Laju kontaminasi covid-19 semakin mengganas. Hingga tanggal 21 September 2020, total kematian akibat covid-19 sebanyak 9.553 jiwa, dengan penambahan kasus baru sebanyak 3.989 dalam 24 jam terakhir. Laporan ini menambah jumlah kasus covid-19 di Tanah Air menjadi 244.676 orang (Tribunnews.com, 20/9/2020).
Sayangnya, menurut Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) di sejumlah Provinsi hingga kini proses Pilkada masih terus berjalan. Padahal, menurut catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU) ada sekitar 60 bakal calon yang akan mengikuti Pilkada serentak 2020 dinyatakan positif terpapar covid-19. Data Satgas Penanganan covid-19 juga memaparkan saat ini terdapat 45 kabupaten/kota yang akan melaksanakan Pilkada 2020 termasuk dalam zona merah.
Tidak heran, rencana tersebut mendapat penolakan dari masyarakat, politisi dan pengamat kebijakan. Pilkada diusulkan ditunda lagi hingga berakhirnya wabah, karena terbukti terdapat banyak pelanggaran saat masa sosialisasi dan pendaftaran calon.
Salah satu pengamat politik Indobarometer yaitu M. Qodari memprediksi bakal terjadi big spreader alias ledakan besar kasus covid-19 dalam dua sisa tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020.
Dari simulasi yang dilakukan, pilkada berpotensi melahirkan kerumunan di 305.000 titik. Itu berdasarkan estimasi jumlah tempat pemungutan suara (TPS) dalam pilkada serentak. Prediksi itu didasarkan hitungan matematis yang bermula sejak masa pendaftaran calon kepala daerah pada 4-6 September lalu. Selama masa itulah pemerintah telah menunjukkan gelagat ketidakmampuan mencegah kerumunan dalam Pilkada (CNNIndonesia.com, 13/9/2020).
Ironis! Di tengah ketakutan masyarakat terhadap ketidakpastian kapan berakhirnya pandemi, pemerintah sempat-sempatnya berencana menggelar Pilkada serentak Desember 2020 nanti. Saat rakyat berjuang bertaruh jiwa raga agar bisa bertahan hidup di tengah keterbatasan aturan PSBB, penguasa seenaknya mencari celah untuk tetap eksis mempertahankan pengaruhnya.
Dari fakta di atas, betapa penguasa menunjukkan hasrat pribadinya ketimbang keselamatan rakyat. Padahal, saat ujian pandemi ini belum kunjung usai, harusnya pemerintah menyadari bahwa saat ini bukanlah waktu yang tepat melaksanakan pilkada.
Apa gerangan urgensi pelaksanaan Pilkada saat wabah? Harusnya, pemerintah fokus mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menangani pandemi, bukan menggelar pesta demokrasi. Penguasa tidak belajar dari masa lalu. Kenyataannya, pemilu di negeri ini tidak pernah menghasilkan perubahan kecuali semakin mengguritanya korupsi para pemangku kebijakan, utang yang menjulang, jajaran menteri yang tidak kompeten dan para pemangku kebijakan pro pengusaha. Apalagi, rakyat meminta Pilkada saat pandemi ditiadakan.
Namun, aspirasi publik ini ditolak oleh rezim karena memang logika demokrasi menyesatkan. Watak asli sistem demokrasi yang hipokrit membuat masukan yang datang dari rakyat tidak digubris. Penguasa yang lahir dari rahim sistem kufur ini pandai berkelit untuk memuluskan hasratnya. Meski bumi pertiwi masih diselimuti awan pandemi, segala cara dihalalkan walaupun mengabaikan pertimbangan kesehatan rakyat.
