Ramai isu wacana pelajaran sejarah tidak masuk kurikulum wajib bagi siswa SMA dan sederajat dalam penyederhanaan kurikulum pendidikan tuai polemik di kalangan masyarakat pendidikan, terutama guru dan akademisi. Salah satunya adalah kritik yang disampaikan oleh Komisioner Bidang Pendidikan, KPAI, Retno Listyarti. Menurutnya, wacana untuk menjadikan mata pelajaran sejarah sebagai pilihan (tidak wajib) di jenjang SMA, bahkan menghapus di jenjang SMK adalah tidak tepat. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah bangsanya. Bagaimana mau menghargai kalau plajaran tersebut tidak diberikan” (medcom.id, 20/09/20).
Kritik juga datang dari politisi partai Gerindra, Fadli Zon melalui jejaring twitter pribadinya yang menolak keras penghapusan mata pelajaran sejarah. “Meskipun baru berupa wacana, munculnya rencana penghapusan mata pelajaran sejarah sangatlah tidak tepat. Sebab, pendidikan sejarah merupakan instrumen pembentukan jati diri, identitas, serta memori kolektif kita sebagai bangsa. Sehingga rencana penghapusan itu harus dibatalkan,”tulis Fadli (suara.com, 21/09/20).
Derasnya kritik yang dialamatkan terhadap Kementriannya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim akhirnya angkat bicara. “Penyederhanaan kurikulum tidak akan dilakukan sampai tahun 2022. Pada 2021 kami akan melakukan berbagai macam prototyping di Sekolah penggerak yang terpilih dan bukan dalam skala nasional. Jadi, sekali lagi tidak ada kebijakan apapun yang akan keluar di 2021 dalam skala kurikulum nasional. Apalagi, penghapusan mata pelajaran sejarah,” ujar Nadiem. Dia meminta masyarakat tidak meragukan komitmennya akan sejarah kebangsaan, karena misinya adalah untuk memajukan pendidikan sejarah agar kembali relevan dan menarik bagi anak-anak (PikiranRakyat, 21/09/20).
Kekhawatiran banyak pihak soal wacana penghapusan mapel sejarah tentu bisa dimaklumi mengingat pentingnya sejarah sebagai bekal generasi untuk membangun negeri. Terlebih bagi bangsa yang pernah mengalami kejayaan di masa lalu tentu memori indah ini harus terus ditanamkan sehingga tumbuh keinginan untuk mengembalikan masa kejayaan tersebut. Pun jika kenangan itu adalah kenangan buruk sekalipun seperti halnya penjajahan dan kekejaman komunis, hal ini tak serta merta dihilangkan begitu saja. Justru mempelajarinya akan memunculkan sikap kehati-hatian, memahami karakter mereka hingga akhirnya mampu membedakan siapa kawan dan lawan.
Dengan demikian, jika Kemendikbud berkomitmen memajukan pendidikan sejarah maka kebijakan untuk penyederhanaan kurikulum ini harusnya juga dibarengi dengan perbaikan pada materi ajarnya, sehingga siswa memperoleh kerangka yang utuh. Selama ini, pembahasan sejarah selalu fokus menceritakan peristiwa yang berkutat pada tokoh-tokoh yang terlibat dan kapan terjadinya peristiwa. Sementara penyebab terjadinya serta keterkaitan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya tidak banyak disampaikan atau bahkan tidak tersampaikan sama sekali. Terlebih jika melihat perjalanan bangsa ini, di masa lalu bahkan wilayahnya lebih luas dari yang kita lihat sekarang. Timor Leste, Malaysia, Singapura, Brunei, serta Filipina yang kala itu adalah bagian dari Nusantara. Namun tak banyak dari pemuda hari ini atau bahkan generasi-generasi sebelumnya yang mengetahui secara detail bagaimana negara sebesar itu kemudian terpecah menjadi negeri-negeri kecil. Tak banyak yang tau pula faktor-faktor kejayaan Nusantara di masa lalu serta penyebab kemundurannya, bagaimana kronologi secara detail kemunculan para penjajah ke Nusantara, serta bagaimana peranan Islam dalam membangun pola pikir masyarakat kala itu yang masih didominasi oleh pemikiran yang rusak. Bahkan jika hendak dirunut lebih jauh lagi ada banyak fakta sejarah yang menunjukkan kedekatan antara Nusantara dengan Daulah Islam di Timur Tengah dan Daulah Islam di Turki. Hal-hal semacam ini nyaris tak dibahas dalam materi sejarah. Beberapa informasi cenderung kabur atau bahkan terkubur. Sehingga meski selama ini siswa belajar sejarah, namun tidak memberikan efek yang membekas. Jadi bagaimana mungkin mental pejuang itu terbentuk dalam jiwa mereka. Alih-alih memiliki ghiroh untuk meraih kejayaan kembali, justru generasi kian akrab terhadap para penjajah. Mereka bahkan tak menyadari hadirnya penjajah di sekitarnya. Mereka telan semua hal yang bersumber dari barat tanpa mereka sadari bahwa itu adalah racun mematikan. Mereka bahkan tak mampu membedakan antara lawan dan kawan.
Inilah realita yang terjadi pada generasi saat ini. Sehingga jika benar yang disampaikan Nadiem akan memajukan pendidikan sejarah, tentu melaksanakan rekontruksi sesegera mungkin terhadap mapel sejarah akan menjadi bukti keseriusan ucapannya. Pelaksanaannya pun harus bebas dari kepentingan pihak-pihak yang hendak memanfaatkannya untuk meraih kekuasaan. Karena rekontruksi dimaksudkan agar realitas terungkap, bukan mengaburkan atau mengubur kebenarannya.
Post a Comment