Oleh : Nurhalidah, A.Md.Keb
Pesta demokrasi untuk pemilihan kepala daerah akan kembali diadakan secara serentak di 9 provinsi untuk pemilihan gubernur, 224 kabupaten untuk pemilihan bupati, dan 37 kota untuk pemilihan walikota yang tersebar di seluruh Indonesia. Pesta demokrasi kali ini akan tampak meriah karena hampir dilaksanakan di seluruh Indonesia.
Namun, dibalik kemeriahan itu ada kelompok-kelompok tertentu yang merasa was-was yaitu pengusung dan paslon itu sendiri. Bahkan mereka ketakutan tidak hanya ketika pesta berlangsung melainkan jauh hari sebelum pesta diadakan. Berbagai macam cara dilakukan untuk mengantisipasi agar ketakutan mereka tidak menjadi kenyataan. Mulai dari politik uang hingga menyerang loyalitas masyarakat terhadap model negara saat ini.
Seperti yang terjadi di Sumbar, terlansir oleh Serambinews.com, pernyataan Puan Maharani, petinggi PDIP Perjuangan, terhadap Sumatera Barat (Sumbar) berbuntut panjang. Bakal calon gubernur Sumbar yang direkomendasikan PDI-P dalam pilkada gubernur Sumbar 2020, Mulyadi-Ali Mukhni diberitakan mengembalikan surat dukungan dari partai tersebut. Hal itu diperkirakan karena imbas dari ucapan ketua DPP PDIP Puan Maharani soal Sumbar yang jadi kontroversi. Dimana Puan menyampaikan harapan “Semoga Sumatera Barat menjadi provinsi yang memang mendukung negara pancasila”, tutur puan (05/09/2020).
Menanggapi hal ini Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) dan Pengamat Politik Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Jakarta, Ujang Komarudin. Menyatakan jika PDIP masih ditolak dan sulit menang di Sumbar. Paling tidak ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, dalam masyarakat yang religius seperti di Sumbar, PDIP diaggap tak terlalu ramah dengan agama Islam. Karena ada kader PDIP seperti Dewi Tanjung, sering mengecam islam dan tokoh-tokoh islam. Ini menjauhkan simpati masyarakat Sumbar pada PDIP. Kedua Sumbar yang cinta damai, Sumbar yang agamis, Sumbar yang kritis, Sumbar yang terkenal dengan basis intelektual yang kuat dan sangat kritis (Akurat.Co, 04/09/2020).
Pernyataan petinggi partai penguasa yang menyerang loyalitas masyarakat Sumbar terhadap model negara saat ini, mengindikasikan ketakutan partainya kalah oleh politik identitas. Hal ini menunjukan bahwa faktor Islam dalam pesta demokrasi menjadi hal yang menentukan kemenangan bagi para kontestan. Meskipun dalam sistem demokrasi yang haram, islam tetap menjadi penentu. Maka dengan piciknya para kontestan mengambil hati masyarakat supaya mendukungnya. Mereka melontarkan beribu janji, sehingga janji-janji tersebut mampu membius rakyat untuk memilih mereka. Tidak hanya janji kontestan juga memberikan iming-iming berupa hadiah maupun pembagian kursi kekuasaan sehingga rakyat semakin tergiur untuk memilih mereka. Faktanya setelah mereka menduduki kursi kekuasaan mereka malah mengingkari janji yang pernah dilontarkannya.
Demikianlah bobroknya sistem demokrasi, keberpihakan mereka terhadap Islam hanya berlangsung ketika meraih kursi jabatan saja. Para kontestan akan berlomba-lomba memoles diri dengan islam. Namun setelah mendapatkan kursi kekuasaan, islam tidak dijadikan pedoman, bahkan ketika Islam dilecehkan mereka bungkam tak berkutik. Mereka malah sibuk mengurusi kepentingan individu dan golongan mereka sendiri. Urusan rakyat diabaikan. Kendati demikian kerinduan umat terhadap kepemimpinan Islam tidak bisa dialihkan atau ditutupi lagi.
Jabatan kepemimpinan adalah tugas yang sangat berat dan tidak semua orang dapat memikulnya. Islam telah menetapkan syarat-syarat tertentu untuk seorang pemimpin yaitu, muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, adil, dan mampu melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan. Satu saja dari syarat tersebut tidak dipenuhi maka seseorang tersebut tidak layak diangkat menjadi seorang pemimpin. Dalam Islam pemimpin bertugas memperhatikan dan mengutamakan kepentingan rakyat dan menolak serta tidak mengedepankan kepentingannya sendiri, kelompoknya atau pemilik modal, apalagi yang namanya pihak asing.
Dalam Islam metode untuk mengangkat khalifah/pemimpin adalah baiat. Adapun tata –tata caranya yaitu, Mahkamah Mazhalim mengumumkan kosongnya jabatan khilafah, kemudian amir sementara melaksanakan tugasnya dan mengumumkan dibukanya pintu pencalonan. Penerimaan pencalonan diseleksi oleh Mahkamah Mazhalim yang diterima adalah yang memenuhi syarat-syarat in’iqad. Kemudian para calon yang diterima akan dilakukan pembatasan oleh anggota Majelis Umah yang Muslim dalam dua kali pembatasan, pertama dipilih enam orang dari para calon menurut suara terbanyak, kedua dipilih dua orang dari enam calon dengan suara terbanyak. Nama kedua calon tersebut diumumkan, kaum muslim diminta untuk memilih satu dari keduanya. Setelah terpilih kaum Muslim langsung membaiat calon yang mendapat suara terbanyak sebagai Khalifah bagi kaum Muslim untuk melaksanakan Kitabullah dan sunah Rasul-Nya. Setelah baiat selesai Khalifah kaum Muslim diumumkan ke seluruh Penjuru negeri. Setelah ada Khalifah yang baru maka masa jabatan amir sementara berakhir.
Demikianlah pemilihan pemimpin dalam Islam, ketakwaan yang lebih diutamakan untuk para kontestan bukan memoles diri dengan janji-janji palsu.
Wallahu a’lam bishshawaab
Post a Comment