Mahasiswa Pendidikan Matematika UM
Pelaksanaan Pilkada serentak telah semakin dekat. Kurang dari tiga bulan menjelang pesta demokrasi pada 9 Desember 2020. Menyebutnya sebagai pesta, untuk saat ini, agaknya berlebihan atau bahkan keterlaluan. Terlebih mengingat masyarakat tidak dalam kondisi baik-baik saja, dirundung masalah yang kian pelik. Keresahan sosial, kesulitan ekonomi, sengkarut problem pendidikan, juga dunia kesehatan.
Di tengah suasana berduka, lagi-lagi kita semua dikejutkan oleh pemerintah. Beberapa waktu lalu, KPU mengeluarkan PKPU Nomor 10 Tahun 2020 tentang pengaturan tahapan kampanye selama pandemi. Terdapat tujuh jenis kampanye di pasal 63 ayat (1), di mana kandidat calon kepala daerah diperbolehkan menggelar konser musik dalam rangka kampanye. Komisioner KPU, I Dewa Kade, menyampaikan bahwa PKPU hanya mengikuti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pilkada (cnnindonesia.com pada 17/9/20). Artinya, perizinan menggelar konser di tengah pandemi tersebut telah diatur sebelumnya.
Walaupun dilegalkan, tentu rakyat tidak bisa dipaksa menutup mata dan mengabaikan hati nurani. Salah satu musisi dan penyanyi, Armand Maulana, mengatakan, “Enggak kebayang kalau itu (izin konser) dijalankan, chaos. Enggak mungkin protokol kesehatan dijalankan. Pasti berdesakan, mau pakai masker atau apa, pasti tidak terkontrol. Keputusan ini harus dikaji pastinya, dikaji ulang,” Ketua Umum Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI), Candra Darusman, menilai bahwa aturan yang dikeluarkan pemerintah itu terkesan longgar dalam urusan pilkada, namun ketat dalam urusan ekonomi pekerja musik. Selain kritikan dari para musisi, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad juga angkat bicara. “Kalau saya sendiri, sih, berpendapat sebaiknya konser-konser seperti itu sebaiknya dihindarkan.” Wakil Ketua Komisi II DPR Arwani Thomafi mengatakan akan sulit menerapkan protokol kesehatan Covid-19 saat konser musik berlangsung (hi.grid.id pada 17/9/20).
Berbagai kalangan turut serta merespon dikeluarkannya perizinan konser dalam rangka kampanye Pilkada, tidak terecuali IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Ketua Satgas IDI, Zubairi Djoerban, menyarankan pilkada serentak untuk dibatalkan. Pasalnya, sebelum ini pun korban Covid terus berjatuhan. Diberlakukannya PSBB senyatanya tidak mampu menghentikan penyebaran virus. Fakta memperlihatkan sebaliknya, korban positif dan meninggal karena Covid-19 setiap hari mengalami pertambahan. Zubairi menyebutkan bahwa sudah terjadi banyak klaster penularan virus, mulai dari klaster keluarga, sekolah, perkantoran, tempat wisata, restoran, pabrik, dan pesta pernikahan (ayosemarang.com pada 18/9/20). Politik dalam demokrasi dipandang kotor oleh masyarakat. Sebab terlihat jelas sifat tamaknya, tega mengabaikan nyawa dan kemaslahatan rakyat.
Keputusan pelaksanaan Pilkada 2020 sejak awal memang menuai banyak penolakan. Diantara pertimbangannya tentu saja pandemi yang berbahaya ini. Namun demikian, Presiden Joko Widodo mengatakan Pilkada serentak 2020 harus tetap diselenggarakan meskipun tengah pandemi, sebab tidak ada satu pun negara termasuk Indonesia mengetahui kapan pandemi berakhir. Padahal prediksi peningkatan kasus Covid telah disampaikan akan mencapai dua ratus ribu. Para epidemiolog pun sudah mengingatkan bahwa pelaksanaan Pilkada serentak berpotensi besar menciptakan lonjakan korban (cnnindonesia.com pada 8/9/20). Kenyataannya saat ini kasus Covid terkonfirmasi telah melebihi 200.000 yakni 236.519 per Jumat 18 September kemarin.
Seluruh elemen masyarakat sama-sama prihatin. Ratusan dokter tewas setelah tertular virus. Angka 236.519 tersebut juga bukan jumlah yang sepele apalagi disepelekan. Untuk itu, semaksimal mungkin kalangan masyarakat menjaga dari melakukan aktivitas-aktivitas yang berpotensi memperparah situasi. Sebagaimana para musisi dan pekerja musik terpaksa menolak tawaran aksi panggung karena hati nurani.
Pemerintah bisa saja mengatakan tidak ada negara yang tahu kapan pandemi akan berakhir, tetapi bukan itu permasalahannya. Yang menjadi fokus seharusnya adalah bagaimana dengan kuasanya, pemerintah dan negara melakukan upaya serius dan kredibel demi menyelamatkan rakyat dari ganasnya pandemi. Namun, hal itu seakan terabaikan, terlupakan hanya karena Pilkada. Maka akhirnya dipertanyakan untuk apa sebenarnya pergantian kursi jabatan ini jika keselamatan rakyat dipertaruhkan? Euforia kampanye yang menyalahi dan tidak sejalan dengan fokus utama penanganan pandemi ini untuk siapa? Jawabannya terlalu jelas pasti bukan rakyat.
Dalam sistem politik demokrasi, pergantian pemegang tampuk kekuasaan hanya pergantian individu. Siapapun yang menggantikan posisi jabatan, tetap sama yaitu para kapitalis atau orang-orang yang diusung oleh mereka. Kekuasaan menjadi alat untuk memuluskan bisnis perusahaan pribadi, melegalkan kebijakan dan regulasi yang dapat membuka lebar jalan bagi pengusaha atau kapitalis meraup keuntungan sebesar-besarnya. Benar saja masyarakat kemudian mengatakan politik itu kotor, sebab politik dalam demokrasi meniscayakan usaha memperoleh keuntungan dan meraih kepentingan dengan mengatasnamakan kedaulatan rakyat. Hal tersebut lahir dari sistem yang berdiri di atas asas kebebasan. Sistem yang memisahkan agama dari kekuasaan atau kehidupan dalam ranah publik, sekuler kapitalisme demokrasi neoliberal. Saatnya kita mengembalikan kehidupan terbaik sebagaimana dahulu pernah ada, yaitu ketika Islam menjadi pandangan hidup. Darinya terpancar sistem yang paripurna sekaligus solusi tuntas bagi permasalahan yang menimpa umat manusia.
Post a Comment