(Praktisi Kesehatan)
Berita yang tidak asing lagi terdengar bahwa Indonesia tengah menjadi sorotan dunia, sayangnya bukan karena prestasi, namun sikap 59 negara yang melarang warga negara Indonesia (WNI) masuk ke negaranya tidak lain karena efek Pandemi Covid-19. Hal ini, dinilai harus menjadi bahan instrospeksi bagi pemerintah Indonesia. Apalagi, larangan itu diberlakukan karena angka kasus positif penularan virus Corona (Covid-19) di Indonesia tinggi.
Anggota Komisi IX DPR RI, Saleh Partaonan Daulay menilai; hal ini merupakan bukti ada masalah dalam penanganan virus Corona jenis baru yang menyebabkan Covid-19 di dalam negeri, sehingga 59 negara tersebut pantas khawatir dengan penyebaran virus dari para WNI. Larangan yang diberlakukan 59 negara terhadap WNI penting diperhatikan dan disikapi oleh pemerintah Indonesia, karena berimplikasi pada berbagai sektor, termasuk kegiatan ekonomi WNI di 59 negara tersebut.
Secara global, kondisi pandemik Covid-19 di seluruh dunia memasuki bulan ke-9, namun justru tak menunjukkan perbaikan. Data dari World O Meter per Rabu (9/9/2020), memperlihatkan 27,7 juta orang sudah terpapar Covid-19. Sebanyak 901 ribu orang di antaranya meninggal akibat penyakit yang disebabkan virus Sars-CoV-2 itu.
Di Indonesia sendiri pada Jum’at, 11 September 2020, jumlah kasus positif virus Corona COVID-19 di Indonesia bertambah 3.737. Total menjadi 210.940 positif, 150.217 sembuh, dan 8.544 meninggal. Sementara itu, jumlah spesimen yang diperiksa tercatat sebanyak 31.813 dan jumlah pasien suspek tercatat 94.886 kasus. (health.detik.com, 11/09.2020)
Berikut daftar terbaru negara yang sementara waktu menutup pintu bagi warga asing dan WNI: 1. Chile, 2.Peru, 3.Paraguay, 4.Kolombia, 5.Triniadad dan Tobago, 6.Papua Nugini, 7.Korea Utara, 8.Selandia Baru, 9.Mongolia, 10.Italia, 11.Spanyol, 12.Portugal, 13.Bhutan, 14.India, 15.Siprus, 16.Uni Emirat Arab, 17.Oman, 18.Palestina, 19.Rusia, 20.Rumania, 21.Montenegro, 22.Bosnia, 23.Georgia, 24.Denmark, 25.Finlandia, 26.Estonia, 27.Latvia, 28.Lithuania, 29.Ceko, 30.Hongaria, 31.Polandia, 32.Slovakia, 33.Kanada, 34.Bahamas, 35.Norwegia. 36.El Salvador, 37.Guatemala, 38.Honduras, 39.Costa Rika, 40.Panama, 41.Malaysia, 42.Afrika Selatan, 43.Sierra Leone, 44.Djibouti, 45.Iran, 46.Azerbaijan, 47.Bangladesh, 48.Kazakhstan, 49.Uruguay, 50.Vietnam, 51.Singapura, 52.Jepang, 53.Arab Saudi, 54.Australia, 55.Kamboja, 56.Brunei Darussalam, 57.Suriname, 58.Yordania, 59.Qatar.
Inilah sedetan daftar Negara yang menutup pintunya bagi WNI. Lantas bagaimana nasib negeriku kedepannya?
Karantina Terlambat, Namun Harus Segera dilakukan!
Pemerintah DKI jakarta akan meniadakan isolasi mandiri khusus bagi pasien positif covid-19 bergejala ringan dan orang tanpa gejala(OTG). Mereka harus menjalani isolasi ditempat yang disediakan pemerintah baik rumah sakit,wisma atlit dan lokasu lainnya bukan dirumah masing-masing( Tempo.co. )
"sedang disiapkan regulasinya bahwa isolasi mandiri itu dikelola oleh pemerintah sehingga lebih efektif dalam memutus mata rantai covid-19 "kata Anies dalam rekaman suara yang diberikan Humas DKI ,selasa,1september 2020.
Rencana PSBB juga akan kembali dilakukan dijakarta pada 14september nanti mengingat penyebaran virus covid-19 dijakarta sangat menghawatirkan.
Rencana isolasi mandiri khusus bagi pasien positif covid-19 bergejala dan orang tanpa gejala(OTG) dianggap pilihan yang buruk karena dari pengalaman yang sudah ada ini sangat menabrak realita kegagalan pemerintah menyiapkan tenaga kerja medis,anggaran,dan fasilitas kesehatan. Masyarakat tentunya mengambil pelajaran dari yang sudah dilalui ini akan sangat menambah beban tenaga medis yang menjadi garda terdepan dimana sudah 100 dokter dan banyak lagi perawat dan tenaga medis lainnya yang gugur dalam masa pandemi ini.
Anggaran dan fasilitas yang dibutuhkan untuk membuat karantina mandiri khusus pun akan menambah anggaran pemerintah.
