Mengatasi Korupsi Dengan Pembenahan Regulasi, Efektifkah?

By : Fatimah Salma 
(Pengelola Home Schooling Mandiri)

Bupati Kuningan H. Acep Purnama, SH., MH., didampingi Kepala Inspektorat Kabupaten Kuningan Drs. Deniawan, M.Si. menyimak kegiatan Praktik Baik Aksi Nasional Pencegahan Korupsi (ANPK) melalui video conference di Ruang Kerja Bupati pada rabu, 26 agustus 2020.

Dalam sambutannya Presiden Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo menyampaikan 3 (tiga) pesan.  Pertama, regulasi nasional harus terus dibenahi.  Kedua, reformasi birokrasi disederhanakan, dan ketiga budaya anti korupsi tetap digalakkan, agar masyarakat tahu apa itu korupsi dan gratifikasi.

Presiden menyampaikan bahwa tujuannya agar masyarakat termasuk dalam bagian pencegahan korupsi, dengan menerbitkan omnibus law, satu undang-undang yang mengsinkronisasi puluhan undang-undang secara serempak. Sehingga, antar undang-undang bisa selaras, memberikan kepastian hukum, serta mendorong kecepatan kerja, akuntabel dan bebas korupsi.
( www.kuningankab.go.id/26/8/2020)

KOMENTAR

Masalah Korupsi di negeri ini seolah tidak ada habisnya. Korupsi sudah begitu akut dan menggurita. Hampir bisa dipastikan seluruh elemen pemerintahan dari tingkat pusat hingga daerah, ditemukan kasus Korupsi. Yang lebih ironis lagi Korupsi melanda juga Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jelas semua ini sangat merugikan rakyat dan negara.

Langkah pencegahan korupsi yang dilakukan Pak Presiden diatas,  yaitu mengadakan Aksi Nasional Pencegahan Korupsi (ANPK).  Ini disampaikan melalui virtual yang diantaranya dihadiri langsung oleh Pak Bupati Kuningan, H Acep Purnama.

Hanya saja jika melihat isi sambutannya, yaitu mengambil tiga langkah, melalui pembenahan regulasi, birokrasi, dan menciptakan budaya anti Korupsi, menyiratkan ada kekurangsingkronan.  Perlu untuk ditelaah lebih dalam, karena ada kejanggalan. Aroma lain yang berbahaya menyeruak. Benarkah tiga langkah tersebut sungguh-sungguh bisa mengatasi Korupsi yang merugikan rakyat dan negara? 

Hal ini terutama pada sorotan utama pemerintah pada masalah regulasi. Sejak tahun 2017, persoalan ini sudah diangkat. Bahkan sudah mulai diambil langkah untuk mengatasinya. Hanya saja yang menggelitik, langkah tersebut diambil untuk kepentingan memberikan kemudahan pada para investor. 

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, menyebutnya  perlu secepatnya mengambil langkah untuk mengatasi masalah ini demi memudahkan layanan pada stakeholders dan pelaku usaha. Beliau telah melakukan sejumlah hal untuk mengatasi regulasi bermasalah di Indonesia. Selama ini regulasi di Indonesia dianggap masih terlalu rumit dan tumpang-tindih.

Masalah regulasi ini kembali diangkat pada tahun berikutnya, tahun 2018. Pada Kali ini lebih disoroti bahwa regulasi menyebabkan pada terhambatnya pemerintah dalam menetapkan keputusan dan terhambatnya pembangunan nasional. Yang patut diduga, adalah keputusan dalam pemberian izin pada para investor dan pembangunan ekonomi akibat kesulitan masuknya para investor. Pramono dalam seminar nasional tentang reformasi hukum menyatakan,"Selain banyak regulasi yang tumpang-tindih, banyaknya regulasi terkadang membatasi ruang gerak pemerintah dan mengakibatkan pembangunan nasional menjadi terhambat".

Menyoroti permasalahan regulasi dalam mengatasi Korupsi di negeri ini, dihubungkan dengan kemudahan pelayanan pelaku usaha, memunculkan tanya. Apakah Reformasi hukum untuk mengatasi Korupsi ini berpihak pada rakyat. Ataukah Reformasi dilakukan untuk semakin memudahkan para pelaku usaha untuk berinvestasi di negeri ini, artinya berpihak pada para pemilik modal? 

