Kejagung Terbakar, Pertanda Apa?

Oleh: Ulfah Sari Sakti,S.Pi 
(Jurnalis Muslimah Kendari)

Terbakarnya Kantor Kejaksaan Agung (Kejagung) RI, yang nyaris menghabiskan seluruh bangunan, mendatangkan spekulasi dari berbagai elemen masyarakat.  Sehingga pihak terkait misalnya DPR RI meminta Kejagung untuk melakukan investigasi atas peristiwa tersebut.
“Kejaksaan perlu juga melakukan investigasi mendalam, untuk mengetahui penyebab kebakaran.  Apa memang saat itu tidak ada petugas piket yang bisa memadamkan dan bisa mencegah membesarnya api.  Atau memang gedung Kejagung tidak memiliki alat pemadam kebakaran, sehingga api tidak tertangani,” kata Anggota Komisi III DPR, Aboe Bakar Alhabsyi.
Dia mengaku prihatin dengan kejadian tersebut.  Menurutnya, besaran kobaran api tersebut memunculkan pertanyaan dari berbagai pihak.  Oleh karena itu, Kejagung juga diharapkan menjelaskan kepada publik terkait peristiwa tersebut.  Mengingat, Kejagung saat ini, tengah menangani perkara yang mendapatkan atensi publik, seperti kasus Djoko Tjandra dan Jiwasraya.  “Hasil investigasi ini sangat diperlukan untuk mencegah spekulasi dan menjaga kepercayaan publik terhadap kejaksaan agung,” jelasnya.
Sebelumnya, Kapuspenkum Kejagung, Hari Setiyono meminta semua pihak untuk menunggu hasil penyelidikan kebakaran gedung utama Kejagung,  Ia meminta publik tidak membuat spekulasi atau asumsi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan (Republika.Co.Id/24/8/2020).
Sementara itu Indonesian Coruption Watch (ICW) curiga kebakaran Kejagung terkait Jaksa Pinangki, sehingga meminta KPK untuk turun tangan mencari tahu penyebab kebakaran.

