Pendidik Palembang
Wakil Ketua MPR RI Zulkifli Hasan menyampaikan kecaman keras terhadap kejadian penusukan yang menimpa Syekh Ali Jaber. Zulhas, sapaannya, menilai tidak mungkin kejadian penusukan itu dilakukan oleh orang gila.
Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) ini pun meminta pihak aparat agar mengusut tuntas kasus tersebut. Zulhas menduga bisa jadi peristiwa tersebut dilakukan secara terencana.
Sebelumnya diberitakan, Syekh Ali Jaber membenarkan kejadian Ahad sore tadi. Dalam pesan suara yang diterima hidayatullah.com dan beberapa media lain melalui ponsel, pria yang biasa menjadi juri Tahfidz Al Quran tersebut menyatakan saat ini dirinya dalam keadaan baik-baik.“Qadarullah, Allah selamatkan saya dari mati, rencana pembunuhan. Saya baru keluar rumah sakit,” katanya.Akibat tusukan itu, pria berusia 44 tahun tersebut mendapat luka jahitan di lengan. “Lukanya cukup dalam, jahitan di dalam enam jahitan dan luar empat jahitan. Alhamdulillah Ana bi khair,“pungkasnya.* ( Hidayatullah.com,13/09/2020 )
Para pengemban dakwah hari ini pun mengalami berbagai tantangan dan persekusi.
Berbagai upaya dilakukan untuk menghentikan dakwah. Di antaranya dengan membubarkan pengajian-pengajian; mengancam dan mengintimidasi jemaah pengajian maupun ustaz yang mengisi pengajian; juga mengkriminalisasi para dai dengan tuduhan sebagai kaum radikal, membahayakan kebinekaan, mengancam persatuan dan kesatuan, dsb..
Bahkan yang teranyar, rencana sertifikasi dai akan segera direalisasikan. Siapa pun yang dianggap dakwahnya tidak sesuai dengan rezim, tak akan lolos dari sertifikasi ini.
Para aktivis dakwah pun ditangkap, dituduh melakukan ujaran kebencian dan menyebarkan hoaks di media sosial. Anehnya, berbagai akun medsos yang terang-terangan menghina tokoh Islam, menyerang ormas Islam, juga menghina dan menistakan ajaran Islam lamban diproses bahkan mayoritas tak kunjung ditindak.
Ajaran Islam juga dikriminalkan, terutama syariat dan Khilafah. Para penentang dakwah melakukan framing terhadap dakwah penegakan syariat dan Khilafah sebagai ancaman terorisme.
Khilafah dianggap sebagai ajaran yang membahayakan bahkan ada yang menyamakan bahayanya dengan komunisme. Tujuannya adalah menjauhkan umat dari dakwah Islam kaffah dan Khilafah.
Bagaimana kedudukan ulama dalam Islam? Dan bagaimana seharusnya penguasa memperlakukan ulama?
Tidaklah samar bagi seluruh kaum muslimin akan kedudukan dan derajat yang tinggi dari para Ulama. Ilmu yang mereka miliki telah menghantarkan mereka pada kedudukan terbaik dan derajat muttaqin, yang dengannya tinggilah kedudukan dan derajat mereka.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kalian beberapa derajat, dan Dialah yang Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mujadilah: 11).
Ulama adalah lambang iman dan harapan umat; Mereka tak kenal lelah memberikan petunjuk dengan hanya berpegang pada Islam. Siang hari mereka habiskan untuk membina umat dan membentenginya dari kekufuran, kezaliman, dan kefasikan.
Malam hari mereka duduk bersimpuh, juga sujud dan berdoa bagi kemuliaan umat islam. Mereka adalah pewaris para nabi sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
“Dan sesungguhnya, para ulama itu adalah pewaris para nabi.” (HR Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Turmudzi).
