Demokrasi-Liberalisme Menjamin Tindak Persekusi

Oleh: Mustika Lestari
(Pemerhati Sosial)

Tidak bisa dipungkiri, tindak intimidasi, fitnah, kriminalisasi hingga persekusi terhadap pengemban ajaran Islam telah menjadi fenomena umum akhir-akhir ini. Fenomena terbaru terlihat dari aksi penggerudukan yang dilakukan oleh Banser terhadap tokoh agama di Rembang, Pasuruan, Jawa Timur yang mereka klaim sebagai anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Padahal kenyatannya, keberadan HTI telah resmi dibekukan pada tanggal 19 Juli 2017 silam sebagaimana ketetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Diketahui, konon Banser berupaya melakukan tabayyun atau klarifikasi atas dugaan penghinaan terhadap tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Habib Luthfi oleh akun media sosial salah seorang guru di sebuah yayasan lembaga keagamaan di sana. Upaya itu dipimpin Ketua PC Ansor Bangil, Saad Muafi beserta 150 anggota Banser. Mereka menemui Abdul Halim dan Zainulloh yang disebut sebagai pimpinan madrasah dengan nama Yayasan Al Hamidy Al Islamiyah itu.

 Meski terjadi perdebatan panas antara Ketua PC GP Ansor dengan Ustadz Zainulloh sebagaimana dalam video yang beredar, tetapi tidak terjadi aksi kekerasan fisik. Menangapi hal itu, Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi justru mengapresiasi tindakan tersebut. Namun, hal itu mendapat perhatian dari Prof. Musni Umar, sebab ia melihat proses tabayyun oleh Banser dilakukan dengan cara membentak dan mengintimidasi (http://fajar.co.id, 23/8/2020). 

Dakwah Khilafah Islam Bukan Ajaran Terlarang!

Sebelumnya, video yang viral saat seorang anggota Banser yang membentak-bentak Ustadz Zainulloh atas tudingan meyebarkan Khilafah pun mendapat sorotan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Wakil Sekjen MUI, Nadjamuddin Ramli mengingatkan kepada Banser Ansor untuk menjaga adab terhadap ulama. 

“Adinda tidak boleh seperti itu. Membentak-bentak kyai itu, bahkan polisi pun tidak boleh melakukan. Jadi ada adab. Tidak  boleh anak-anak muda melakukan seperti itu kepada orangtua apalagi kepada kyai. Anda sok kuasa, tidak boleh ini, tidak boleh itu. Di negeri ini ada piranti hukum, ada kekuasaan Yudikatif yang perlu kita hormati,” ujarnya di acara Kabar Petang Tvone, Sabtu (22/8/2020). 

Lebih lanjut terkait Khilafah yang dipersoalkan itu, ia menjelaskan bahwa Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam, jangan disamakan dengan PKI. “Bicara tentang Khilafah tidak sama dengan Komunisme. Ini jangan sampai salah paham. Jadi penegak hukum dan penguasa yang diberi amanah untuk menjadi pemerintah, kalau Khilafah sistem pemerintahan Islam dan nama penguasanya atau al-imam adalah Khalifah. Itu semuanya harus paham bagian daripada substansi dari ajaran Islam dan bagian dari sejarah Islam yang tidak sama dengan PKI, tidak sama dengan Komunisme,” ujarnya (news.idtoday.co).

Namun anehnya, hal berbeda dengan tanggapan Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi yang justru memberi pujian terhadap langkah yang dilakukan Banser PC Ansor Bangil tersebut. “Saya memberi apresiasi atas langkah tabayyun yang dilakukan oleh Banser PC Ansor Bangil yang mengedepankan cara-cara damai dalam menyikapi gesekan yang terjadi di masyarakat terkait masalah keagamaan,” tutur Menag di Jakarta, Sabtu (22/8).

Hal ini pun mendapat kritikan dari sejumlah kalangan. Salah satunya, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah, yang meminta agar Menag mampu membedakan tabayyun dengan persekusi. “Menag Semestinya punya kemampuan membedakan tabayyun dan perkesusi. Memaksa seseorang mengakui aktivitas yang tidak terbukti di muka hukum adalah persekusi,” ujar Dedi ketika dihubungi Tagar, Sabtu (22/8).

