Ilusi Reformasi Birokrasi


By : Qisti Pristiwani
Mahasisiswi UMN AW

Mendambakan pelayanan publik yang mudah, cepat, nyaman dan membawa kesejahteraan tentulah menjadi impian semua masyarakat di seluruh wilayah tanah air. Tak terkecuali Kota Medan. Menanggapi hal ini, seorang akademisi yang sekaligus seorang pemerhati politik dan pemerintahan asal Universitas Sumatera Utara (USU), Dadang Darmawan mengaku terus mengamati hal ini. Menurutnya, dalam lima tahun terakhir tidak terjadi perbaikan menonjol dalam hal pelayanan publik di Kota Medan. Faktor penyebabnya adalah mentalitas aparatur di lingkup Pemko Medan yang masih belum terbenahi. Karenanya, beliau optimis pada reformasi birokrasi yang akan membawa kota Medan maju dan terbuka ( https://www.posmetro-medan.com/2020/09/pengamat-reformasi-birokrasi-langkah.html?m=1 ).

Reformasi birokrasi bisa saja membawa perubahan pada pelayanan publik. Namun, hal ini akan mustahil bila sistem yang dijalankan tak turut direformasi. Pasalnya, sistem kapitalis-demokrasi yang tengah dijalankan saat ini tak akan pernah melahirkan pemimpin yang tulus dan ikhlas melayani masyarakat. Mereka senantiasa disibukkan dengan aktivitas yang dapat mengembalikan modal yang dikeluarkan sebelum menjadi bagian dari pemerintahan. Mahalnya ongkos politik ini meniscayakan abainya para penguasa terpilih akan kewajiban mengayomi dan mengurusi masyarakat sebagaimana amanat undang-undang. Betapa tidak, seperti yang dikatakan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Pak Tito Karnavian mengatakan, “Bupati kalau gak punya 30 M, gak akan berani. Walikota dan gubernur lebih tinggi lagi...” ( Zulkarnain Hamson.wordpress.com 14/09/20). 

Belum lagi bila ongkos politik ini dibiayai oleh para cukong. Ini akan melahirkan pemimpin yang sarat akan korupsi kebijakan. Pak Mahfud mengatakan, korupsi kebijakan lebih berbahaya daripada korupsi uang (Tempo.CO 11/09/20). Jelas hal ini begitu menakutkan. Sebab, korupsi kebijakan ini akan mengarah pada penjarahan sumberdaya alam yang sudah pasti dinikmati oleh para koorporasi yang bekerjasama namun tak mengindahkan aspek lingkungan maupun dampak bagi masyarakat sekitar. Hemat kata, kebijakan ini bukanlah diperuntukkan untuk kesejahteraan masyarakat melainkan untuk mengumpulkan seonggok keuntungan yang masuk ke dalam kantong-kantong penguasa yang bermain di dalamnya. 

Demikianlah aktivitas politik yang berada dalam lingkar kapitalis-demokrasi, yakni sistem pemerintahan berasaskan sekuler dan tolak ukur aktivitasnya hanya bertumpu pada materi. Walhasil, mustahil niat menyejahterakan masyarakat akan terealisasi. Sebab, kapitalis-demokrasi tak memfasilitasi penguasa untuk benar-benar membangun kesejahteraan hakiki tersebut. Malah, penguasa yang awalnya tulus pun akan tergerus dalam permainan politik kotor sebagai imbas dari asas sekuler ini. Maka, solusi reformasi birokrasi ini adalah solusi yang pragmatis dan parsial untuk mewujudkan kemjauan tersebut. 

Lain halnya bila pemerintah mereformasi sistem yang ada dengan menerapkan sistem Islam kaffah dibawah naungan daulah Khilafah Islamiyyah. Islam telah menunjukkan bagaimana membawa negara pada kemajuan hakiki dan diikuti juga keadaan masyarakat yang madani selama kurang lebih 14 abad lamanya. Sebagaimana yang dicapai oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz pada masa daulah Umayyah. Pada masa kepemimpinannya yang hanya kurang lebih 3 tahun, tak satu pun ada orang miskin yang berhak diberi zakat. Zaid bin khatab pun mengungkap kekagumannya pada sistem keadilan yang mulia tersebut, “(Berkat Allah melalui tangan) Umar bin Abdul Aziz banyak penduduk yang hidup berkecukupan.” (Abdullah bin Abdul Hakam, sirah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, 110)

Hal ini dikarenakan, pemerintahan yang ada menjadikan al-Qur’an dan as-sunnah sebagai undang-undang kehidupan. Sehingga, lahirlah sosok Khalifah (pemimpin) dan pejabat negara yang berjiwa Qur’ani, yakni pemimpin yang senantiasa menjalankan amanah di bumi dengan mengelola sebaik-baiknya alam berdasarkan perintah Allah dan juga menjadi sosok ri’ayatunnaas atau pelayan dan pengurus urusan rakyat. Tak ada istilah “Pengembalian ongkos politik”, sebab Islam meniadakan aktivitas politik yang bercokol pada kepentingan nafsu duniawi. Walhasil, terwujudlah sosok pemimipin yang tulus dan ikhlas melayani rakyat. Sehingga pelayanan publik yang prima tentu saja menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan. 

Dengan demikian, bila pemerintahan hari ini mengikuti jejak para khalifah terdahulu yang telah berhasil menjadikan wilayah kekuasaannya menjadi mercusuar dunia, maka bukan hanya Kota Medan yang akan terdepan dan maju. Tetapi seantero negri bisa merasakan kesejahteraan hakiki tersebut. Tidakkah kita ingin merasakannya? Wallahua’lam bisshowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post