HARAM MELECEHKAN AJARAN ISLAM

By : Ummu Rasyidah

Pelecehan  terhadap ajaran Islam sudah sering muncul dan berulang bahkan beragam bentuk dan ekspresinya. Sebagaimana yang diingatkan dari Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir al-Ba'alawi al-Hadhrami asy-Syafi'i (1272 H) menyatakan di dalam kitab Sullam at-Tawfîq , bahwa pelecehan atau penistaan terhadap Allah SWT, Rasul saw., syiar-Nya dan ajaran Islam bisa menyebabkan pelakunya murtad. 

Pelecehan secara bahasa berarti  (ejekan/cemoohan) atau menyatakan kurang (tanaqush). Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali di dalam Ihyâ` ‘Ulûm ad-Dîn (3/131) menyatakan, makna pelecehan adalah merendahkan dan meremehkan, menyoroti aib dan kekurangan…”

Alhasil, penistaan agama  bisa dimaknai: penghinaan dan cemoohan kepada Allah SWT, atau penghinaan dan ejekan terhadap Rasul saw, atau penghinaan dan ejekan terhadap agama Islam. Bisa juga dimaknai: menampakkan setiap akidah (keyakinan), perbuatan atau ucapan yang menunjukkan tikaman terhadap agama dan meremehkannya, melecehkan Allah SWT, para rasul-Nya.

Penistaan agama itu banyak bentuknya. Menghina Allah SWT; menistakan dan melecehkan Nabi saw.; merendahkan dan menistakan al-Quran, malaikat, istri-istri Nabi saw. dan Ahlul Bait beliau, dsb. 

Bisa juga dalam bentuk melecehkan dan menjelek-jelekkan Islam dan syariahnya; seperti mensifati Islam dan syariahnya sebagai biadab, brutal, bengis, mencerminkan keterbelakangan dan sifat-sifat buruk dan jahat lainnya. 

Bisa juga menistakan agama itu dalam bentuk melecehkan atau mengolok-olok sebagian hukum atau syariah Islam. Seperti mengolok-olok jilbab, kerudung dan kewajiban menutup aurat, melecehkan azan, menghina hukum potong tangan, qishash, rajam, dsb. 

Bisa juga dalam bentuk menistakan sebagian ajaran Islam, seperti jihad dan khilafah; menstigma negatif jihad dan khilafah yang merupakan bagian dari ajaran Islam dengan menuding keduanya sebagai ancaman, memecah-belah umat, keterbelakangan, kemunduran dsb.

Pada masa Rasul saw., penistaan agama (Islam) itu merupakan perilaku orang-orang kafir baik musyrik maupun Ahlul Kitab (Yahudi dan Nahrani). Mereka melakukan penistaan kepada Allah SWT, Rasul saw, al-Quran, ajaran dan hukum Islam, para sahabat, dsb. Mereka melakukan semua itu sebagai uslub dan strategi untuk menghadang dakwah, menghalangi manusia dari Islam dan memalingkan mereka dari jalan Allah SWT. 

Penistaan agama Islam itu juga menjadi perilaku orang-orang munafik. Mereka menistakan ayat-ayat Allah, menista perintah shalat, mengejek infak yang kecil, mencemooh jihad, mencaci para Sahabat dan lainnya. 

Penistaan terhadap Islam itu tidak lain merupakan cermin kekufuran atau kemunafikan. Pelakunya adalah orang-orang kafir dan munafik. 

Semua bentuk penistaan terhadap Islam jelas merupakan dosa besar. Jika pelakunya Muslim, hal itu bisa mengeluarkan dirinya dari Islam dan menyebabkan dia kembali kafir atau murtad, terutama jika disertai i’tiqad. Adapun jika tidak disertai i’tiqad maka pelakunya minimal telah melakukan perbuatan fasik dan dosa besar. Allah SWT berfirman :
Mereka merusak sumpah (janji)-nya sesudah mereka berjanji. Mereka pun mencerca agamamu. Karena itu perangilah para pemimpin orang-orang kafir itu, karena sungguh mereka adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti (TQS at-Taubah : 12).

 Imam Ar-Razi di dalam At-Tafsir al-Kabîr di antaranya menyatakan: “Sungguh memperolok-olok agama Islam, bagaimanapun bentuknya, hukumnya kafir. Sebabnya, olok-olokan itu menunjukkan penghinaan. Padahal keimanan dibangun di atas pondasi pengagungan terhadap Allah dengan sebenar-benar pengagungan. Mustahil keduanya bisa berkumpul."

Penistaan agama Islam tentu tidak selayaknya terjadi dari seorang Muslim. Sebabnya, hal itu bertentangan dengan ketakwaan yang ada dalam dirinya. Sebaliknya, ketakwaan dirinya justru akan melahirkan sikap mengagungkan Islam, hukum, syiar dan ajarannya. Allah SWT berfirman:

Demikianlah (perintah Allah). Siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah, sungguh itu timbul dari ketakwaan kalbu (TQS al-Hajj [22]: 32).

Imam an-Nawawi al-Bantani di dalam kitabnya, Syarh Sullam at-Tawfiq, menjelaskan ayat tersebut, bahwa di antara sifat terpuji yang melekat pada orang yang bertakwa adalah mengagungkan syiar-syiar Allah, yakni syiar-syiar agama-Nya.

Imam Abu Manshur al-Maturidi di dalam tafsirnya, Ta’wilâh Ahli as-Sunnah, menjelaskan ayat di atas: “Siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah dengan perbuatan lahiriahnya maka pengagungan itu muncul dari ketakwaan hati. Begitulah perkara yang tampak pada manusia. Jika di dalam hatinya ada sesuatu dari ketakwaan atau kebaikan maka yang demikian itu tampak dalam perilaku lahiriahnya. Demikian juga keburukan, jika ada di dalam hati, maka tampak pada perilaku lahiriahnya.”

WalLâh a’lam bi ash-shawâb.
Previous Post Next Post