Oleh: Elis Ummu Izma
Sungguh nyata ketakutan sekaligus kebencian terhadap Islam dan ajarannya (islamofobia) yang di pertontonkan musuh-musuh kaum muslimin. Islamofobia lalu mendorong sebagian kalangan untuk melakukan penistaan terhadap Islam dan Rasul-Nya.
Masih segar dalam ingatan, kasus Ahok sang penista surat Al-Maidah hingga memantik aksi 212. Baru-baru ini Apollinaris Darmawan menjadi perbincangan warganet setelah mengunggah sejumlah materi ke media sosial yang menghina Islam. Sebenarnya pria berambut putih ini sudah sering dilaporkan atas perbuatan yang sama. Namun tak kunjung membuat jera.
Belum lagi kasus penyobekan dan pembuangan sobekan Alquran terjadi di depan salah satu hotel di Jalan SM Raja, Medan, Jumat (7/2/2010) pagi. Pelaku penyobekan dan pembuangan sobekan, Doni Irawan Malay, ditangkap polisi enam hari setelah kejadian.
Kini, di daratan Eropa. Islamofobia di tunjukkan dengan demonstrasi anti-Islam yang terjadi di negara-negara Skandinavia yaitu Denmark, Swedia, dan Norwegia. Dalam demo ini, ada aksi membakar dan meludahi kitab suci umat Islam, Alquran Alkarim.
Di Ibu kota Norwegia, Oslo pengunjuk rasa anti Islam digerakkan oleh kelompok Stop Islamization of Norway (SIAN). Seperti dilansir Deutsche Welle (DW) pada Ahad (30/8/20). Bermula dari peristiwa pembakaran Alquran di Swedia oleh Rasmus Paludan. Pemimpin kelompok anti Islam Tight Direction (Stram Kurs) bersama para pendukungnya.
Insiden serupa juga terjadi di kota Malmo, Swedia pada Jumat (28/8/20) di mana pengunjuk rasa bentrok dengan aparat pasca kelompok ekstrimis sayap kanan membakar Alquran.
Perbuatan yang dilakukan sekelompok kafir harbi jahil murrokab tersebut adalah salah satu bukti kebencian yang mendalam dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Karena sesungguhnya orang-orang kafir (Yahudi dan Nasrani) merupakan musuh ummat Islam yang tidak akan pernah rela melihat ummat Islam teguh dalam menjalankan syariat agamanya.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah:120
ÙˆَÙ„َÙ† تَرْضَÙ‰ٰ عَنكَ الْÙŠَÙ‡ُودُ ÙˆَÙ„َا النَّصَارَÙ‰ٰ ØَتَّÙ‰ٰ تَتَّبِعَ Ù…ِÙ„َّتَÙ‡ُÙ…ْ ۗ Ù‚ُÙ„ْ Ø¥ِÙ†َّ Ù‡ُدَÙ‰ اللَّÙ‡ِ Ù‡ُÙˆَ الْÙ‡ُدَÙ‰ٰ ۗ ÙˆَÙ„َئِÙ†ِ اتَّبَعْتَ Ø£َÙ‡ْÙˆَاءَÙ‡ُÙ… بَعْدَ الَّØ°ِÙŠ جَاءَÙƒَ Ù…ِÙ†َ الْعِÙ„ْÙ…ِ ۙ Ù…َا Ù„َÙƒَ Ù…ِÙ†َ اللَّÙ‡ِ Ù…ِÙ† ÙˆَÙ„ِÙŠٍّ ÙˆَÙ„َا Ù†َصِيرٍ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”.
Menanggapi hal di atas, Perdana Menteri (PM) Norwegia Erna Solberg menganggap aksi perobekan Al Quran sebagai bentuk kebebasan berekspresi. Ia tak mempermasalahkan tindakan itu dalam unjuk rasa anti-Islam yang terjadi sejak Sabtu pekan lalu.
Solberg berdalih kebebasan berekspresi dijunjung tinggi di negaranya. Ia tak bisa melarang apa yang dilakukan kelompok SIAN.
Bukti yang menunjukkan gerakan liberalisme progresif disimpangkan arah hanya kepada umat Islam. Padahal tak layak aksi biadab tersebut sebagai kebebasan berekspresi.
Sudah menjadi tabiat dalam demokrasi melihat rasisme dan permusuhan terhadap Islam sebagai bagian dari kebebasan berpendapat dan bertingkah laku.
Tak heran selama politik sekuler demokrasi berlaku, penistaan demi penistaan terus berulang seolah tidak ada rasa jera dalam melakukannya. Dalam demokrasi yang dikembangkan prinsip liberalisme yaitu bebas menghina dan menista jika itu adalah Islam.
Sikap ngara-negara di dunia yang membiarkan begitu saja aksi-aksi ini terjadi semua karena sistem demokrasi membolehkannya. Wajar hal itu terjadi, termasuk bebas menghina Rasul SAW dan ajarannya.
Adanya pembiaran terhadap aksi penistaan menunjukkan bahwa demokrasi adalah sistem yang rusak dan tak layak dipertahankan. Harus segera diganti dengan sistem yang menjaga kehormatan agama dan kaum muslimin.
Ketika negara menerapkan sistem Islam (khilafah). Tidak ada pelecehan terhadap Islam. Karena itu segala bentuk penistaan terhadap Islam dan syiar-syiarnya sama saja dengan ajakan berperang. Pelakunya akan ditindak tegas oleh Khilafah.
Jika pelakunya kafir ahludz-dzimmah, dia bisa dikenakan ta’zir yang sangat berat, bisa sampai dihukum mati. Jika pelakunya kafir yang tinggal di negara kufur seperti Amerika Serikat, Eropa dan sebagainya, maka Khilafah akan memaklumkan perang terhadap mereka untuk menindak dan membungkam mereka. Dengan begitu, siapapun tidak akan berani melakukan penodaan terhadap kesucian Islam.
Alhasil, keberadaan Khilafah untuk melindungi kesucian dan kehormatan Islam,termasuk kitab suci dan Nabinya, mutlak diperlukan. Demikian sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Ghazali dalam Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, saat umat Islam tidak memiliki Khilafah, sementara saat ini tidak bisa melakukan tugas dan tanggung jawab untuk membela agama Allah SWT, bahkan seolah berlomba memerangi Allah dan Rasul-Nya. Maka kewajiban umat Islam saat ini adalah menegakkan kembali Khilafah dengan membaiat seorang khalifah.
Khilafahlah yang akan menerapkan Alquran dan As-Sunnah secara kaaffah, menegakkan syariah sekaligus menjaga kekayaan, kehormatan dan kemuliaan umat Islam sehingga mereka tidak akan pernah dihinakan lagi dan Islam Rahmatan Lilalamiin dapat tercapai.
Wallahu ‘allam bisshowab