Oleh : Fitria A, S.Si
Pernyataan petinggi partai penguasa yang menyerang loyalitas masyarakat Sumatera Barat terhadap model Negara saat ini, telah memicu kontroversial di tengah-tengah masyarakat khususnya masyarakat Sumatera Barat.
Kontroversi terkait ucapan Puan itu berawal saat pengumuman bakal calon yang diusung pada Pilkada Sumbar. Saat itu, Puan menyelipkan harapannya soal Sumbar. "Semoga Sumatera Barat menjadi provinsi yang memang mendukung Negara Pancasila," tutur Puan. Namun, pihaknya sudah mencoba mengonfirmasi itu ke DPD PDIP Sumbar. Hasil konfirmasi dengan PDIP Sumbar, kata Januardi Sumka, yang disampaikan Ketua DPP PDIP itu adalah pernyataan kepada internal partainya saja. Sehingga pesannya tertuju kepada internal partai PDIP Sumbar. "Sebatas itu saja, bukan untuk seluruh warga Sumatera Barat. Saya rasa mis komunikasi saja," tambah Januardi Sumka. (www.tribunnews.com, 5/9/2020).
Namun pernyataan tersebut sudah terlanjur berbuntut panjang. Salah satunya dengan peristiwa Bakal calon Gubernur Sumbar yang direkomendasikan PDI-P dalam Pilkada Gubernur Sumbar 2020, Mulyadi - Ali Mukhni diberitakan mengembalikan surat dukungan dari partai tersebut. Hal itu diperkirakan karena imbas dari ucapan Ketua DPP PDIP Puan Maharani soal Sumatera Barat (Sumbar) yang jadi kontroversi. (www.tribunnews.com, 7/9/2020).
Konon munculnya statemen puan ini dipicu karena sulitnya beroleh suara di Sumatera Barat. Namun bukan berarti kemudian menuduh Sumatera Barat tidak pancasilais. Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno menilai pernyataan Puan menyinggung masyarakat banyak. Pernyataan tersebut menurutnya juga bertabrakan dengan pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada sidang tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR dan DPD Tahun 2020 di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD, Jakarta, Jumat (14/8) lalu. Adi juga menilai pernyataan tersebut merupakan pernyataan yang memecah belah. Ia menambahkan, sebagai elit Puan seharusnya memberikan pernyataan yang sejuk. Bukan malah tendensius yang memancing amarah publik, terutama rakyat Sumbar. "Bangsa ini sudah merdeka. Tak perlu menuding kelompok atau daerah tertentu tak Pancasilais. Banyak tokoh pendiri bangsa ini dari Sumbar," ujarnya.
Menurutnya, jangan hanya karena kalah politik lalu menuding Sumbar tak Pancasilais. "Jangan apa-apa langsung menuduh tak Pancasilais, radikal, intoleran, dan lain-lain. Itu tak baik. Kalau ada yang tak sesuai hukum proses saja sesuai prosedur," ungkapnya.
Terlebih sebelumnya, pernyataan MUI Sumatera Barat yang secara terang-terangan menolak ide Islam Nusantara. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) baru-baru ini menyatakan bahwa Islam Nusantara tidak dibutuhkan di Ranah Minang. Hal ini disampaikan para Ulama MUI usai Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) di Hotel Sofyan Rangkayo Basa Syari’ah Padang, Sabtu (21/07/2018). “Kami, MUI Sumbar dan MUI kabupaten-kota se-Sumbar menyatakan tanpa ada keraguan bahwa Islam Nusantara dalam konsep, pengertian, definisi apapun tidak dibutuhkan di Ranah Minang (Sumatera Barat)”, demikian menurut pernyataan yang ditandatangani oleh Pimpinan Harian MUI Sumatera Barat tertanggal 21 Juli 2018 atau bertepatan dengan 08 Dzulqoidah 1439 Hijriah. “Bagi kami, nama Islam telah sempurna dan tidak perlu ditambah lagi dengan embel-embel apapun,” ujar Buya Gusrizal Gazahar, Ketua MUI Sumbar, Senin (23/07/2018) di Padang.