Terbakar Karena Penegakkan Hukum yang Tidak Sesuai?
Peristiwa terbakarnya gedung utama Kejagung dan nyaris menghabiskan seluruh bangunan Kantor Kejagung menunjukkan adanya human error atau system error.  Atas terjadinya peristiwa ini, jangan salahkan masyarakat untuk berspekulasi bahkan sampai tidak percaya lagi dengan penegakkan hukum di negara ini.
Pakar Hukum Universitas Al Azhar, Suparji Ahmad, menyebut kecurigaan masyarakat soal adanya sabotase di Kejagung merupakan hal yang wajar.  Ia pun berharap Korps Adhyaksa bisa menjawab kecurigaan tersebut.  Cara menjawab menurutnya, pertama, dengan membuktikan bahwa penyebab kebakaran karena kesalahan mekanik atau ketidaksengajaan.
Kedua, harus dijawab dengan kerja nyata.  Menurut dia kecurigaan orang-orang bahwa kebakaran dalam rangka menghilangkan berkas Jaksa Pinangki atau Djoko Tjandra akan lenyap kalau proses hukum tetap berjalan sebagaimana mestinya.
“Ketiga harus dijawab dengan mekanisme pengusutan fakta secara independen dan transparan supaya tidak menimbulkan kecurigaan, karena selama ini sering kali muncul kecurigaan terhadap kebakaran.  Ada sesuatu yang mengiringi di balik itu, tapi faktanya tidak pernah terbukti,” ujarnya.  (Liputan6.Com/28/8/2020)
Peristiwa kebarakaran dengan segala kejanggalannya tersebut membuat kepercayaan masyarakat menurun terhadap pemerintah, khususnya kinerja aparat penegak hukum kejaksaan karena masyarakat menganggap kebakaran tersebut terjadi akibat penegakkkan hukum yang tidak sesuai, alias ketidakpuasan terhadap penegakkan hukum.  Yang mana ketidakpuasan ini bukan hanya kali pertama terjadi pada aparat penegak hukum, tetapi sering kali terjadi pada institusi penegak hukum lainnya.  Yah...itulah fenomena yang terjadi pada sistem Demokrasi-Sekuler.  
Bandingkan  dengan penegakkan hukum pada sistem Islam, yang mana hukum ditegakkan berdasarkan Al Quran dan As sunnah yang berkonsekuensi dunia dan akhirat, bukan berdasarkan hukum buatan manusia yang seringkali tajam ke atas dan tumpul ke bawah alias penuh dengan intervensi kepentingan.
Coba kita tengok bagaimana ketegasan pemimpin Islam, Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq dalam meneggakkan keadilan.  Suatu ketika, anak Amru bin Ash mengikuti sayembara pacuan kuda.  Tiba-tiba, kericuhan pecah ketika nama pemenang hendak ditentukan.  Meresa sebagai anak gubernur Mesir, putra Amru mengklaim lebih berhak menyandang titel juara.  Sementara, lawannya yang berasal dari kalangan rakyat biasa tidak menerima dalih itu.  Lalu putra Amru bin Ash itu memukul lawannya tersebut seraya berkata,” Terimalah itu sebagai hadiah bagi siapa pun yang berani-berani terhadap anak gubernur”.
Peristiwa ini terdengar hingga ke telinga Khalifah Umar bin Khaththab.  Beliau sangat murka, Amru bin Ash dan putranya dipanggil ke Madinah.  Pemuda Mesir yang kena pukulan anak pembesar itu disruhnya untuk membalas dengan tindakan serupa.  Bahkan, Amru bin Ash tak luput dari hukuman yang sama.  Bagi Umar, hal itu perlu supaya menjadi pelajaran bagi siapa pun agar tidak main-main terhadap rakyat.   
Begitu pula dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib, meskipun sebagai khalifah tetapi dirinya tidak menggunakan kekuasaannya untuk mengintevensi hakim atas aduan yang dilakukannya.  
Diriwayatkan Ali kehilangan baju besinya usai perang Shiffin.  Dia kemudin menemukan baju besi itu dibawa seorang Nasrani, yang dikenali dari dekorasi rumahnya.  Meskipun saat itu dia menjadi khalifah, Ali membawa persoalan itu kepada hakim.  Hakim kemudian menelusuri apakah baju besi itu milik Ali atau milik orang Nasrani.
Hakim bertanya kepada Ali apakah dia punya bukti baju besi itu miliknya.  Ali pun menjawab dia tidak punya bukti apa pun.  Alhasil, hakim memutuskan baju besi itu milik si Nasrani.  Lalu si tertuduh pergi sembari membawa baju besi tersebut dan Ali hanya bisa menatapnya.
Tetapi, beberapa langkah kemudian, si Nasrani itu berhenti dan berbalik.  “Saya bersaksi apa yang saya lihat saat ini adalah keadilan para Rasul dan Nabi.  Dan Amirul Mukminin mendatangi hakim untuk mengambil haknya dariku.  Saya bersaksi tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah, dan saya bersaksi Muhammad adalah utusan Allah,” kata di Nasrani, yang seketika dia telah memeluk Islam.  Dia pun lalu menjelaskan baju besi itu diambilnya dari Ali setelah mengikuti pasukan Islam dalam sebuah pertempuran.
Fakta penegakkan hukum pada sistem pemerintahan Islam tersebut, sangat berbeda jauh dengan penegakkan hukum pada sistem Demokrasi-Sekuler saat ini, karena kebanyakan vonis hukum memihak kepada masyarakat menengah atas, tidak berefek jera serta penguasa mengintervensi jalannya peradilan.  Semoga saja umat tercerahkan dengan perbandingan nyata antara kedua sistem tersebut an memilih kembali kepada sistem Islam.  Wallahu’alam bishowab[]. 
Previous Post Next Post