Tapi kalau ditelisik lagi sebenarnya ini adalah pilihan yang terbaik yang semestinya diambik sejak awal untuk menghentikan sebaran virus.karantina pembawa virus dan area tertentu yang menjadi sumber sebaran inilah yang diadopsi dalam islam bukan lockdown total(blanket lockdown)
Seperti dalam hadits Rosulullah,Saw; "jika kalian mendengar wabah melanda suatu negeri makan jangan kalian memasukinya dan jika kalian berada didaerah itu janganlah kalaian keluar untuk lari darinya". (HR.Bukhari dan muslim)
Jadi si pembawa virus harus dikarantina agar tidak menyebar daerah sebaran wabah harus ditutup sehingga virus tidak semakin menjalar keseluruh daerah. Harapannya ini bisa diberlakukan di seluruh wilayah nusantara/Indonesia agar penanganan berjalan baik dan seimbang.
Perubahan Sistem adalah Kebutuhan Negeriku
Kasus Corona sudah menyebar luar biasa luasnya. Jika diantisipasi sejak dini, tentu wabah tidak akan separah saat ini. Seharusnya, sejak awal wabah negara fokus pada kesehatan, bukan justru mementingkan ekonomi. Apalagi pihak yang paling diuntungkan dari program ekonomi di masa pandemi adalah para pengusaha besar (kapitalis). Sementara rakyat jelata tetap diliputi nestapa kemiskinan.
Misalnya, di tengah pandemi, penguasa justru sibuk mengegolkan RUU Omnibus Law Cipta Karya yang disinyalir berpihak pada pengusaha dan menzalimi buruh. Hasil dari kebijakan yang salah, saat ini baik ekonomi maupun kesehatan sama-sama terguncang.
Indonesia mengalami resesi dan jumlah penambahan kasus baru terus mencetak rekor. Puncaknya adalah penolakan 59 negara terhadap WNI karena rawan membawa virus Corona. Hal ini seharusnya menjadikan penguasa introspeksi diri. Mengakui bahwa kebijakan selama ini salah dan segera melakukan perbaikan. Perbaikan ini tak cukup jika hanya di ranah praktis, melainkan harus di aspek yang sistemis.
Sebagai contoh, pengambilan keputusan cepat dalam karantina. Dalam hal ini, Indonesia memang sudah memiliki payung hukum soal kebijakan karantina. Hal ini tertuang dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. UU itu diteken Presiden Jokowi pada 7 Agustus 2018 dan diundangkan sehari kemudian. Dalam UU tersebut, terdapat tiga jenis karantina: rumah; rumah sakit; dan wilayah. Penjelasan itu tertuang dalam Bab VII tentang Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di Wilayah.
Berdasarkan Pasal 52, selama dikarantina kebutuhan hidup ditanggung Pemerintah Pusat dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak terkait. Berikut bunyi Pasal 52 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan:
“(1) Selama penyelenggaraan Rumah Karantina, kebutuhan hidup dasar bagi orang dan makanan hewan yang sesuai dengan Karantina Rumah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.”
“(2) Tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Rumah diizinkan menyetujui ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak-pihak yang terkait.”
Sementara karantina wilayah diatur di dalam Pasal 53 sampai 55. Kemudian untuk karantina rumah sakit tertuang di dalam Pasal 56 sampai 58.
Selain itu, Semua ini berkaitan juga dengan biaya rapid test dan swab test termasuk mahal bagi masyarakat pada umumnya. Hal ini butuh subsidi dari negara. Subsidi tunai juga dibutuhkan oleh rakyat kecil agar bisa bertahan hidup di tengah pandemi.
Perkara yang harus menjadi fokus utama penguasa adalah penyelesaian wabah. Hal ini bisa efektif jika kesehatan diposisikan sebagai layanan negara pada rakyatnya, bukan komoditi yang dikomersialisasi. Vaksin Corona tak boleh dijadikan ajang bisnis oleh para kapitalis pemburu cuan. Alat pelindung diri (APD), obat, dan alat kesehatan (akes) harus tersedia dalam jumlah mencukupi, sehingga efektif menekan angka kematian akibat Covid-19.
Para tenaga medis butuh diberi insentif yang layak atas jasa mereka berjuang di garda terdepan melawan wabah. Jangan hanya diberi janji yang tak kunjung terealisasi.
Semuanya ini hanya bisa terwujud jika negara memosisikan dirinya sebagai pelayan rakyat. Bekerja keras, bekerja cerdas dan bekerja ikhlas demi kemaslahatan rakyat. Bahkan negara kapitalis seperti Jerman saja membebaskan sementara pajak bagi warganya yang terdampak pandemi (viva.co.id/ 7/6/2020).
Jika Indonesia masih membebani rakyat dengan aneka pungutan atau bahkan menambah objek pajak baru demi menyiasati dampak pandemi, berarti Indonesia telah terperosok jauh dalam lubang kapitalisme yang tidak manusiawi.
Satu-satunya sistem yang memosisikan penguasa sebagai pelayan rakyat adalah sistem Islam. Penguasa dalam Islam meyakini bahwa kekuasaan adalah amanah dari Allah SWT yang harus dia pertanggungjawabkan di hari akhir.
Wallahu'alam bish shawab.
Post a Comment