Secara, tidak heran jika kemudian masyarakat minang mempunyai interpretasi dengan konotasi yang negatif terhadap statemen tersebut. Kejadian pernyataan dari petinggi partai besar di Indonesia ini mengindikasikan bahwa yang tidak memilih partai yang dipimpinnya maka tidak pancasilais, jika menolak islam nusantara maka juga tidak pancasilais. Demikianlah narasi-narasi yang dibangun terkait dengan interpretasi mana yang pancasilas dan tidak sangat bergantung kepada rezim yang sedang berkuasa. Namun penting untuk diingat bahwa kekuasaan itu amat sangat terbatas baik dari sisi waktu maupun zona jangkauannya. Rakyat semakin cerdas untuk menilai sesuatu. Terlebih lagi jika masyarakat yang dicerdaskan oleh Islam, din yang sudah nyata menjadikan masyarakat makkah yang jahiliyah menjadi visioner merubah dunia menjadi ke arah lebih baik.
Seorang pemimpin, apalagi yang notabene meraih suara terbanyak, sudah selayaknya menjadi panutan dan memperhatikan betul setiap kalimat yang keluar. Apakah mengandung kebaikan ataukah justru menimbulkan polemik dan kontroversial. Bukan hanya sekedar memperhatikan besar kecilnya perolehan suara. Haruslah diingat bahwa masyarakat yang bakal dipimpin bukan hanya kader partainya, bukan masyarakat yang memilih dia dan partainya saja tetapi seluruh masyarakat Indonesia.
Sistem Demokrasi memang meniscayakan pemilihan pemimpin atau wakil rakyat tidak dengan kemampuan seorang negarawan yang teruji. Tapi siapapun berhak untuk mencalonkan diri dengan ketentuan-ketentuan tertentu yang diantaranya dibatasi ijazah minimal. Adapun kemampuan berbangsa bernegara tidak menjadi perhitungan, asalkan beroleh suara banyak. Sehingga terkadang cara apapun untuk beroleh suara yang banyak. Dan biayanya pun sangat mahal untuk duduk di sebuah kursi jabatan. Ini bukanlah rahasia lagi. Maka berharap akan lahir sosok pemimpin ideal, menjadi sebuah harapan bagaikan pungguk merindukan bulan. Karena sistem pemilihan sendiri sudah mengijinkan seseorang terpilih karena popular, punya modal besar atau sekedar modal tampang keren.
Berbeda dengan sistem yang memberikan aturan yang sempurna bagi kehidupan ini yang datang dari Yang Maha Mengatur, Allah SWT. Dalam Islam, wakil rakyat adalah mereka yang merepresentasi umat. Mereka penyambung lidah umat kepada penguasa. Wakil rakyat dalam Islam tak berhak membuat undang-undang. Tugas mereka adalah muhasabah lil hukkam. Menjadi korektor dan pengawas kebijakan penguasa.
Mereka tak akan terjebak dalam politik kepentingan. Sebab, negara hanya menjalankan syariat Islam. Standar benar dan salah dikembalikan pada syariat Islam. Sistem dan undang-undang yang diterapkan haruslah berlandaskan Islam, bukan aturan manusia. Suara mayoritas tidak berlaku terhadap perkara yang sudah jelas status hukumnya.
Dalam demokrasi, wakil rakyat memiliki hak merancang, membuat, dan mengesahkan undang-undang. Standar benar dan salah dikembalikan pada pandangan manusia. Suara mayoritas menjadi pemenang dalam penetapan undang-undang. Alhasil, produk UU dari sistem ini mudah direvisi sesuai pesanan dan kehendak pemangku kepentingan. Maka janganlah heran bila UU Indonesia banyak mengalami revisi berkali-kali.
Dari konsep berpolitik dan bernegara semacam ini, mampukah demokrasi membawa pada perubahan hakiki? Bisakah mereka yang terpilih tak dicampuri kepentingan partai atau penguasa? Jelas tidak! Oleh karenanya, mengharapkan perubahan besar dengan sistem yang begini-begini saja, jauh panggang dari api. Sebab, prinsip dasar demokrasi saja sudah mengandung banyak masalah. Yang dibutuhkan negeri ini tidak hanya reformasi yang sebatas berganti-ganti pelakon. Negeri ini membutuhkan reparasi total. Tak hanya perangkatnya, tapi juga sistemnya. Maka dari itu, perubahan hakiki hanya bisa diraih manakala Islam dijadikan konsep dalam bernegara. Yakni menjadikan syariat Islam sebagai aturan baku yang bersih dari kepentingan apapun.
Sebab, aturan Islam berasal dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Sistem Islam ini tak akan bisa terterapkan sempurna tanpa institusi penyangganya, yaitu penerapan Islam dalam bingkai kehidupan bernegara.