Ini menegaskan bahwa Pilkada menjadi instrument penting bagi penguasa mempertahankan demokrasi. Apalagi di tengah arus ketidakpercayaan rakyat terhadap kinerja pemerintah saat ini. Partai Politik mendorong para kadernya untuk menduduki kursi kepala daerah secara maksimal. Dengan banyaknya kader yang sukses menduduki kursi kepala daerah membuat peluang di Pemilu 2024 semakin terbuka lebar. Walhasil, kerusakan dan kezaliman kepemimpinan dalam sistem demokrasi akan diperpanjang nyawanya melalui Pilkada.
Pilkada yang jelas-jelas menghabiskan banyak biaya tanpa out put yang jelas malah dipriotitaskan. Padahal, penguasa kesulitan memenuhi kebutuhan tim medis dan menyediakan alat pelindung diri (APD) serta memenuhi kewajiban membayar insentif pejuang medis.
Lucunya lagi, Pilkada dianggap mampu mendongkrak perekonomian yang sempat lesu. Dilansir dari Tempo.co, 14/7/2020, "Pilkada serentak dinilai mampu menggerakkan perekonomian masyarakat. Selama semester I 2020, pandemi mengakibatkan penurunan kegiatan ekonomi masyarakat. Maka Pilkada yang menghabiskan total dana sebesar Rp 15,9 triliun, dapat menstimulasi perekonomian yang sempat lesu. Ini dikarenakan 60 persen dana Pilkada dialokasikan untuk honor KPPS (kelompok penyelenggara pemungutan suara). Ini artinya dana tersebut secara langsung untuk belanja rumah tangga di 270 daerah".
Sungguh logika berpikir yang pragmatis. Menstimulasi siapa? Rakyat atau korporat? Sudah lazim rakyat hanya dijadikan dalih mereka melanggengkan ambisi kekuasaan. Honor yang tidak seberapa itu apa mampu membuat rakyat memenuhi kebutuhannya dan bertahan selama pandemi? Tentu tidak. Kebiakan dalam demokrasi untuk kepentingan jabatan semata, meski membahayakan keselamatan rakyat. Semua hanya demi jabatan yang membuat penguasa hidup nyaman di atas penderitaan rakyat. Mereka seakan tidak takut terhadap pertanggungjawaban di hari perhitungan.
Maka, sudah saatnya umat sadar betapa kebijakan, aturan maupun keputusan yang lahir dari sistem ini bobrok dan tidak membawa kebaikan buat rakyat. Rakyat hanya dijadikan mesin pencetak kemenangan mereka. Penguasa di sistem demokrasi hanya mementingkan kekuasaan dan tidak acuh terhadap penanganan pandemi yang sudah mengorbankan ratusan ribu orang. Kurva kematian dianggap sebagai hitung-gitungan angka statistik belaka.
Tentu, ini berbeda dengan sistem pemerintahan Islam. Aturan Islam tidak hanya menjamin kemaslahatan dan kesejahteraan umat, namun menghargai dan menjaga kehormatan setiap muslim. Ketika terjadi wabah, pemerintahan Islam tidak sekadar menjadikan angka atau grafik jumlah korban wabah sebagai rujukan. Islam sangat memuliakan nyawa manusia.
Dalam menangani wabah, langkah yang cepat dan tepat akan diambil penguasa agar tidak mengorbankan nyawa umat. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 32, yang artinya: “…Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya…" Dari al-Barra’ bin Azib ra., Nabi SAW. bersabda, “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai & Tirmidzi).
Pemilihan kepala daerah tidak dibatasi waktu, apalagi karena kepentingan golongan tertentu. Semua kebijakan penguasa semata hanya untuk eksistensi agama dan kemaslahatan umat. Semoga masyarakat semakin sadar bahwa sistem demokrasilah biang karut-marut yang terjadi di negeri ini. Diharapkan, dengan kesadaran yang penuh umat kembali pada sistem shahih yang berasal dari Allah Swt. yakni sistem Islam. Hanya penguasa yang lahir dari sistem Islam yang takut pada Allah Swt. dan peduli pada kebutuhan umat. Wallahualam.
Post a Comment