(Aktivis Intelektual Muslimah)
Pengusutan kasus-kasus besar yang melibatkan mafia kelas kakap selalu saja menemui jalan buntu. Sebut saja kasus buronan kelas kakap Djoko Tjanra yang tak henti menuai kontroversi. Setelah beberapa bulan kebelakang menghebohkan publik dengan pengajuan kasasi atas kasus yang menjeratnya sehingga membuat publik bertanya bagaimana bisa seorang buronan lolos dari pemeriksaan imigrasi, bahkan tidak hanya sampai disitu, Djoko Tjandara juga sempat membuat E-KTP yang dibantu oleh pengacaranya Anita Kolopaking. Hal ini tak ayal membuat publik mempertanyakan kinerja para aparat terkait, siapa orang dalam yang membantu buronan beraksi.
Tidak hanya sampai disitu, drama kasus Djoko Tjandara masih berlanjut. Setelah sekian lama buron dan tertangkap aparat terkait, ada banyak kejanggalan yang menyeruak keranah publik. Diantaranya adalah perubahan fisik dari Djoko Tjandara, tak ayal membuat publik curiga yang tertangkap hanyalah aktor pengganti.
Kemudian pengacaranya Anita Kolopaking yang ditetapkan sebagai tersangka. Anita dijerat Pasal 263 ayat (2) KUHP terkait penggunaan surat palsu, dan Pasal 223 KUHP yaitu barangsiapa dengan melepaskan atau memberi pertolongan ketika meloloskan diri kepada orang yang ditahan atas perintah penguasa umum, atas putusan atau ketetapan hakim.
Tak selesai sampai disitu, Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang merupakan jaksa penuntut atas kasus Djoko Tjanra justru kedapatan plesiran tanpa izin ke tempat persembunyian sang buronan. Ironis memang, jaksa yang seharusnya menguak kasus tersebut justru sekarang menjadi pesakitan atas dugaan tindak pidana suap. Belum lagi oknum-oknum di kepolisian yang menjadi kaki tangan Djoko Tjandra. Aparatur hukum yang seharusnya menegakkan keadilan justru berbuat sebaliknya. Wajar adanya apabila kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan terjun bebas.
Dan kejadian terbakarnya gedung Kejagung semakin menambah daftar buruknya penegakan hukum di negeri ini. Hal ini membuat publik semakin skeptis atas kinerja dan integritas aparat terkait. Wajar apabila masyarakat berasumsi ada pihak-pihak yang merencanakan untuk menghilangkan barang bukti yang tersimpan di gedung tersebut. Sebab, selain kasus Djoko Tjandra Kejagung juga sedang menangani kasus perusahaan asuransi plat merah Jiwasraya yang diduga merugikan negara sebesar 13,7 trilliun.
Bahkan ICW mendesak agar KPK turut menyelidiki penyebab terbakarnya gedung Kejaksaan Agung. Setidaknya hal ini untuk membuktikan, apakah kejadian tersebut murni karena kelalaian atau memang direncanakan oleh oknum tertentu. Kejaksaan perlu juga melakukan investigasi mendalam, untuk mengetahui penyebab kebakaran. Apa memang saat itu tidak ada petugas piket yang bisa memadamkan api dan mencegah membesarnya api. Atau memang gedung Kejaksaan Agung tidak memiliki alat pemadam kebakaran, sehingga api tidak tertangani.
Setiap babak drama penegakan hukum diatas seharusnya membuat kita sadar betapa kerusakan yang terjadi dari penerapan sistem sekuler liberal. Oknum-oknum berlencana sebagai penegak hukum berbuat sesuai kepentingan semata. Meniadakan Tuhan apabila seragam penegak hukum telah dikenakan, tak ada tuhan dalam ruang persidangan, Tuhan tak punya mata atas keculasan dan kecurangan dalam menjalankan tugas. Tak ada lagi rasa takut akan beratnya hari perhitungan dan pembelasan. Tuhan hanya dihadirkan di ruang peribadatan semata. Seolah sholat, zakat, puasa, haji dan sedekah saja sudah cukup untuk membuka pintu surga. Padahal timbangan ibadah-ibadah tersebut bisa menjadi seringan kapas akibat lalai terhadap amanah yang berakibat dzolim pada ummat.
