Oleh : Zulhilda Nurwulan, S. Pd
(Aktivis Dakwah Muslimah Kendari)
Sejak pemutaran Film “Jejak Khilafah di Nusantara” pada 20 Agustus lalu yang bertepatan dengan tahun baru islam, nampaknya istilah “khilafah” bersinar ditengah umat. Makin istilah ini dipermasalahkan oleh beberapa pihak di Nusantara ini, makin namanya melambung tinggi seantero jagat raya. Memang benar jika umat telah merindukan kehadirannya.
Khilafah merupakan bagian dari ajaran islam. Kedudukan khilafah sama halnya dengan sistem pemerintahan yang lain seperti demokrasi, monarki, teokrasi dan lainnya. Dalam Kitab Al Syakhshiyyah karya Syekh Taqiyuddin An nabhani, halaman 13, khilafah didefinisikan sebagai kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia untuk menerapkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.
Sistem Khilafah diterapkan di era awal-awal berkembangnya agama Islam. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat pada tahun 632 terjadi kekosongan pemimpin umat Islam setelahnya. Posisi khalifah kemudian diduduki oleh sahabat-sahabat nabi. Masa kekhalifahan pertama di mulai oleh Abu bakar (632-634), Umar bin Khattab(634-644), Utsman bin 'Affan (644-656), dan Ali bin Abi Thalib (656-661). Masa inilah yang disebut juga masa Kekhalifahan Rashidun.
Khilafah dipimpin oleh orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan kekuasaan dan penerapan syariah yang disebut oleh khalifah. Khalifah diangkat oleh umat melalui bai’at. Khalifah juga bukan manusia suci yang bebas dari kesalahan dan dosa. Khalifah bisa dikoreksi dan diprotes oleh umat jika kebijakannya menyimpang dari ketentuan syariat. Khalifah juga bisa salah dan bisa dihukum -yang dalam struktur Khilafah fungsi ini dilakukan oleh mahkamah madzalim- yaitu ketika khalifah menyimpang dari ketentuan syariat Islam.
Beginilah paradigma kepemimpinan yang benar. Sejatinya kedudukan seorang pemimpin didalam masyarakat itu sama. Ketika bersalah maka wajib bagi pemimpin untuk dihukum. Kekuasaan tidak semestinya membat pemimpin memiliki hak istimewa terlindung dari jeratan hukum. Tidak hanya khalifah (pemimpin) melainkan seluruh jajarannya pun wajib mendapat hukuman yang sama ketika terbukti melakukan kesalahan.
Semakin dibenci, Khilafah tetap Bersinar
Khilafah sejatinya ajaran lurus bagi manusia yang senantiasa ingin berada dijalan yang lurus. Menjadi musuhnya sama halnya memusuhi Allah Swt dan juga RasulNya, Muhammad Saw. Berniaga dengan Allah dengan menjadi pemuja ajarannya tidak akan pernah merugi.
Sebagaimana firmanNya dalam QS. Muhammad:7 :
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
Janji inilah yang membangkitkan gairah pejuang dakwah yang pantang menyerah sekalipun diterpa badai kemunafikan para pembencinya. Mereka sadar jika khilafah adalah ajaran yang murni. Sejatinya khilafah adalah kewajiban bagi setiap umat manusia sebagai mana wajibnya menuntut ilmu di jalan Allah Swt.
Namun, nampaknya bagi sebagian orang istilah khilafah ini bagaikan duri. Tidak sedikit yang mempersekusinya. Para pengembannya bahkan difitnah, dipersekusi dan dikriminalisasi. Banyak monster jahat yang bersembunyi dibalik kekuasaan rezim. Sungguh, mereka yang mempersekusi ajaran khilafah ini adalah para pecundang yang haus materi.
