Aktivis BMI Malang Raya
Pandemi masih belum berakhir, pasien positif corona kian bertambah tiap harinya. Per 12 September 2020, sebanyak 214.746 orang yang dikabarkan positif, meningkat sebanyak 3.806 dari hari sebelumnya. Sedangkan jumlah dokter yang meninggal akibat Covid-19 sebanyak 114 dokter. Wajar jika masyarakat begitu khawatir, berhubung kondisi ini membawa dampak sosial dan ekonomi yang tidak ringan.
Di tengah polemik ini, tampaknya pemerintah belum serius menangani kasus ini. Pemerintah justru disibukkan dengan rencana pengingkatan akses layanan kesehatan melalui jalur investasi asing. Katanya, meningkatkan akses pelayanan kesehatan untuk rakyat Indonesia dan meningkatkan kemandirian bangsa dalam bidang kesehatan. Dengan demikian, pemerintah akan membangun industri tourism atau wisata medis di Indonesia. Medical tourism ini merupakan perjalanan yang dilakukan untuk mendapatkan layanan kesehatan, kebugaran, serta penyembuhan di negara tujuan.
Menindaklanjuti hal tersebut, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) Luhut Binsar Pandjaitan memerintahkan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang dikepalai oleh Bahlil Lahadalia untuk mendatangkan rumah sakit asing ke Indonesia. Permintaan Luhut diiringi dengan rencana pemerintah untuk mengizinkan dokter asing lebih banyak di Indonesia.
Pasalnya, berdasarkan data yang dirilis PwC, Indonesia merupakan negara asal wisatawan medis dengan jumlah 600.000 orang pada tahun 2015, terbesar di dunia. Umumnya, masyarakat Indonesia lebih memilih berobat ke luar negeri karena merasa layanan kesehatannya terhitung murah dan lebih menjamin untuk sembuh, terutama untuk menyembuhkan penyakit-penyakit khusus.
Menurut Luhut, lewat medical tourism ini nantinya pemerintah ingin Indonesia melakukan diversifikasi ekonomi, menarik investasi luar negeri, penyediaan lapangan pekerjaan, pembangunan industri layanan kesehatan di Indonesia, serta menahan laju layanan kesehatan dan devisa kita agar tidak mengalir ke negara-negara yang lebih sejahtera. (cnbcindonesia.com, 29/8/2020)
Oleh karena itu, untuk mendukung medical tourism ini, Luhut menyarankan agar ada dukungan dari pemerintah untuk membangun rumah sakit berstandar internasional di Jakarta, Bali, dan Medan.
“Saya berharap momentum krisis pandemi ini bisa serius kita manfaatkan untuk membenahi infrastruktur, fasilitas penunjang, serta regulasi layanan kesehatan di Indonesia agar bisa lebih baik lagi dengan menciptakan perencanaan yang bagus dan terpadu untuk industri wisata medis dalam negeri”, imbuh Luhut. (cnbcindonesia.com, 29/8/2020)
Alih-alih membenahi infrastruktur, meningkatkan akses layanan kesehatan dan meningkatkan kemandirian bangsa di bidang medis, pemerintah justru mendorong investasi asing di sektor kesehatan yang merupakan puncak layanan publik. Benarkah ini untuk kepentingan rakyat? Atau rakyat akan jadi tumbal semata demi keuntungan para pemilik modal?
Klaim meningkatkan pelayanan kesehatan dengan membangun medical tourism dan investasi asing hanyalah kamuflase. Sebaliknya, akan mengorbankan kepentingan rakyat untuk mendapatkan layanan kesehatan yang aman dan terjangkau. Mengapa? Menarik investasi asing ke dalam negeri tentu sangat bahaya, terutama investasi ini dilakukan pada layanan publik.
Perlu kita ketahui, datangnya investor asing mendekatkan kita pada program privatisasi. Akibatnya, negara hanya menjadi regulator atau fasilitator saja, bukan lagi sebagai pelayan rakyat. Jika sektor ini diprivatisasi, rakyat perlu merogoh kocek yang cukup besar untuk mendapatkan layanan kesehatan. Dengan demikian, layanan kesehatan ini tidak bisa dinikmati oleh setiap orang. Namun, hanya segelintir orang saja yaitu orang-orang berduit yang dapat menikmatinya.
Walhasil, orang miskin dilarang sakit. Hal ini disebabkan karena biaya kesehatan dengan fasilitas yang baik tak mampu dijangkau oleh rakyat kelas bawah. Pada akhirnya, mereka hanya mendapatkan pelayanan kesehatan yang ala kadarnya. Ada uang pasien sehat, tak ada uang pasien merana.
Adanya tenaga medis asing juga akan mengancam posisi tenaga medis dalam negeri. Ditambah lagi jika sistem outsourcing diterapkan di rumah sakit. Mereka hanya mendapatkan kesempatan kerja kontrak dengan gaji yang minim, tidak ada tunjangan apabila di-PHK, bahkan tidak dapat jaminan kesehatan.
Bukan hanya nyawa pasien yang dipertaruhkan namun keberadaan tenaga medis dalam negeri juga akan tergeserkan secara perlahan. Alhasil, asing mendominasi sektor kesehatan dalam negeri. Indonesia pun akan semakin berada dalam tekanan kebijakan asing. Inilah penjajahan yang tak nampak secara langsung, membunuh secara perlahan namun pasti.
Buah penerapan kapitalisme menyebabkan segala perbuatan berasaskan materi, menilai segala sesuatu dengan untung-rugi. Negara yang harusnya menjadi pelayan umat, tak mampu menjalankan tanggungjawabnya, tak mampu menjamin seluruh kebutuhan rakyatnya. Terutama jaminan atas pemenuhan kebutuhan yang mendasar, salah satunya adalah layanan kesehatan.
Sebagai dien yang sempurna, tidak satu pun persoalan kehidupan manusia kecuali ada penyelesaiannya di dalam Islam. Demi memenuhi hak mendasar rakyat, negara bisa menerapkan sistem pendanaan yang sudah ditetapkan oleh syariah.
Sumber-sumber pendanaan tersebut bisa dari harta milik negara (jizyah, kharaj, fa’i) dan pengelolaan harta milik umum (hasil SDA, tambang, hutan, dan lain-lain). Jika sumber-sumber pendanaan tersebut masih kurang untuk memenuhi kebutuhan rakyat, maka negara bisa mendorong individu-individu muslim yang kaya untuk berinfak atau akan diambil pungutan yang sifatnya temporal dan mendesak saat itu saja, hingga kebutuhan sarana dan prasarana kesehatan yang dibutuhkan tercukupi.
Sistem kesehatan yang seperti ini akan terlaksana jika sistem ekonomi dan sistem pemerintahannya dijalankan berdasarkan sistem Islam. Wallahu a’lam
Post a Comment