Setiap orang adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya pada hari penghisaban. Dan di dalam mahligai rumahtangga, suami diangkat sebagai pemimpin atau dikenal dengan istilah "qowwam". Sebagaimana ditegaskan dalam QS. An Nisa ayat 34.
Tugas kepemimpinan seorang suami, jangan sampai dianggap remeh atau disepelekan. Sebab, rapuh atau kuatnya rumahtangga ditopang oleh peran suami. Bahkan maksiat atau kekeliruan istri seperti getah yang akan menempeli suaminya.
Posisi suami sebagai qowwam menuntut suami untuk menafkahi lahir dan batin. Hal penting lainnya adalah menjaga seluruh anggota keluarga agar selalu dalam koridor agama. Jangan sampai mendiamkan atau menjerumuskan keluarga menuju api neraka. Hal ini termaktub dalam Alqur'an, surat At Tahrim ayat 6. Bahwa Allah Ta'ala berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.."
Sayangnya, fungsi penjagaan ini sering kali terciderai. Seperti kasus terbaru di Desa Bangodua, Kecamatan Bangodua, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Seorang suami tega mencekik istrinya hingga tewas. Lebih sadis lagi mayat korban kekerasan ini dikubur di bawah ranjangnya. Kekejian tersebut dilatarbelakangi kekesalan akibat korban meminta uang (JawaPos.com, 7/9/2020).
Sebenarnya, kasus kekerasan suami terhadap istri sudah tidak asing lagi mewarnai pemberitaan. Wajar jika kening berkerut dan hati resah. Apa yang sebenarnya sedang terjadi. Mengapa sosok penjaga berubah menjadi pelahap maut? Saking murka, kalap atau jiwanya terganggu?
Jika dihayati secara saksama, pelalaian terhadap agama menjadi alasan mendasarnya. Para qowwam "buta" dari Islam. Jangankan mengetahui dan mematuhi perintah untuk menjaga keluarga dari api neraka, terkait tujuan menikah saja, belum banyak yang memahaminya dengan benar. Banyak pandangan bahwa pernikahan hanyalah serangkaian daur kehidupan. Sebagian lain mengatasmamakan cinta. Ada juga karena hasil perjodohan, dilatarbelakangi keterpaksaan dan masih banyak alasan pragmatis lainnya.
Meskipun terbubuhkan QS. Ar Rum ayat 21 di dalam undangan, berisi capaian terindah dalam pernikahan yakni menuju samara (sakinah, mawaddah wa rahmah). Namun nampak sekadar pemanis dan formalitas belaka. Maknanya malah diabaikan, tidak sungguh-sungguh dipelajari.
Lantas mengapa, sebagian kaum lelaki jauh dari pemahaman agama? Inilah efek dari agenda besar dunia Barat terhadap Islam. Yakni mengalahkan Islam dan hendak melanggenggkan hegemoninya. Strategi biadab pun ditempuh. Mencerabut "nyawa" Islam. Letaknya ada pada mabda (Islam sebagai ideologi).
Secara singkat, strategi ini menyerang langsung ke titik pusat, kekuatan Islam. Pemikiran Islam dirusak, konsep hidup ala Barat disebar sebagai alternatif pengganti. Jadilah umat bertingkah kebarat-baratan. Sekularisme ditanamkan dalam benak. Sejak saat itu, eksistensi agama dicukupkan dalam ruang sempit. Sebatas ritual. Dimandulkan dari kehidupan sehari-hari. Pun pada saat kaum lelaki menjabat sebagai suami. Islam tidak hadir untuk mengatur pola pikir dan pola sikapnya.
Pengabaian aturan Islam dalam rumahtangga, baik dilakukan suami, istri atau anak akan berujung pada kehancuran. Kasus kekerasan suami pada Istri merupakan pelanggaran fungsi qowwam itu sendiri. Rasul Saw., sudah mengingatkan bahwa sebaik-baik lelaki adalah yang paling baik sikapnya terhadap istrinya. Jangankan sampai mencekik, melukai hati istri lewat perkataan saja sangat dilarang.
Aturan Islam bahkan membolehkan kebohongan dalam konteks harmonisasi rumahtangga. Misalnya pada saat suami menyicipi masakan istri yang keasinan. Suami diperbolehkan untuk berbohong dan menunjukkan jempolnya sebagai tanda apresiasi terhadap masakan sang istri. Hal ini nampak sepele dan cenderung dramatis, namun yang sepele ini menegaskan tentang keutamaan akhlak di hadapan istri.
Islam itu tinggi, dan tidak ada yang mampu mengalahkan ketinggiannya. Segala macam pembicaraan terkait aspek kehidupan manusia semua terbahas dan terselesaikan dengan Islam. Perkara rumahtangga pun sudah ditetapkan aturan mainnya. Tinggal umat, khususnya para suami butuh untuk diingatkan tentang peran strategisnya sebagai qowwam. Dan hal ini akan mudah terwujud saat sistem hidup sekuler dianulir. Lalu diganti kembali dengan konsep akidah Islam.
Siapa yang mampu mewujudkan hal tersebut, jika bukan pemimpin yang memiliki kuasa penuh atas pilihan aturan yang diberlakukan di tengah masyarakat. Kehadiran negara dalam gejolak rumahtangga, bukan berarti turut campur masalah privasi. Titik poinnya, negara turut bertanggung jawab atas nyawa dan keberlangsungan hidup warganya. Maka butuh pengkondisian dan pembenahan sistem peraturan, agar para suami berhenti kalap kepada Istrinya.
Sebab, tidak ada suami yang sengaja menyakiti kawan tidur dan ibu anak-anaknya. Hanya saja, tekanan kehidupan, beban pekerjaan atau bahkan akibat sulitnya mendapat pekerjaan, bisa menjadi pemicu pecahnya kemarahan. Apalagi saat berhadapan dengan tingkah istri yang dianggap menambah rasa panas dan bara dalam dada, meledaklah emosinya.
Sudah saatnya mengembalikan kewarasan para suami. Membereskan perilakunya agar kembali sejalan dengan tupoksinya sebagai qowwam. Apalagi dengan didukung oleh sistem yang ramah terhadap kehidupan rumahtangga, yakni sistem Islam. Berikutnya hanya negara yang memiliki kapasitas untuk memberlakukannya. Hingga tak ada lagi kasus makam di bawah ranjang.
Wallâhu a'lam bish-shawab.
*Pengasuh MCQ Sahabat Fillah Indramayu
Post a Comment