Oleh : Shafiya
Pemerhati Sosial
Gedung Kejaksaan Agung (Kejagung) kebakaran sekitar pukul 19.10 WIB, Sabtu, 22/08/2020. Api masih berkobar hingga pukul 22.10 WIB.
Peristiwa kebakaran ini sontak menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat. Mereka juga merasa bingung, mengapa api sulit dipadamkan. Pasalnya gedung kejaksaan agung ini berada di tengah ibu kota, ikon negeri. Gedung yang dipastikan memiliki pengamanan tingkat tinggi, serta menjadi model yang optimal terhadap bahaya kebakaran. yang tidak mungkin tanpa Sertifikat Laik Fungsi (SLF).
Dilansir oleh cnnindonesia.com (23/08/2020), Pengajar Teknik Sipil Konsentrasi Manajemen Proyek Konstruksi Universitas Pelita Harapan (UPH) Manlian Ronald A Simanjuntak, mengatakan, bahwa kebakaran yang terjadi di Gedung Kejaksaan Agung (Kejagung) menunjukkan kegagalan sistem keselamatan yang sangat fatal. Kebakaran yang terjadi merupakan kegagalan sistem keselamatan kawasan
Dia juga menuturkan sistem keselamatan gedung setidaknya memiliki dua faktor utama yaitu kelaikan administrasi dan teknis. Hal tersebut tertuang dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002, Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2008 dan Nomor 7 Tahun 2010. Dalam kasus kebakaran ini, kedua faktor dimungkinkan gagal.
Setidaknya terdapat sejumlah catatan kritis dari peristiwa nahas yang menimpa gedung Korps Adhyaksa itu. Di antaranya adalah kebakaran yang terjadi menunjukkan kegagalan sistem proteksi aktif.
Kegagalan itu, terlihat jelas karena sumber air tidak maksimal. Kondisi hidran gedung dan hidran halaman tidak berfungsi maksimal. Tim Pemadam Kebakaran kesulitan memadamkan api karena sumber air tidak maksimal.
Bahkan Indonesian Corruption Watch (ICW) meminta KPK ikut turun tangan mencari tahu penyebab kebakaran gedung utama Kejaksaan Agung (Kejagung) tersebut.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, seperti dilansir detik.com,( 23/8/2020), mendesak agar KPK turut menyelidiki penyebab terbakarnya gedung Kejaksaan Agung. Setidaknya hal ini untuk membuktikan, apakah kejadian tersebut murni karena kelalaian atau memang direncanakan oleh oknum tertentu.
Terjadinya kebakaran Gedung Kejaksaan Agung (Kejagung) seolah menambah deretan beban dan permasalahan negeri ini di tengah wabah Covid-19. Betapa tidak, negeri ini di tengah kemelut ekonomi yang mendera, muncul pula problem baru yang dapat menurunkan tingkat kepercayaan publik.
Masyarakat menaruh kepercayaan penuh kepada institusi ini atas penegakkan hukum di negeri ini. Namun peristiwa kebakaran itu datang di tengah banyaknya kasus hukum yang di tanganinya. Muncul spekulasi dari beberapa pengamat hukum dan intellijen, terkait musnahnya beberapa kasus yang masih ditangani kejagung, seperti kasus korupsi jiwasraya ikut hangus bersama terbakarnya gedung kejagung. Namun semua masih menunggu penyelidikan yang berwenang.
Rakyat negeri ini sebelumnya juga telah dibuat syok dengan adanya kebijakan menaikkan iuran BPJS di tengah wabah, pembangunan infrastruktur yang terkesan dipaksakan, pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) oleh Tenaga Kerja Asing (TKA), dan lain sebagainya. Semua itu dapat menyebabkan penurunan tingkat kepercayaan publik terhadap kredibilitas pemerintah.
Lalu, bagaimana sikap pemerintah agar mampu mengembalikan kepercayaan publik terhadap kredibilitasnya? Apakah jeritan hati rakyat akan terus terabaikan?
Sepanjang paham kapitalisme sekularisme diambil, maka kemelut akan terus terjadi. Sebagai hasilnya, rakyat akan terus merasakan dampak negatif dari setiap kebijakan yang diputuskan. Dengan dalih ekonomi, apapun kebijakannya akan tetap digolkan karena merupakan nafas dari eksistensi paham tersebut.
