Oleh: Safiatuz Zuhriyah, S.Kom
Aktivis Dakwah Muslimah
Beberapa waktu yang lalu, viral di medsos video anggota Ansor Bangil sedang menanyai AH terkait dugaan penghinaan terhadap Nahdlatul Ulama dan ulamanya Habib Luthfi bin Yahya di media sosial. Puluhan anggota Ansor Bangil mendatangi kediaman AH dalam rangka klarifikasi terkait masalah tersebut dan menyebut AH sebagai pengikut HTI. Tak sedikit warganet yang menganggap tindakan Ansor Bangil tersebut merupakan persekusi.
Namun, lain halnya dengan pendapat Menteri Agama Fachrul Razi. Beliau menyatakan mendukung tindakan Gerakan Pemuda Ansor Bangil yang mendatangi rumah AH, seorang warga yang disebut pengikut Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Desa Kalisat, Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan.
"Saya memberi apresiasi atas langkah tabayyun yang dilakukan oleh Banser PC Ansor Bangil yang mengedepankan cara-cara damai dalam menyikapi gesekan yang terjadi di masyarakat terkait masalah keagamaan," ujar Menag Fachrul Razi dalam keterangannya seperti dikutip Tagar, Sabtu, 22 Agustus 2020.
Tentu saja penyataan Menag tersebut menimbulkan tanda tanya bagi khalayak. Bagaimana bisa seorang pejabat publik yang seharusnya memberi rasa aman dan perlindungan di tengah masyarakat, malah mendukung tindakan persekusi?
Untuk itu, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah meminta supaya Menag Fachrul Razi mampu membedakan tabayyun dengan persekusi. Menurut Dedi, memaksa seseorang mengakui aktivitas yang tidak terbukti di muka hukum adalah persekusi. Dia pun menyarankan agar Fachrul dapat menempatkan diri sebagai penengah dalam permasalahan tersebut. Terlebih, hal itu berkaitan dengan urusan keagamaan dan kerukunan, yang menjadi bidangnya di Kemenag.
Bila kita mencermati video yang diunggah, maka nampak jelas bahwa telah terjadi persekusi di sana. Satu orang yang dituduh anggota HTI, mendapat kekerasan secara verbal dan intimidasi oleh puluhan anggota Banser (Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama). Beliau dipaksa mengakui bahwa telah bersalah menyebarkan ideologi khilafah dan dipaksa menandatangani surat pernyataan tidak akan menyebarkan ideologi khilafah kembali. AH juga dituduh telah mencuci otak pengikutnya sehingga berani menghina organisasi dan kyai NU. Menghadapi tindakan tersebut, AH nampak tenang tidak terprovokasi dan menyarankan kepada ketua rombongan untuk melaporkan kasus ini kepada yang berwajib.
Sungguh, tindakan Banser ini sangat disayangkan. Bila tindakan tersebut dimaksudkan untuk tabayun, maka seharusnya dilakukan dengan cara yang baik dan beradab. Bukan dengan membentak-bentak dan memaksa. Harus diperhatikan cara bersikap kepada orang tua dan ulama. Yaitu memperlakukannya dengan terhormat.
Rasulullah menghendaki agar umatnya mau tabayun (mencari informasi yang benar) atas berita tentang saudaranya. Supaya tidak timbul fitnah dan salah paham. Tabayun, merupakan sikap yang sudah seharusnya melekat pada diri orang-orang beriman. Dengan cara seperti itulah umat Islam tidak mudah diadu domba oleh pihak yang tidak menginginkan Islam dan umatnya jaya.
Allah Swt. berfirman, ''Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.'' (QS Al-Hujurat [49]: 6).
Seperti yang dilakukan Rasululllah saw. ketika menghadapi kemarahan Umar karena ulah Hisyam yang telah membaca Al-Qur’an tidak sesuai dengan bacaan Umar. Umar menuduh bahwa Hisyam telah berbohong ketika mengatakan bahwa bacaan tersebut didapatnya dari Rasululllah. Ia ingin membuktikan bahwa Hisyam bersalah. Umar menyeretnya menemui Rasulullah saw. Setelah menghadap Rasulullah, Umar pun mengadu tentang perihal ini. Apa kata Rasulullah kepada Umar? Rasulullah saw. bersabda, ''Lepaskan dia, Umar! Bacalah, Hisyam!''
Rasulullah menghendaki agar Umar melepaskan Hisyam dan menyuruh Hisyam untuk membaca Al-Qur’an. Rasulullah menyuruh Umar melepaskan Hisyam sebagai upaya agar Hisyam dapat menjawab dengan tenang tanpa tekanan. Sedangkan Rasulullah menyuruh Hisyam untuk membaca Al-Qur’an agar Hisyam membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Kemudian, Hisyam membaca Al-Qur’an menggunakan dialek yang berbeda dengan dialek Umar. Setelah mendengar bacaan Hisyam, Rasulullah saw. bersabda, ''Begitulah ia diwahyukan.'' Artinya, benarlah apa yang dibacakan Hisyam.
