(Pemerhati Kebijakan Publik)
Kejagung Terbakar. Sontak saja publik dikejutkan dengan berita ini. Ya, benar saja. Kebakaran ini berawal sejak Sabtu (22/8) malam, yang saat itu masih dalam penanganan pihak pemadam kebakaran. Hingga Minggu pukul 03.15 WIB api belum juga bisa dipadamkan dan merambat dari sisi utara ke sisi selatan gedung.
Kebakaran hebat di Gedung Utama Kejaksaan Agung (Kejagung) terjadi sekitar pukul 19.00 WIB. Sebanyak 230 petugas dan 65 unit mobil pemadam kebakaran yang diterjunkan benar-benar kesulitan untuk memadamkan api. Kebakaran baru bisa dipadamkan setelah hampir 12 jam petugas berjibaku memadamkan api. Seluruh gedung utama pun hangus tak tersisa.
Ada kecurigaan publik bahwa kebakaran Kejagung ini memang direncanakan oknum untuk menghilangkan berkas-berkas bukti korupsi. Mengingat Kejagung saat ini sedang menangani kasus Djoko Tjondro terkait kasus korupsi. Sedangkan publik saat ini ramai mengkait-kaitkan adanya hubungan antara kebakaran Kejagung dengan kasus yang sedang ditangani saat ini.
Kecurigaan publik ini wajar saja. Sebab, kebakaran tersebut memang bertepatan dengan kasus-kasus besar yang saat ini tengah ditangani Kejaksaan Agung. Seperti kasus korupsi PT Jiwasraya dan Djoko Tjandra. Ya, dua kasus besar ini cukup menyita perhatian publik. Meski begitu, publik masih menunggu hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Polri.
Disamping itu, ICW juga turut mendesak agar KPK menyelidiki penyebab terbakarnya gedung Kejaksaan Agung. Setidaknya hal ini untuk membuktikan, apakah kejadian tersebut murni karena kelalaian atau memang direncanakan oleh oknum tertentu.
Nah, beranjak dari hal tersebut. Kejaksaan perlu melakukan investigasi mendalam, untuk mengetahui penyebab kebakaran. Apakah saat kejadian tersebut tidak ada petugas piket yang bisa memadamkan api dan mencegah membesarnya api. Atau memang gedung Kejaksaan Agung tidak memiliki alat pemadam kebakaran, sehingga api tidak tertangani?
Rasa-rasanya hal yang aneh jika gedung Kejagung tidak memiliki alat pemadam. Bukankah alat pemadam adalah alat yang sangat penting ada di kantor-kantor, terutama gedung-gedung pemerintahan? Sungguh jika benar Kejagung tidak memiliki alat pemadam, ini adalah kelalaian dari pihak Kejagung sendiri. Mengapa tidak menyediakan peralatan urgen tersebut. Hal ini menunjukkan terdapat kesalahan fatal dalam sistem keselamatan gedung.
Tak bisa dipungkiri bahwa kebakaran yang melalap gedung Kejagung memang sangat dahsyat. Bagaimana tidak? Sekitar 135 personel pemadam kebakaran dikerahkan untuk menaklukkan si jago merah. Namun tak lantas membuat si jago merah padam. Butuh waktu hingga hampir 11 jam untuk memadamkan api.
Manlian Ronald A. Simanjuntak pun angkat bicara terkait kebakaran yang terjadi di Kejagung. Pengajar Teknik Sipil Konsentrasi Manajemen Proyek Konstruksi Universitas Pelita Harapan (UPH) itu mengatakan bahwa, kebakaran yang terjadi di Kejagung menunjukkan terdapat kegagalan sistem keselamatan yang sangat fatal.
Ia juga menuturkan, dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002, Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2008 dan Nomor 7 Tahun 2010 disebutkan bahwa, sistem keselamatan gedung setidaknya harus memiliki dua faktor utama yaitu kelaikan administrasi dan kelaikan teknis.
Dari sini bisa terlihat bahwa manajemen keselamatan bangunan tidak berfungsi secara maksimal. Padahal, gedung Kejagung adalah kantor pemerintahan. Sudah seharuanya pemerintah melakukan pengecekan total terhadap seluruh sistem keselamatan. Terutama gedung yang berumur di atas 40 tahun, apalagi bangunan milik pemerintah. Termasuk pengecekan kelengkapan administrasi berupa Sertifikat Laik Fungsi (SLF) bangunan. (Cnnindonesia, 24/8/2020)
Walhasil tampak saat ini bahwa, kepercayaan publik terhadap pemerintah makin menunjukkan penurunan. Ya, tampaknya saat ini tengah terjadi krisis kepercayaan antara publik kepada pemerintahan Jokowi. Meski sudah mendapat penjelasan bahwa bukti-bukti berkas korupsi disimpan ditempat yang aman, tak lantas membuat publik pwrcaya begitu saja. Publik seolah tak percaya dengan penjelasan pemerintah. Mengingat, rekam jejak pemerintahan saai ini terlalu sarat dengan kepentingan oligarki. Bukankah benar demikian?
Oleh karna itu rakyat tidak boleh lengah. Rakyat harus tetap mengawal berbagai kebijakan pemerintah termasuk mengoreksinya. Jika didapati ada yang menyimpang, maka rakyat wajib memyampaikan dan meluruskannya. Pun juga jika penguasa lalai dalam amanah, rakyat harus mengingatkannya. Jika penguasa zalim, rakyat wajib menasihatinya. Bukankah demikian? Ya, begitulah seharusnya. Wallahu'alam-bishoab.
Post a Comment