Keberadaan ulama yang berada di barisan terdepan dalam membina umat akan menjadi penerang dan penunjuk arah, dan Rasulullah Saw. mengibaratkan mereka laksana bintang dalam sabdanya:
“Sesungguhnya perumpamaan ulama di muka bumi laksana bintang bintang yang ada di langit yang menerangi gelapnya bumi dan laut. Maka apabila hilang bintang gemintang itu hampir hampir tersesatlah yang tertunjuki itu”. (HR Ahmad)
Dan ulama adalah sosok yang harus dihormati dan dimuliakan. Perkataannya adalah nasihat yang seharusnya didengar, karena ia adalah guru bagi para penguasa sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Ghazali,
“Sultan atau penguasa tugasnya mengurusi rakyat. Sementara sultan sendiri untuk mengurusi rakyat membutuhkan sebuah undang-undang. Sedangkan ahli fikih atau ulama ialah orang yang tahu tentang undang-undang siyasah. Jadi, ahli fikih atau ulama itu posisinya adalah gurunya sultan atau penguasa dan tugas guru ialah menjelaskan atau meluruskan murid jika sang murid berjalan tidak sesuai materi undang-undang.” (Ihya Ulumuddin; Juz 1)
Keberadaan ulama sangatlah penting, sebagaimana pula keberadaan para penguasa (umara) karena agama dan kekuasaan adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Imam al Ghazali mengibaratkannya sebagai saudara kembar.
“Sesungguhnya dunia adalah ladang bagi akhirat, tidaklah sempurna agama kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar; Agama merupakan fondasi dan penguasa adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur, dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan hilang. Dan tidaklah sempurna kekuasaan dan hukum kecuali dengan adanya pemimpin.” (Ihya Ulumuddin; Juz 1)
Demikianlah Islam memosisikan para ulama. Sungguh sangat jauh berbeda dengan bagaimana sistem kapitalisme dengan rezim sekulernya memosisikan para ulama.
Dalam Islam, para ulama mendapatkan tempat terhormat sebagai penasihat yang menentukan kebijakan penguasa. Sementara dalam sistem kapitalisme, ulama justru dimanfaatkan hanya sebagai stempel legalitas kebijakan penguasa.
Di dalam Islam, ulama memiliki peran strategis yang akan memastikan penguasa selalu berada di jalan kebenaran dan hanya taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini karena mereka benar benar melakukan amar makruf nahi mungkar dengan lisan-lisan mereka, hingga keluarlah nasihat dan kritik kepada para pemimpin tanpa memperhatikan apakah hal itu menyelamatkan ataukah membahayakan mereka.
Dalam Kitabnya Maqamat al-‘Ulama Bain Yaday al-Khulafa’ wal al-Umara’ Imam al-Ghazali mengisahkan bagaimana sikap dan pendirian ulama di hadapan kekuasaan, ketika mereka harus berinteraksi dengan elite pemimpin.
Beragam peristiwa yang dinukilkan al- Ghazali di kitabnya itu menunjukkan independensi, kredibilitas, integritas, dan kejernihan mereka di hadapan kekuasaan. Nasihat-nasihat yang mereka berikan tetap berbobot meski disampaikan di hadapan khalifah, elite tertinggi ketika itu.
Salah satu kisah yang dinukilkan Imam al- Ghazali adalah kisah integritas Syabib bin Syaibah di hadapan Khalifah al-Mahdi, putra al-Manshur. Syabib menyampaikan petuahnya, “Wahai pemimpin umat Islam. Sesungguhnya Allah SWT ketika membagi rezeki, Dia tidak ridha untukmu dari dunia kecuali yang terbaik dan tertinggi. Maka, janganlah engkau berpuas diri dari akhirat, kecuali persis seperti apa yang telah Allah karuniakan kepadamu dari dunia. Bertakwalah kepada Allah. Bukalah pintu maaf dalam kuasamu. Lawanlah hawa nafsu”.
Sungguh mulia apa yang disampaikannya. Mengingatkan penguasa untuk lebih memperhatikan akhiratnya. Dan sebaik baik akhirat itu akan didapatkan penguasa ketika ia benar benar menjalankan kepemimpinannya dengan amanah. Menjalankan fungsi raa’in (pengurus dan pengatur) dan junnah (penjaga dan pelindung) dengan sebaik baiknya.
Sungguh, hanya sistem Islamlah yang akan memuliakan para ulama. Menempatkan mereka pada posisi terhormat sebagaimana Allah telah tetapkan untuk mereka. Hanya dalam Daulah Khilafah, hubungan ulama dan penguasa (umara) menjadi hubungan yang diberkahi dan dirahmati Allah.
Penguasa menjalankan amanah mengatur dan mengurus rakyatnya dengan sebaik baiknya sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Sementara ulama menasihati penguasa, membimbingnya agar selalu berada di jalan kebenaran dan menerapkan hukum Allah secara keseluruhan bagi rakyat.Wallahu’alam bishshowab
Post a Comment