Kini, sudah saatnya umat memiliki pemahaman yang cemerlang, bergerak bersama memberikan masukan-masukan kepada penentu kebijakan berkaitan dengan pengelolaan dan pengurusan urusan umat. Sejatinya kepentingan rakyat diposisikan di atas kepentingan yang lain.
Dalam Islam pemimpin yang mencintai rakyatnya adalah pemimpin yang senantiasa berbenah diri atas kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi. Memimpin berdasarkan Al-Qur’an dan hadis, sehingga dijumpai para khalifah dalam mengemban tugasnya mampu mewujudkan kesejahteraan rakyatnya di sepertiga wilayah dunia selama lebih dari tiga belas abad.
Seperti kisah Khalifah Umar bin Khaththab saat naik ke atas mimbar lalu berpidato di hadapan khalayak ramai. Ia berkata, “Wahai orang-orang, jangan kalian banyak-banyak dalam memberikan mas kawin kepada istri. Karena mahar Rasulullah saw. dan para sahabatnya sebesar 400 dirham atau di bawah itu. Seandainya memperbanyak mahar bernilai takwa di sisi Allah Swt. dan mulia, jangan melampaui mereka. Aku tak pernah melihat ada lelaki yang menyerahkan mahar melebihi 400 dirham.”
Dalam riwayat lain khalifah Umar mengancam akan memangkas setiap kelebihan dari mahar itu dan memasukkannya ke dalam kas baitul mal. Selesai pidato khalifah Umar turun dari mimbar, tiba-tiba seorang perempuan Quraisy berdiri lalu melontarkan protes, “Hai Amirul Mu’minin, kau melarang orang-orang memberikan mahar kepada istri-istri mereka lebih dari 400 dirham?“.
Khalifah Umar menjawab, “Ya”. Wanita itu kemudian bertanya kembali, “Apakah kau tak pernah dengar Allah Swt. menurunkan ayat Al-Qur’an yang berbunyi, “… kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak (sebagai mahar)….” (QS. an-Nisa’: 20). Lalu, protes tersebut disambut hangat oleh khalifah Umar, sambil membaca istighfar dan berujar, “Tiap orang lain lebih paham ketimbang Umar.”
Lalu Khalifah Umar kembali ke atas mimbar dan berpidato lagi, “Wahai khalayak, tadi aku larang kalian memberikan mahar kepada istri melebihi 400 dirham. Sekarang silakan siapa pun memberikan harta (sebagai mahar) menurut kehendaknya.”
Sikap Khalifah Umar bin Khaththab menggambarkan kepribadian dan keteladanan seorang pemimpin yang rendah hati dan terbuka terhadap kritik dari rakyatnya. Selanjutnya, teladan kepemimpinan tersebut, juga tidak hanya ditunjukkan dari cara yang santun dalam menyikapi kritik, tetapi tanpa rasa sungkan Umar juga mengakui kekurangannya dan tanpa ragu untuk memperbaiki isi pidatonya.
Sikap saling memberi dan menerima kritik mencerminkan teladan dalam bentuk membangun hubungan saling menghormati dan mencintai antara seorang pemimpin dengan rakyatnya, bukan sebaliknya dalam rangka untuk saling menjatuhkan karena kebencian dan ketidaksukaan.
Rasulullah saw. bersabda, yang artinya, “Sebaik-baiknya pemimpin kamu adalah mereka yang kamu cintai dan mereka pun mencintaimu; kamu menghormati mereka dan mereka pun menghormati kamu. Pun sejelek-jeleknya pemimpin kamu adalah mereka yang kamu benci dan mereka pun benci kepada kamu. Kamu melaknat mereka dan mereka pun melaknatmu.” (HR. Muslim)
Semestinya seorang pemimpin mau menerima kritik, nasehat, dan masukan dari rakyatnya sebagai bagian untuk memperbaiki diri dan meraih keberuntungan dalam kehidupan dunia dan aikhirat.
Allah Swt. berfirman yang artinya, “Di antara ciri orang yang mendapatkan keberuntungan di dunia dan di akhirat adalah orang yang beriman, beramal saleh, serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran." (QS. al-‘Ashr: 1-3).
Dengan bersikap terbuka, mau menerima nasehat dan kritik, sesungguhnya hal tersebut dapat mengangkat dan meningkatkan kepercayaan publik dalam spirit kepemimpinan.
Wallahu a’lam bishshawab.