By : Imanda Agustina
Setelah perjanjian damai Mesir-Israel pada 1979, diikuti dengan perjanjian damai Israel-Yordania pada 1994, kesepakatan ini menjadikan Uni Emirat Arab (UEA) sebagai negara Arab ketiga yang menormalisasi hubungan dengan Israel. Hal itu diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump di sebuah cuitan tweeter. Perdamaian bersejarah tersebut mencapai kesepakatan pada Kamis (13/8) yang menuju pada normalisasi penuh hubungan diplomatik kedua negara.
Bahkan dalam beberapa pekan mendatang delegasi dari UEA dan Israel akan bertemu untuk menandatangani perjanjian bilateral, baik di bidang pariwisata, investasi, teknologi, keamanan, kesehatan, budaya, dan beberapa bidang yang saling menguntungkan lainnya.
Perjanjian itu disetujui oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan Sheikh Mohammed bin Zayed Al-Nahyan, Putra Mahkota Abu Dhabi dan Wakil Komandan Tertinggi Angkatan Bersenjata UEA.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo serta Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berharap negara-negara Arab lainnya juga mengikuti langkah Uni Emirat Arab (UEA) untuk menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel.
Penasihat white house yang sekaligus menantu Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Jared Kushner, mendesak Uni Emirat Arab (UEA) untuk melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Rencananya mereka akan meneruskan kampanye untuk mendorong negara-negara Arab menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.
Dilansir dari VOA Indonesia, Senin (24/8/2020), Jared Kushner akan ditemani oleh Menteri Luar Negeri Mike Pompeo dalam kunjungannya. Mereka memanfaatkan momentum diplomasi antara Uni Emirat Arab (UEA) dan Israel. Kunjungan akan berlokasi di beberapa negara Timur Tengah, mulai dari Maroko hingga Arab Saudi.
Kesepakatan UEA-Israel tentunya memberi luka mendalam bagi Palestina. Rasa kecewa tersebut menyebabkan Palestina menarik duta besarnya di UEA sebagai bentuk protes. Rakyat Palestina begitu berharap tidak akan ada yang memberi konsesi apapun kepada Israel dengan berbagai bentuk imbalan. Sejarah kelam ini tentunya dicatat bagi mereka sebagai sebuah 'pengkhianatan'.
Indonesia sendiri masih berusaha untuk mendorong perdamaian dunia sesuai amanat konstitusi. Lalu bagaimana sikap Indonesia yang selama ini masih cenderung menolak hubungan diplomatik dengan Israel? Pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, menyebut Indonesia tetap harus menghormati keputusan dalam negeri Uni Emirat Arab. Namun, ia menyayangkan jika kepentingan Palestina malah terlupakan.
Sekat nasionalisme kebangsaan telah melahirkan rasa abai pada konflik dunia. Konsep nation-state saat ini hampir dipakai pada seluruh negara di dunia. Indonesia yang mayoritas beragama Islam pun tak bisa berbuat banyak ketika saudara seimannya dibantai. Negara tidak boleh ikut campur dalam masalah internal negara lain. Organisasi internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun nyatanya juga tak mampu menyelesaikan konflik ini.
Palestina dan Israel memang sudah menuai konflik sekitar 70 tahun lebih lamanya. Hingga saat ini belum ada tanda-tanda perdamaian di antara dua kubu tersebut, bahkan suasana lebih memanas. Beberapa warga mengungsi ke negara yang lebih aman dan beberapa yang lain memutuskan memperjuangkan tanah Palestina. Kini Israel telah menguasai sebagian besar wilayah Palestina, bahkan wilayah Palestina telah berganti menjadi wilayah Israel pada peta dunia.
Sistem kapitalisme yang dipelopori oleh Amerika sebagai super power telah dianut hampir seluruh negara di dunia. Sejak runtuhnya kekhilafahan Turki Utsmani pada tahun 1924, Islam terpecah belah menjadi banyak negara atas nama nasionalisme.
Hanya demi kepentingan ekonomi korporasi dan kepentingan pribadi lainnya, mereka rela menggadaikan kehormatan umat Islam. Begitu banyak perlawanan kepada kaum Muslim di berbagai penjuru dunia. Ketika Islam menjadi minoritas, berbagai diskriminasi, kecaman, juga penyiksaan timbul. Hingga detik ini belum ada upaya pasti dalam mewujudkan kemerdekaan Palestina.
Tekanan demi tekanan tengah melemahkan kekuatan kaum Muslimin. Kini umat Islam bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya. Harga diri hilang diinjak-injak. Pemboikotan, kekerasan hingga pertumpahan darah sudah merebak. Inilah yang terjadi apabila mahkota kewajiban Islam tidak terlaksana. Islam akan menjadi kuat ketika diterapkan hingga tataran negara. Begitu pula syariat Islam yang hanya terlaksana secara keseluruhan dalam naungan khilafah. Sistem pemerintahan yang menjadikan Al-Qur'an dan As-sunnah sebagai dasar hukum.
Ketika sistem kapitalis melancarkan semua aksinya untuk memperbudak kaum di bawahnya. Islam justru mengangkat martabat manusia pada strata yang sama, yakni hamba Allah. Sistem Islam akan menjaga dan memelihara jiwa serta raga setiap individu masyarakatnya. Hal ini karena adanya khalifah yang mengurus kepentingan umat.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya seorang imam itu (laksana) perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng." (HR. Bukhari dan Muslim).
Khilafah tidak akan menjalankan hubungan perdagangan atau kerja sama lainnya terhadap kafir harbi fi'lan. Sedangkan hubungan dengan kafir harbi fi'lan hanya ada perang. Negara yang tergolong kafir harbi disebabkan bukan termasuk berada pada wilayah khilafah. Pada bagian ini dipetakan menjadi kafir harbi fi'lan (musuh riil) dan kafir harbi hukman (musuh potensial).
Khilafah menjadikan dakwah Islam sebagai asas dalam membangun hubungan dengan negara-negara lain. Futuhat ke negeri orang kafir akan dilakukan terlebih jika itu untuk menyelamatkan kaum muslimin. Ketika khilafah hadir di tengah-tengah dunia, maka tidak akan terjadi penindasan pada umat Muslim yang marak terjadi saat ini.
Seperti halnya kisah Khalifah Al-Mu’tashim Billah yang langsung mengirimkan pasukan begitu mendengar penawanan wanita muslim oleh orang-orang kafir. Ia sendiri yang memimpin puluhan ribu pasukan menuju Kota Amuriyah dan juga berhasil menaklukannya.
Begitulah figur seorang khalifah yang selalu menjaga rakyatnya. Kejadian kelam yang menimpa saudara-saudara muslim kita di luar sama tidak akan selesai dalam belenggu kapitalis. Sudah semestinya umat Islam bangkit, mengangkat kembali kehormatannya, menegakkan kembali tauhid di bumi Allah ini.
Wallahu a'lam bishawab