Ada baiknya para oknum tersebut bercermin dari kisah seorang penggajal hewan pada masa kekhalifaan Imam Ali bin Abi Thalib. Dikisahkan pada suatu subuh seorang penjual daging setelah memotong hewan, dengan pisau jagal masih ditangan dan baju dipenuhi darah hewan, bergegas menuju toilet untuk membuang hajat. Sementara itu, tidak jauh dari tempatnya buang hajat terjadi pembunuhan. Setelah keluar dari toilet, beliau melihat mayat tergeletak dan langsung menghampiri mayat tersebut dengan pisau dan baju yang berlumuran darah, sesaat kemudian datanglah dua orang menyaksikan kejadian tersebut. Jadilah penjagal hewan tersebut menjadi tersangkan pembunuhan. Singkat cerita dibuatlah sidang terbuka untuk mengadili sang penjaggal dengan Khalifah yang saat itu dijabat Imam Ali bin Abi Thalib yang bertidak sebagai hakim.
Persidangan terbuka yang disaksikan seluruh penduduk kota, dengan Khalifah bertindak sebagai hakim, serta dua orang saksi dan tersangka. Tak ayal dalam persidangan tersebut sang penjanggal mengakui bahwa benar ia telah membunuh, maka sang Khalifah memutuskan untuk memberi hukuman yang setimpal. Akan tetapi sesat setelah putusan dijatuhkan, pelaku pembunuh sebenarnya muncul memberi kesaksian bahwa dialah yang melakukan pembunuhan.
Hal tersebut membuat Khalifah kebingungan, kemudian bertanya kepada penjaggal hewan tersebut mengapa ia mengakui kejahatan yang tidak diperbuatnya, lalu ia menjawab tidak ada yang bisa ia lakukan untuk membela diri dan membuktikan ia tidak bersalah maka ia hanya bertawakkal kepada Allah. Setelah itu ditanyalah sang pelaku mengapa ia akhirnya mengaku padahal ia bisa saja tetap diam dan bebas dari hukuman. Lalu pembunuh itu pun menjawab ia tidak ingin menanggung dosa yang lebih berat, ia sudah berdosa karena menghilangkan nyawa dan akan menanggung dosa karena membuat orang yang tidak bersalah mendapat hukuman. Akhir dari kisah tersebut adalah sang terdakwa bebas dari hukuman dan sang pelaku pun dibebaskan dari hukuman dengan pertimbangan bahwa ia telah bertobat dan berbuat baik sehingga mencegah orang yang tidak bersalah dihukum dan mencegah hakim berbuat dzolim kepada terdakwa.
Seperti itulah gambaran apabila para pihak yang berperkara dan yang mengadili perkara bertakwa pada sang pemilik kehidupan. Orang yang mendapat amanah untuk mengadili perkara senantiasa bertakwa dan bertawakkal kepada sang pencipta serta dalam mengambil setiap keputusan dan menilai suatu perkara berdasarkan pada apa yang diturunkan oleh sang Pencipta yaitu Al-Quran dan Assunah sehingga dengan izin dan pertolongan-Nya akan senantiasa berbuat adil. Begitupun dengan pihak yang berperkara akan senantiasa diingatkan bahwa bertobat adalah hal yang utama setelah berbuat dosa dan kesalahan. Sehingga terdakwa yang melakukan kesalahan akan muhasabah diri atas kesalahan yang diperbuatnya bukan malah mencari cara dan celah untuk lolos dari hukuman.
Begitu mudahnya menegakkan keadilan dalam sistem peradilan islam karena para pihak yang berperkara dan penegak hukumnya sadar betul bahwa apa yang mereka lakukan dalam ruang persidangan akan menentukan nasib mereka kelak di akhirat. Tujuan dari persidangan adalah mencari kebenaran bukan mencari pembenaran.
Post a Comment