OLEH : HJ.PADLIYATI SIREGAR,ST
Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi menarik ucapannya terkait paham radikal masuk melalui orang berpenampilan menarik atau good looking dan memiliki kemampuan agama yang baik. MUI menilai pernyataan Fachrul itu sangat menyakitkan.
"MUI minta agar Menag menarik semua tuduhannya yang tak mendasar karena itu sangat menyakitkan dan mencederai perasaan umat Islam yang sudah punya andil besar dalam memerdekakan negara ini dan mengisi kemerdekaan dengan karya nyata," kata Wakil Ketua MUI, Muhyiddin Junaidi, kepada wartawan, Jumat (4/9/2020).
Muhyiddin lantas menyinggung pemahaman Menag Fachrul Razi tentang isu-isu radikal. Jangan sampai, kata Muhyiddin, Fachrul mendukung para pihak yang mempunyai agenda terselubung.(detiknews)
Belum lagi pernyataan yang menghebohkan akan menerapkan program sertifikasi penceramah bagi semua agama mulai bulan ini. Ia menyatakan pada tahap awal bakal ada 8.200 orang akan mendapatkan sertifikasi penceramah.Dengan alasan program tersebut bertujuan untuk mencetak penceramah yang memiliki bekal wawasan kebangsaan dan menjunjung tinggi ideologi Pancasila. Sekaligus, kata dia, mencegah penyebaran paham radikalisme di tempat-tempat ibadah,sehingga bisa mengeliminasi penyebarannya [pemahaman radikal].
Tentu saja wacana ini sempat menimbulkan pro kontra di tengah-tengah publik. Salah satunya datang dari PA 212 yang menuding ada agenda terselubung yang direncanakan MUI dan Kemenag dalam sertifikasi penceramah.(CNN Indonesia)
Sejak jadi Menag, yang dijadikan kambinghitam adalah umat Islam. Ia sama sekali tak pernah menyinggung pengikut agama lain melakukan kerusakan bahkan menjadikan rumah ibadah sebagai tempat untuk mengkader para generasi anti-NKRI dan separatis radikalis yang jelas musuh bersama. Menag menghilangkan semua stigma negatif tentang umat Islam yang beramar makruf dan nahi munkar demi tegaknya keadilan dan kebenaran di negeri ini.
Menag harus banyak baca literatur yang benar, bukan ceramah yang disiapkan oleh pihak yang sengaja punya hidden agenda di negeri ini. Seharusnya ia berterima kasih dan membantu semua pihak yang mendorong proses islamisasi di semua kalangan dan ghirah umat Islam yang ingin menjadikan Islam dan syariatnya diterapkan dalam seluruh sendi kehidupannya.
Menteri Agama juga meminta kepada seluruh kementerian dan lembaga pemerintahan untuk tak menerima peserta yang memiliki pemikiran dan ide mendukung paham khilafah sebagai aparatur sipil negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Ia juga meminta agar masyarakat yang mendukung ide khilafah untuk tak perlu ikut bergabung sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS).
Pernyataan tersebut justru menunjukkan ketidakpahaman Menag dan data yang tak akurat diterimanya. Seakan yang radikal itu hanya umat Islam dan para huffaz Al-Qur'an. Seharusnya Menag yang berlatar belakang militer lebih mengerti tentang peran umat Islam Indonesia dan menjadikannya sebagai rujukan untuk menciptakan stabilitas nasional, persatuan dan kemajuan di tengah kebinekatunggalikaan.
Apakah benar persoalan besar bangsa ini, bahkan dunia saat ini adalah radikalisme? Hingga perang yang lain dibolehkan gencatan senjata, perang terhadap radikalisme dan terorisme tak boleh dihentikan?
Tidak benar! Jelas ini merupakan penyesatan opini yang membutakan mata dan menulikan telinga. Jangan sampai seorang muslim termakan opini tersebut.
Bagi individu muslim yang berikrar hanya Allah SWT semata sebagai Tuhan yang layak disembah dan tiada Tuhan selain-Nya, wajib tunduk dan patuh atas segala perintah-Nya serta berserah diri seluruh hidup dan matinya hanya untuk Allah.
