Oleh : Sri Wahyuni S.Pd
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim akhirnya mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ) setelah kritik banyak pihak dialamatkan ke Kementeriannya. Menurutnya, hasil variatif ditunjukkan di setiap daerah. Ada yang berjalan efektif dan sebaliknya.
Nadiem menjelaskan di beberapa daerah khususnya di daerah terpencil dan tertinggal, kendala utama siswa dalam PJJ adalah akses internet. Namun secara nasional mayoritas siswa di Indonsia sudah bisa menikmati layanan internet. “Jadi isu utamanya banyak dari mereka justru bukan internetnya, tapi membayar kuotanya.” Mengatasi masalah itu, kata Nadiem, Kemendikbud mengizinkan dana BOS digunakan untuk membelikan siswa kuota internet. Masih menurut Nadiem, masalah lain Kemendikbud temui adalah waktu adaptasi terhadap program ini yang sangat singkat mmbuat PJJ berjalan dengan pemberian tugas yang berlipat ganda kepada siswa. “Ini memang tantangan yang berat bagi guru dan menjadi beban bagi peserta didik,” ucap Nadiem. Selain itu, Nadiem juga menyebut dalam PJJ tidak ada satu platform yang cocok diterapkan di semua sekolah. Masing-masing sekolah memiliki metode sendiri agar menjalankan PJJ secara efektif (TEMPO.CO, 11/07/20).
Persoalan akses internet, kuota hingga tak adanya kurikulum yang secara khusus mengatur proses pembelajaran daring menambah keruwetan pelaksanaan PJJ. Dimana sejauh ini proses belajar terpaku pada pemberian tugas dalam jumlah banyak, sementara materi yang diberikan porsinya cenderung lebih sedikit. Lebih-lebih daya dukung smartphone pada tiap-tiap peserta didik yang berbeda membuat pembelajaran kian tak maksimal, harapan belajar tatap muka secara virtual pun pupus digantikan dengan video-video edukatif maupun buku-buku berbentuk pdf untuk menggantikan peran guru dalam kegiatan belajar mengajar (KBM). Ketidakhadiran guru secara langsung inilah yang membuat belajar cenderung terfokus pada transfer informasi semata.
Berbagai problematika di atas sebenarnya tidak muncul begitu saja. Jika pandemi disebut-sebut menjadi penyebab utamanya pun tak bisa dibenarkan. Bukankah jauh sebelum pandemi, persoalan sarana dan prasarana pendidikan yang tak memadai serta keberadaan sekolah yang jauh dari pemukiman penduduk selalu menjadi masalah utama terlebih bagi rakyat yang tinggal di pelosok desa. Dengan demikian, ketidaksiapan Pemerintah dalam melaksanakan PJJ tentunya bukan semata faktor pandemi melainkan tak adanya perhatian penuh sedari awal pada dunia pendidikan sehingga menimbulkan efek turunan yang kian parah dikala PJJ menjadi opsi yang harus dipilih saat pandemi.
Minimnya perhatian Pemerintah dalam pendidikan sesungguhnya adalah buah dari penerpan kapitalisme yang melandaskan pada keuntungan materi dan asas manfaat atas setiap kebijakan yang dibuat. Walhasil pembangunan yang dilakukan oleh negara hanya terfokus di daerah yang memiliki potensi kekayaan maupun akses bisnis saja sementara di daerah terpencil terabaikan. Begitupun yang terjadi pada dunia pendidikan, Komersialisasi pendidikan seolah menjadi hal biasa dalam negara kapitalis. Efeknya sangat terlihat pada kualitas infrastruktur sekolah, SDM guru, dsb menjadi berbeda pada tiap-tiap sekolah. Oleh karenanya, menjadi wajar jika pelaksanaan PJJ menemui banyak kendala.
Bertolak dari hal tersebut, negara dalam sistem Islam memiliki kewajiban untuk menjamin terpenuhinya hajat hidup rakyat yang diantaranya adalah terkait pendidikan.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat); ia akan diminta pertanggungjawabannya atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Jaminan yang dimaksud bukan hanya dalam hal penyediaan sarana dan prasarana atau pun infrastruktur tetapi juga jaminan kualitas SDM guru hingga kurikulum pendidikan yang mendapat perhatian serius dari negara, tak terkecuali di daerah pedesaan sekalipun. Sehingga melalui pendidikan di sekolah atau Perguruan Tinggi benar-benar menghasilkan output yang terdidik secara moral, spiritual maupun intelektual. Hal ini karena pendidikan dalam Islam bukan hanya ditujukan untuk membekali siswa memiliki keahlian tertentu, tetapi juga agar mereka menguasai tsaqafah Islam srta terbentuk kepribadian yang islami, sehingga kelak dapat berkontribusi di masyarakat.
Hal ini pula yang membedakan dengan sistem pendidikan kapitalis yang cenderung fokus untuk mencetak generasi dengan skill tertentu dan menjadikan mereka agar dapat berdayaguna pada indusri-industri kapitalis. Sementara itu untuk mewujudkan semua hal tersebut, Baitul Mal menjadi tumpuan negara dalam penyediaan anggaran yang diperlukan. Sumber pemasukan negara yang tidak bertumpu pada pajak melainkan dari hasil pengelolaan SDA, Ghanimah, rikaz, dsb membuat hal ini dapat dengan mudah diwujudkan, bahkan dalam kondisi wabah sekalipun.