By : Nur Aznizah Amir,
Ko BMI Community Samarinda)
Generasi millenials yang begitu dekat dengan teknologi, media informasi dan berbagai pernak-pernik didalamnya, pasti tak asing lagi dengan Film Jejak Khilafah di Nusantara (JKdN) yang resmi diluncurkan 20 Agustus lalu. Karna bicara soal dunia film hari ini, dapat dikatakan sebagian besar penyumbang angka penonton adalah millenials, terlepas dari latar belakang dan genre-genre filmnya. Banyak testimoni positif penonton termasuk para tokoh dan aktivis millenials usai menikmati film ini, bahkan dirilis tintasiyasi.com (24/8), 20 tokoh nasional turut mengungkapkan kesan mereka terhadap film JKdN. Tetapi selaras dengan itu, pemblokiran film ini pun tak luput dari pembicaraan dan justru banyak yang mempertanyakan alasan tindakan tersebut karena beratas-namakan pemerintah sebagai pemblokir.
Film Jejak Khilafah di Nusantara yang disutradarai oleh Nicko Pandawa bergandengan dengan Komunitas Literasi Islam sebagai Producer pada faktanya hanyalah film dokumenter yang menyajikan jejak sejarah di nusantara hasil kajian dari berbagai sumber pustaka, tinjauan lapangan langsung maupun wawancara ahli sejarah yg berkaitan dengannya. Apresiasi penuh harusnya diberikan kepada tim film JKdN karena telah menyambut positif kecanggihan dan perkembangan teknologi hari ini dengan menyajikan sejarah dalam bentuk audio-visual. Hal serupa juga yang sering ditutur oleh sutradara film tersebut diberbagai ruang media, baik penyampaian langsung maupun media cetak.
Sangat disayangkan, karya millenials yang tentu menuntut upaya dan usaha yang besar ini justru jauh dari sambutan positif oleh pemerintah yang hakikatnya memiliki tanggungjawab perihal edukasi dan pencerdasan bangsa. Justru yang terjadi adalah pemblokiran berulang kali dengan narasi menyedihkan yakni video tidak tersedia karena ada keluhan hukum dari pemerintah. Ditambah lagi kondisi millenials hari ini sungguh jauh dari cerminan visi misi pendidikan negara yang bercita melahirkan generasi berakhlak mulia dan intelek, maka tak berlebihan jika dikatakan karya-karya sebegini terhitung langka. Fakta berbicara bahwa mayoritas generasi millenials justru lebih tertarik dengan aktivitas pengeksisan diri, tampil berani mengungkap aib pribadi dan tak segan melahirkan konten-konten unfaedah yang tentu dapat diakses oleh publik dari berbagai segmen termasuk anak-anak. Penyumbang angka kasus tawuran, free sex, pergaulan bebas, aborsi pun masih cukup besar oleh millenials. Miris....
Dewasa ini peristiwa pemblokiran film JKdN bukan hal yang mengagetkan sebenarnya. Ia bahkan sebuah kewajaran dalam pengaplikasian konsep sistem politik demokrasi. Sekulerisme sebagai landasan filosofis demokrasi sedikitpun tak akan memberi ruang untuk pemahaman/ide/konsep yang dideteksi oleh pengemban dan penguasa boneka negeri terkait sebagai penggoyang kekuasaan. Terlebih jika pemahaman tersebut dinilai berpotensi menyadarkan publik akan identitas mereka sebagai muslim yang wajib terikat aturan pencipta-Nya. Karena jelas hal tersebut akan melenyapkan nyawa sekulerisme dan demokrasi. Ia tak lain adalah Khilafah, konsep kepemimpinan global yang apik terpampang nyata pada judul Film JKdN. Pemblokiran film ini lantas mengkonfirmasi betapa hipokritnya demokrasi yang giat menarasikan “kebebasan” sebagai pilarnya. Seolah-olah memberi ruang rakyat untuk berekspresi, berpendapat maupun berkarya, tetapi hakikatnya kebebasan hanya sebagai kata tameng untuk menjaga eksistensi sistem politik ini. Menyedihkan memang karena dengannya, kreatifitas dan karya edukatif millenials muslim yang telah berkontribusi serta berniat mulia menyumbangkan jajaran referensi sejarah negeri ini justru diamputasi, terlebih jika membawa narasi Khilafah. Padahal jelas ia merupakan bagian dari ajaran identitas mereka sebagai millenial dan intelektual muslim.
Peran negara pun tak kalah pentingnya, karena ia memiliki kuasa dan wewenang dalam persoalan media dan informasi. Negara harusnya memfasilitasi segala bentuk aktivitas informatif, edukatif, dan ajakan kebaikan terlebih jika karya tersebut dikontribusikan semata untuk memberi wawasan baru bagi publik. Semisal penyediaan fasilitas media yang memadai, akses internet yang mudah dijangkau, termasuk imbauan langsung oleh negara untuk publik. Jauh dari ekspektasi, film karya anak bangsa ini justru tak diberi ruang. Penyaji film justru mendapat feedback intimidatif, film diwacanakan sebagai ancaman bangsa dan menghadirkan narasi-narasi kontradiktif . Sekali lagi, demikianlah keniscayaan konsep bathil demokrasi sekuler, yang merupakan buah pikir hawa nafsu manusia. Ia akan selalu memberangus lawan (r:islam), termasuk mengubur dan mengaburkan sejarah melalui upaya sistematis oleh negara.
Saat tak ada lagi dukungan kebaikan oleh negara dan penguasa, disinilah pentingnya para millenials muslim mengambil peran. Menghadirkan diri ditengah-tengah masyarakat yang pemikiran islamnya telah teralienasi dalam kehidupan mereka. Tentu dengan membawa konsep-konsep islam yang utuh beserta institusi pelaksananya, Khilafah. Wadah jamaah sebagai harapan terakhir yang mengandung kebaikan serta tsaqofah islam harus menjadi singgasana millenials muslim, agar dengannya terjaga keistiqomahan dan tertambah amunisi untuk mencerdaskan umat. Sembari itu, millenials muslim harus tetap berani berkarya dengan segala bakat serta potensi diri, bukan sekedar orientasi eksistensi diri maupun kelompok yang digeluti tetapi lebih dari itu yakni untuk kebangkitan serta masa depan islam. Persembahan karya terbaik untuk umat Muhammad dan islam harus menempati prioritas utama dalam skenario hidup millenials karena ialah satu-satunya yang memberi jaminan pasti untuk kebahagian hidup kelak, karena jaminan tersebut dijanjikan langsung oleh Allah SWT, pemilik alam semesta. [NA]
“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan serta berkata, “Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri)?” QS. Fussilat 41:33