. 

Sikap pemerintah kontra sekali terhadap para  ulama. Tidak ada empati apalagi pujian yang datang menghampiri. Justru memberikan tindakan representatif anti Islam. Rezim malah memberi apresiasi terhadap ormas yang berani unjuk gigi dengan dalih penjaga NKRI. 

Inilah negara demokrasi, ruang  kebebasan diberikan bagi mereka yang menyuarakan kesesatan dan penyimpangan. Sementara pendakwah yang menyuarakan Khilafah dan menyebarkan ide tersebut siap untuk ditindak. Jika tidak dipersekusi, maka berakhir di jeruji besi. Astaghfirullah. Masih percaya demokrasi?


Yang dilakukan oleh banser tersebut jelas sebuah persekusi karena sangat jelas bahwa Khilafah bukanlah ideologi. Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam. Hal ini pun ditegaskan oleh Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan dan Ustaz Ismail Yusanto. Negara pun memahami hal ini dilihat dari adanya perubahan materi Khilafah dari pelajaran Fikih ke pelajaran Sejarah. Dari sini sebenarnya negara pun menyakini Khilafah ada dan bagian dari Islam.

Sedangkan mengenai pembubaran HTI (walaupun sudah dijelaskan bahwa tidak ada pembubaran oleh pemerintah, hanya pencabutan BHP) tidak lantas menjadi legitimasi kebolehan persekusi yang dilakukan oleh banser. Dalih Hizbut Tahrir dibubarkan di berbagai negara di negeri-negeri kaum Muslimin yang lain tidak bisa dijadikan patokan bahwa Hizbut Tahrir salah. Hal ini hanya membuktikan ketakutan rezim akan tegaknya institusi syar'i tersebut. Sehingga mereka melakukan pelarangan dan pembubaran secara sepihak.

Dengan demikian, jelaslah bahwa persekusi yang dilakukan pada para aktivis yang menyerukan pentingnya penegakan Khilafah, tidak sesuai dengan konstitusi. Sepatutnya, sebagai sesama Muslim kita bahu-membahu dalam memperjuangkan Khilafah. Sebab, karena ketiadaan Khilafah-lah terjadi perpecahan di tubuh kaum Muslimin. 

Wallahu a’lam bi Ash-shawwab
Previous Post Next Post