(Member AMK)
Pagiku cerahku matahari bersinar
Kugendong tas merahku di pundak
Selamat pagi semua
Kunantikan dirimu di depan kelasku menantikan kami
....
(Guruku Tersayang, karya Melly Goeslaw)
Sebuah penggalan lagu anak-anak yang menggambarkan betapa semangatnya seorang anak pergi belajar di sekolah. Bertemu dengan guru, bersama teman-teman menyimak dan memahami setiap materi pelajaran. Sayangnya sejak Maret lalu, dua hal ini menjadi sesuatu yang sangat dirindukan akibat belajar jarak jauh.
Belajar daring vs belajar tatap muka menjadi dilema. Dikala tren Covid meningkat, tuntutan untuk disegerakannya belajar tatap muka semakin tinggi. Hal ini disebabkan beberapa faktor, di antaranya data kuota internet yang tidak murah, kemampuan orang tua membersamai anak dalam proses belajar, maupun minimnya daya serap proses belajar teori pelajaran yang diajarkan. Dengan kembali ke sekolah, menjadi solusi praktis ruwetnya pembelajaran jarak jauh.
Baru masa uji coba saja setidaknya ada 289 siswa di Papua yang positif covid-19 (cnnindonesia.com, 13/08/2020). Di Lebak, Banten, meski ada 6 sekolah yang terpapar Corona, tetapi KBM tatap muka tetap dilanjutkan. (Bantenhits.com, 20/08/2020). Sejak diberlakukan new normal pada Juli lalu, sekolah telah dilaporkan sebagai kluster baru Corona. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keselamatan dan nyawa anak sekolah kurang diperhatikan. Ditambah lagi dibukanya tempat-tempat wisata dan destinasi kuliner di berbagai Kota Besar menguatkan dugaan bahwa negeri ini telah kehilangan sense of crisis.
Wabah ini datang tanpa disangka sebelumnya. Sejak diumumkan sebagai pandemi pada Maret 2020 oleh WHO, ada 216 negara terpapar Corona. Antisipasi agar virus terhenti penyebarannya, semua negara menghimbau warganya untuk beraktivitas di rumah dan menerapkan physical distancing. Dari aktivitas bekerja hingga belajar, semua dilakukan dari rumah.
Rupanya belajar di rumah ini memunculkan segudang problematika. Tidak sedikit keluhan yang disampaikan, baik dari pihak siswa maupun orang tua. Bahkan para pendidik pun kewalahan mengajar dengan sistem jarak jauh. Belum lagi, kuat-lemahnya sinyal jaringan internet di daerah menambah panjang deretan curahan hati peserta didik. Banyak kisah pilu yang menghiasi perjuangan anak-anak sekolah dalam mendapatkan ilmu. Berjalan kaki kiloan meter, mendaki perbukitan, pendampingan guru ke rumah-rumah murid, hingga meminjam gawai tetangga.
Mirisnya, problem alih peran mendidik anak di rumah dari guru kepada orang tua semakin menyesakkan dada. Ketidaksiapan orang tua dalam mendampingi anak dalam proses belajar mengakibatkan sebagian orang tua siswa melakukan kekerasan verbal maupun non-verbal pada anaknya. Tersirat rasa frustrasi akibat gagalnya proses penyampaian materi agar anak dapat mengerti. Anak pun akhirnya tidak mendapatkan kenyamanan dalam proses belajar. Alhasil untuk anak usia dasar, bermain menjadi pelampiasan. Fungsi gawai sebagai media belajar pun beralih fungsi menjadi sarana bermain atau melihat tontonan yang menyenangkan bagi mereka.
Gagapnya tenaga pendidik memberikan materi ajar melalui media online, memaksa para guru akhirnya memanfaatkan video youtube, rekaman suara hingga video conference. Jelas ini membutuhkan keterampilan yang tidak mudah. Mirisnya anggaran pendidikan nasional di negeri ini sangatlah minim, dari tahun ke tahun kenaikannya semakin menyusut, yakni hanya 2,7% di tahun 2020. Padahal di tahun 2019 ada kenaikan 11,3% dari tahun sebelumnya (katadata.com).
Kondisi ini menandakan buruknya sistem pendidikan yang diterapkan. Negara sebagai penyelenggara pendidikan menghadapi ujian berat. Namun, perlahan tapi pasti, negara seolah melepaskan perannya, baik sebelum masa pandemi atau di masa pandemi. Padahal sejatinya, pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap warga yang wajib dipenuhi negara. Kendala di dalam belajar termasuk bagaimana proses belajar pada masa pandemi seperti ini, negara harusnya sudah memiliki panduannya.