Ironisnya lagi, beberapa elit penguasa bahkan ingin mengaburkan fakta sejarah jejak khilafah yang ada di nusantara. Terbukti dengan banyaknya dalih yang mengatakan bahwa khilafah itu tidak ada. Bahkan ajaran khilafah selalu dikaitkan dengan salah satu organisasi Islam (Hizbut Tahrir, red) yang gentol menyuarakan ajarannya. Mereka bahkan memfitnah jika khilafah adalah buatan Hizbut Tahrir. Sungguh ini pernyataan yang keliru. Menyedihkan, orang islam namun tidak paham ajarannya sendiri.
Prof Azyumardi Azra, Guru besar Ilmu Sejarah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah dalam webinar bertemakan “Relasi Agama dan Negara : Fiqih Siyasah dan Siasat Politik”, Jumat (21/8/2020), mengatakan bahwa di Indonesia, tidak ada jejak khilafah seperti yang dinarasikan oleh kelompok pendukung Khilafah Islamiyah ala Taqiyyuddin An-Nabhani, yakni Hizbut Tahrir. Ia bahkan mengatakan jika film Jejak Khilafah di Nusantara yang digarap oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tersebut adalah upaya pembuatan sejarah yang dipaksakan.
“Jasmerah, jangan sekali-kali menghapuskan sejarah”. tepat sekali. Istilah ini sangat cocok bagi mereka yang mengaku islam namun ingin mengaburkan bahkan mengubur sejarah mereka sendiri. Tak bisa dipungkiri, khilafah memang memiliki kekuatan supranatural yang mampu menggertak siapapun. Mereka yang mempersekusinya sebenarnya merindukannya tapi tak punya nyali mengakui didepan rezim mereka.
Mengiringi berbagai tuduhan miring terhadap khilafah, penulis buku sejarah Walisongo, Sultan Fattah dan Kerajaan Islam Demak, Rachmad Abdullah, S.Si., M. Pd telah membantah berbagai respon miring terkait tidak adanya hubungan kekhalifahan dengan nusantara melalui tulisannya tentang delapan bukti otentik yang tervalidasi adanya hubungan Turki Utsmani dengan Kesultanan Demak melalui Kesultanan Aceh pada abad IX-X H (15-16 M).
Umat hanya Butuh Khilafah
Perlu diketahui isu Khilafah adalah isu yang tidak semua orang ingin terlibat didalamnya. Butuh effort atau keberanian yang dilandasi keimanan (bagi umat Islam) untuk berani menampilkan ajaran Islam tentang Khilafah. Mengapa Demikian? Karena Khilafah telah di demonisasi (sederhananya dimonsterisasi) sehingga terlihat menakutkan dan dikaitkan dengan isu radikalisme seolah-olah khilafah bukan ajaran Islam. Sehingga pemerintah melakukan segala upaya untuk menghalangi dakwah tentang Khilafah, bahkan film JKDN yang murni "sejarah".
Khilafah adalah momok bagi segala kemaksiatan di muka bumi, dan ketakutan atas berakhirnya upaya penjajahan Kapitalisme Barat atas wilayah-wilayah umat Islam di seluruh dunia. Maka, barat menggunakan agen agennya yang termasuk didalamnya adalah umat Islam sendiri sehingga menjadi barisan yang terdepan menghalangi upaya dakwah Islam yang Kaffah termasuk Khilafah. Pemblokiran film khilafah ini adalah bukti atas tindakan menghalang-halangi, setelah sebelumnya memindahkan pelajaran yang berkaitan tentang Khilafah dari Materi Fikh menjadi materi Sejarah.
Akan tetapi, sekalipun banyak pihak yang mempersekusi atau bahkan mendemonisasi paham khilafah, kecintaan umat terhadap khilafah tidak akan pudar. Perjuangan tidak akan berakhir hanya dengan fitnah murahan. Sebagai muslim yang sesungguhnya sudah saatnya memperjuangkan kebenaran islam tegak di muka bumi. Karena sesungguhnya khilafah adalah ramhat bagi seluruh alam. Wallu’alam biishowwab.