Pemerintah memang sudah sejak lama, Melakukan pembenahan pembangunan dan ekonomi berorientasi pada masuknya para investor. Apalagi pemerintah  dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo  sangat giat membuka lebar-lebar pintu investasi dan menciptakan iklim investasi yang kondusif melalui berbagai program. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah mengambil beberapa langkah untuk meningkatkan kemudahan berusaha, antara lain dengan menyederhanakan regulasi terkait dengan investasi.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna H. Laoly, mengatakan target Pemerintah Indonesia adalah dapat masuk 40 besar peringkat Ease of Doing Business (EoDB). “Saat ini Indonesia masih berada pada peringkat 73 dari 190 negara yang dinilai oleh World Bank,” kata Yasonna saat membuka “Seminar Sengketa Investasi Bidang Pertambangan di Indonesia”.
Lebih menarik lagi, beberapa waktu ini Kita dipertontonkan kenyataan penolakan masyarakat Indonesia terhadap RUU omnibus low Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker). Dan kemarahan warganet yang dipicu oleh  beberapa artis dan influencer Tanah Air ikut mempromosikan perlunya RUU Ciptaker untuk menyelesaikan masalah ketenagakerjaan di Indonesia, terutama di era Covid-19. Unggahan di media sosial oleh para influencer tersebut biasanya ditutup dengan tagar seragam, yakni #IndonesiaButuhKerja.

RUU Ciptaker ini  merupakan aturan yang sudah dipersiapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2019. Menurut Jokowi, ini merupakan 'jalan keluar' untuk memecahkan berbagai aturan yang tumpang tindih dan kerap menghambat kecepatan administrasi birokrasi, khususnya di bidang investasi. 

Jadi jelas, upaya mengatasi Korupsi dengan pembenahan regulasi adalah upaya yang sangat tidak nyambung. Sejatinya pembenahan regulasi hanya mengarah pada kepentingan memberikan kemudahan pada para investor. 

Semua hal ini semakin mengkonfirmasi, bahwa pemerintah lebih mengedepankan para investor. Pemerintah lebih berpihak pada oligarki. Sebenarnya tidak perlu aneh. Karena jelas ini merupakan konsekuensi diterapkannya sistem kapitalis sekuler. Suatu sistem yang dibangun diatas kebebasan. Suatu sistem yang menegasikan peran Tuhan dalam mengelola kehidupan. Akibatnya seluruh aturan Yang diterapkannya hanyalah dibuat untuk kepentingan pemilik modal. 

Bagaimana Islam mengatasi Korupsi?

Islam menetapkan bahwa pemerintah adalah wakil umat dalam penjaminan terlaksananya seluruh hukum-hukum Allah dan dalam pengelolaan seluruh alam demi terealisasinya kemaslahatan umat. Pemerintah akan menjalankan semua amanah kepemerintahannya berorientasi pada seluruh kepentingan umat (rakyat). 

Dalam sistem Islam, korupsi (ikhtilas) adalah suatu jenis perampasan terhadap harta kekayaan rakyat dan negara dengan cara memanfaatkan jabatan demi memperkaya diri atau orang lain. Korupsi merupakan salah satu dari berbagai jenis tindakan ghulul, yakni tindakan mendapatkan harta secara curang atau melanggar syariah, baik yang diambil harta negara maupun masyarakat. Jelas ini merupakan tindakan kriminal yang wajib diberi sanksi tegas. korupsi termasuk dalam bab ta’zir yang hukumannya diserahkan kepada khalifah atau qadhi (hakim).

Bentuk ta’zir untuk koruptor bisa berupa hukuman tasyhir (pewartaan atas diri koruptor; misalnya diarak keliling kota atau di-blowup lewat media massa), jilid (cambuk), penjara, pengasingan, bahkan hukuman mati sekalipun; selain tentu saja penyitaan harta hasil korupsi.

Di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, pernah menetapkan sanksi hukuman cambuk dan penahanan dalam waktu lama terhadap koruptor (Ibn Abi Syaibah, MushannafIbn Abi Syaibah, V/528; Mushannaf Abd ar-Razaq, X/209). Sementara di masa Khalifah Umar bin Khathab ra. pernah menyita seluruh harta pejabatnya yang dicurigai sebagai hasil korupsi (Lihat: ThabaqâtIbnSa’ad,Târîkhal-Khulafâ’ as-Suyuthi).

Sistem Islam juga sangat memperhatikan kesejahteraan para pegawainya dengan cara menerapkan sistem penggajian yang layak. Dalam upayanya untuk menghindari terjadinya kasus suap dalam berbagai modusnya, sistem Islam melarang pejabat Negara atau pegawai untuk menerima hadiah. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa saja yang kami (Negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami beri rezeki (upah/gaji), maka apa yang diambil olehnya selain (upah/gaji) itu adalah kecurangan.” (HR. Abu Dawud).

Pilar lain dalam upaya pencegahan korupsi dalam Islam adalah dengan keteladanan pemimpin. Begitulah, sesungguhnya sistem Islam adalah solusi terbaik yang layak dipakai ketika semua solusi pemberantasan korupsi sudah tidak mempan lagi.  Namun sistem Islam ini hanya bisa diterapkan dalam bingkai Negara Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Bukan negeri republik yang menerapkan sistem demokrasi.

Wallahu a'lam bish showab.
Previous Post Next Post