Tentu saja yang akan dirugikan dalam proyek perang melawan radikalisme ini bukan hanya kelompok-kelompok Islam, tapi seluruh umat Islam. Bukan hanya kelompok-kelompok Islam yang selama ini aktif dalam perjuangan penegakan syariah Islam secara kafah melalui institusi khilafah.
Tujuan penting isu perang melawan terorisme dijadikan alasan umum untuk memerangi pemikiran, organisasi, atau perjuangan yang berusaha melawan ideologi, kepentingan ekonomi-politik, dan imperialisme Barat atas negeri-negeri kaum Muslim. Dengan kata lain, isu perang melawan terorisme sejatinya dimaksudkan untuk mengukuhkan penjajahan dan dominasi Barat atas negeri-negeri kaum Muslim.
Adanya upaya sistematis menjauhkan umat islam dari ajaran Islamnya yang utuh, yang kaffah. Selain menampakkan kedengkian terhadap Islam, nampak juga ketakutan luar biasa terhadap kembali hadirnya sistem Islam, atau islamophobia.
Seriusnya rezim hari ini menggarap agenda deradikalisasi, kita patut mempertanyakan apa sebenarnya tujuan program-program tersebut. Bila benar rezim hari ini berkepentingan menyelamatkan keutuhan bangsa dan melindungi masyarakat dari segala bentuk bahaya, mengapa tidak ada upaya serius pula untuk menangkal arus pengaruh AS dan Cina yang diakui sendiri bahwa masing-masing juga punya kepentingan yang mengancam Indonesia.
Disinilah umat Islam harus kritis dalam membaca fakta yang ada saat ini, kenapa yang dianggap ancaman mematikan bagi negeri ini adalah radikalisme yang didentikkan dengan terorisme?
Pemerintah Indonesia dengan kacamata subjektifnya menganggap radikalisme secara dominan adalah gejala yang lahir dari tafsiran teologi yang menyimpang. Namun, lanjutnya, pemerintah abai terhadap realitas gejala sosial dari meluasnya apatisme dan frustasi sosial akibat kemiskinan, ketidakadilan, ketidakpastian masa depan, dan tekanan hidup yang berat.
Deradikasilsasi dibangun atas asumsi adanya ideologi radikal yang mengeksploitasi faktor komplek yang ada (kemiskinan, keterbelakangan, marginalisasi, pemerintahan otoriter, dominasi negara super power, globalisasi dan sebagainya), melahirkan spirit perlawanan dan perubahan dengan tindakan-tindakan teror ketika jalan damai (kompromi) dianggap tidak memberikan efek apapun. Maka ideologi radikal ditempatkan sebagai akar sesungguhnya dari fenomena terorisme. Dalam kerangka pandangan seperti inilah program deradikalisasi dijalankan.
Ini indikasi yang cukup untuk menjelaskan bahwa proyek deradikalisasi dan kontra radikalisasi adalah bagian dari strategi WOT di mana arahan dan paradigma Barat (AS) menjadi basis implementasinya.
Para pejuang syariah dan Khilafah tidak akan gentar dengan semua upaya pemberangusan yang dilakukan oleh Amerika dan anteknya. Bahkan dukungan masyarakat terhadap upaya penegakan Khilafah yang mengikuti metode kenabian semakin menguat. Berdasarkan survei yang dirilis Setara Institute pada 29 November 2010 lalu saat ini satu dari tiga warga Jabodetabek setuju dengan Khilafah dan menolak demokrasi. Meskipun bukan puncaknya, ini menunjukkan keberhasilan dakwah. Mereka makin memahami bahwa sejarah Islam tidak dapat dilepaskan dari sejarah Kekhilafahan Islam.
Ulama, kiai dan kalangan pesantren juga dengan cepat memahami Khilafah setelah ditunjukkan hadis-hadis sahih tentang Khilafah, kitab-kitab fikih mu’tabar yang juga mengandung bahasan tentang Khilafah/imamah, termasuk kitab al-Hushun al-Hamidiyah yang dikaji di pesantren.
Masyarakat menyaksikan sekaligus merasakan kezaliman hidup dalam sistem demokrasi yang dasarnya sekularisme. Akhirnya, mereka menemukan bahwa Khilafah adalah solusi yang dapat melenyapkan kezaliman itu. Yang jauh lebih penting, mereka semua memilih Khilafah karena meyakini bahwa penegakan Khilafah merupakan bukti keimanannya kepada Allah SWT.