Setelah mengetahui bacaan Hisyam benar, Rasulullah menyuruh Umar membacanya, takutnya dialek Umarlah yang salah. Lagi-lagi di sini Rasulullah tabayun. Sekalipun Umar adalah sahabat yang terdekat dengannya, beliau tak peduli. Beliau hanya taat kepada kebenaran, sekali lagi agar tidak timbul fitnah di kemudian hari. Sebab, bisa jadi, hanya karena hal sepele, Islam menjadi rusak dan umat terpecah belah.
Setelah memastikan bahwa bacaan Umar juga benar, Rasulullah saw. kemudian bersabda, ''Begitu pulalah ia diwahyukan. Alquran diwahyukan untuk dibacakan dengan tujuh cara (qira'ah as-sab'ah), maka bacalah dengan cara yang mudah bagimu.''
Seperti itulah seharusnya sikap yang ditunjukkan oleh Menag, yaitu menjadi penengah di antara pihak-pihak yang berselisih, seraya menghilangkan tekanan supaya bisa diklarifikasi duduk perkaranya dengan baik. Bukan malah mendukung tindakan persekusi yang dilakukan oleh salah satu pihak.
Mengenal Khilafah yang Diperselisihkan
Kewajiban adanya Khilafah telah disepakati oleh seluruh ulama dari seluruh mazhab. Tidak ada khilafiyah (perbedaan pendapat) dalam masalah ini, kecuali dari segelintir ulama yang tidak teranggap perkataannya (laa yu’taddu bihi). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Bab Al Imamah Al Kubro, Juz 6 hlm. 163).
Disebutkan dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah Juz 6 hlm. 164 :
أجمعت الأمّة على وجوب عقد الإمامة ، وعلى أنّ الأمّة يجب عليها الانقياد لإمامٍ عادلٍ ، يقيم فيهم أحكام اللّه ، ويسوسهم بأحكام الشّريعة الّتي أتى بها رسول اللّه صلى الله عليه وسلم ولم يخرج عن هذا الإجماع من يعتدّ بخلافه
“Umat Islam telah sepakat mengenai wajibnya akad imamah (khilafah), juga telah sepakat bahwa umat wajib mentaati seorang imam (khalifah) yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, yang mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum syariah Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. Tidak ada yang keluar dari kesepakatan ini, orang yang teranggap perkataannya saat berbeda pendapat.”
Di Indonesia sendiri, pembahasan tentang khilafah di kalangan pelajar dan akademisi bukanlah sesuatu yang asing. H. Sulaiman Rasjid di kitab beliau, Fiqh Islam, telah mencantumkan satu kitab (ket: yang dimaksud dengan ‘kitab’ adalah ‘bab’ menurut lazimnya penulisan sekarang) bernama Kitab al-Khilafah.
H. Sulaiman Rasjid mendefinisikan al-Khilafah dengan “suatu susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran agama Islam, sebagaimana yang dibawa dan dijalankan oleh Nabi Muhammad saw. semasa beliau hidup, dan kemudian dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abu Talib). Kepala negaranya dinamakan khalifah.”
Beliau, sebagaimana banyak penulis kitab fiqih lainnya, menyatakan bahwa hukum mendirikan khilafah adalah kewajiban atas semua kaum muslimin. Berikut pernyataan beliau, “Kaum muslim (ijma’ yang mu’tabar) telah bersepakat bahwa hukum mendirikan khilafah itu adalah fardu kifayah atas semua kaum muslim.”
Beliau menyebutkan alasan kewajiban mendirikan khilafah adalah berdasarkan: (1) Ijma’ Shahabat, sehingga mereka (para shahabat) mendahulukan musyawarah untuk memilih khalifah daripada menyelesaikan pengurusan jenazah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; (2) Kaidah Maa laa yatimmu al-waajib Illaa bihi fahuwa waajib, tidak mungkin dapat menyempurnakan kewajiban –misalnya membela agama, menjaga keamanan, dan sebagainya– selain dengan adanya khilafah; dan (3) beberapa ayat Al Qur'an dan hadis.
Sebelum diadakan revisi kurikulum oleh Kemenag, kitab fiqih ini –menurut penerbit, Sinar Baru Algesindo– menjadi salah satu rujukan di sekolah menengah dan perguruan tinggi Islam di Indonesia dan Malaysia. Popularitas buku ini bisa dilihat dari seringnya cetak ulang terhadap buku ini. Pada tahun 2007, telah dicetak ulang sebanyak 40 kali. Cetakan pertama tak disebutkan, namun Kata Pengantar dari Hamka sedikit memberi gambaran. Kata Pengantar tersebut bertahun 1954.
Maka sudah seharusnya, seluruh kaum muslimin mengusahakan berdirinya khilafah sebagai sebuah kewajiban. Karena fardu kifayah adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh seluruh kaum muslimin. Bila sudah ada yang berhasil melakukan kewajiban tersebut (berdirinya khilafah), maka gugurlah kewajiban tersebut bagi yang lain. Namun sebaliknya, bila belum ada yang mampu mewujudkannya, maka kewajiban tersebut tetap berada di pundak kaum muslimin. Di manapun ia berada dan apapun nama organisasinya.
Oleh karena itu, para pejuang khilafah adalah orang-orang yang layak diapresiasi karena sedang berusaha membebaskan seluruh kaum muslimin dari kewajibannya. Bukan malah dipersekusi.