Bahkan berkaitan dengan biaya penyelenggaraan pendidikan, negara akan menyiapkan pos pemasukan khusus di negara. Di dalam paradigma Islam, pembiayaan penyelenggaraan sistem pendidikan diambil dari harta yang bersumber dari pengelolaan kepemilikan umum dan negara. Sumber air, sumber energi, kekayaan lautan, pengelolaan hutan dan alam tidak diserahkan kepada individu maupun swasta untuk memilikinya, melainkan tetap dimiliki secara umum dan dikelola oleh negara. Hasil pengelolaan harta kepemilikan umum dan negara inilah yang akan memenuhi kas negara. Jikalau harus dipungut biaya dari warga, tentunya dengan biaya yang seminimal mungkin.
Adapun persoalan kurikulum pendidikan dalam Islam, cukup sederhana dan berkualitas. Karena pendidikan dasar hanya akan diberikan materi dasar seputar pandangan kehidupan, akhlak dan tsaqofah dasar serta ketrampilan. Selanjutnya di jenjang menengah, peserta didik akan ditopang ilmu sains yang lebih mendalam dan praktis. Sehingga terbentuklah karakter yang kuat menghadapi kehidupan dan tantangan jaman.
Sistem pendidikan bukanlah sistem yang berjalan sendiri. Akan tetapi, sistem pendidikan terintegrasi dengan sistem-sistem yang lain. Sistem ekonomi misalnya. Perekonomian yang berasaskan manfaat seperti dalam kapitalisme, akan berputar pada bagaimana sektor pendidikan bisa menghasilkan keuntungan. Maka tidak heran jika banyak yang beranggapan, bahwa pendidikan kini menjadi ladang bisnis. Berbeda halnya dengan Islam, karena pendidikan dipandang sebagai kebutuhan mendasar, maka negara akan mengupayakan secara maksimal agar pendidikan bisa dinikmati seluruh warga tanpa kecuali. Pada masa Nabi dulu saja, tawanan perang diberdayakan untuk mengajarkan ilmu pengetahuan kepada kaum Muslim di Madinah.
Pun dalam kondisi pandemi seperti ini, seorang pemimpin yang berpandangan Islami akan berpikir keras bagaimana kehidupan tetap bisa berjalan sembari sigap melawan wabah. Para ilmuwan, farmasis dan ahli mikrobiologi akan didukung penuh untuk menemukan obat dan vaksin yang ampuh melumpuhkan virus Corona. Tenaga medis akan dijaga staminanya agar bisa mengurusi pasien Covid dengan baik. Bukan malah dijadikan tumbal lapangan seperti sekarang. Sedangkan masyarakat sipil akan dilakukan screening, tracing dan karantina serta perawatan yang baik secara massal. Sehingga dipisahkan siapa yang sakit dan siapa yang sehat. Wilayah dengan zona merah, akan ditutup dengan dipenuhi kebutuhan pokok warganya. Warga yang sehat bisa beraktivitas seperti biasa, seperti bekerja dan sekolah. Bisa dibayangkan problem belajar jarak jauh pun bisa diminimalkan.
Masalah pandemi ini bukanlah masalah biasa. Untuk memecahkan problem pandemi dibutuhkan untuk melibatkan ahli-ahli yang berkompeten. Sejak ditemukannya virus Corona di China akhir Desember tahun 2019, tidak sedikit tenaga medis yang menyerukan agar pemerintah melakukan lockdown, atau setidaknya menutup bandara luar negeri untuk sementara waktu. Namun seruan ini tidak digubris sedikitpun, yang terjadi justru mengundang para investor dan wisatawan asing untuk datang ke negeri ini. Kini ratusan tenaga medis sudah gugur karena Covid, eksekusi new normal juga sudah dijalankan meski angka sebaran Covid kian bertambah. Tak kalah menguatnya tuntutan belajar secara offline yang semakin menguat, arah perjalanan nasib negeri ini seolah bisa diprediksi kehancurannya. Lalu masihkah Kita tidak segera kembali pada seruan Ilahi? Alternatif ini baru sebatas seruan, tetapi kenapa negeri yang mayoritas Muslim ini belum mencobanya?
Wallahu a'lam bishshawab.
Post a Comment