Dari hal di atas, sungguh penting untuk kita dalam membedakan antara persekusi dengan tabayyun. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), persekusi bermakna pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah atau ditumpas. Sementara, tabayyun secara bahasa berarti mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas dan benar keadannya, sedangkan secara istilah bermakna meneliti dan menyeleksi suatu berita, tidak secara tergesa-gesa dalam memutuskan suatu permasalahan baik dalam perkara hukum, kebijakan dan sebagainya sampai jelas permasalahnnya. Imam Asy-Syaukani rahimallah, mengatakan, “Yang dimaksud dengan tabayyun adalah memeriksa dengan teliti...” 

Dari sini, kita bisa melihat bahwa yang dilakukan oleh Banser yang penuh amarah terhadap tokoh ulama itu adalah tindak persekusi. Hal ini dibenarkan oleh Sekum FPI Munarman yang mengungkapkan bahwa tindakan Banser tersebut bukan tabayyun melainkan persekusi dan intimidasi. Munarman menambahkan, apa yang dilakukan oknum Banser tersebut tidak menggambarkan sikap kenegarawan (pojoksatu.id).

Sangat mengherankan, di negeri yang katanya ‘cinta damai’ ini tampak dengan jelas tindak kesewenang-wenangan di luar hak dan kapasitasnya yang kian menjadi, dalam mempersekusi individu maupun kelompok yang konsisten dalam kebenaran Islam. Persoalan semakin pelik ketika hal ini justru diapresiasi oleh negara melalui Kemenag yang menyatakan apresiasinya terhadap tindakan kekerasan tersebut. 

Seharusnya, Menag terlibat menjadi penengah dalam permasalahan ini, terlebih hal ini adalah bidangnya. Meluruskan dan mengapresiasi penyebaran dakwah di negeri ini, termasuk menjelaskan secara gamblang bahwa dakwah Khilafah merupakan ajaran Islam yang wajib disampaikan kepada seluruh umat dan konstitusi negara pun tidak melarangnya.

Namun, inilah fakta negeri yang menganut sistem demokrasi-liberalisme, dengan jaminan kebebasan tanpa batasnya. Dengan dalih kebebasan bertingkah laku yang dijamin oleh Hak Asasi Manusia (HAM), menjadikan manusia bebas melakukan apapun sesuai dengan apa yang diinginkan. Bebas main hakim sendiri, semena-mena tanpa pertimbangan benar dan  salah, menyakiti orang lain atau tidak, boleh ataukah tidak.

Ironisnya, kebebasan tersebut digaungkan untuk menyuarakan kesesatan, kemudian mengkriminalisasi para ulama dan intelektual yang menyuarakan Islam. Narasinya sudah pasti tidak jauh-jauh dari radikalisme, intoleransi, anti NKRI dan sebagainya. Pernyataan Menag ini justru terlihat menghalang-halangi penyebaran dakwah Islam. Miris, melihat negeri ini yang menganggap menyebarkan Islam sebagai tindak kriminal.

Adapun anggapan bahwa penyebaran dakwah Khilafah adalah sebuah pelanggaran hukum, hal ini wajib untuk diluruskan. Harus dipahami, sejauh ini tidak satupun produk konstitusi di negeri ini yang menyatakan demikian, UUD I945, TAP MPR, UU atau Perppu maupun yang lainnya yang melarang ajaran Islam Khilafah. Sebab, Khilafah murni ajaran Islam, bukan ajaran terlarang sebagaimana komunisme, marxisme, lelinisme. Terlebih, dalam Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 Tentang Kebebasan Beragama, menuliskan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing sekaligus beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.

Namun karena adanya bayang-bayang ancaman bagi rezim hari ini, maka, gerakan Islam politik ideoligis dengan tokohnya yang kritis dan istiqomah dalam beramar ma’ruf nahi munkar karena mengungkap kebusukan politik dan kedzaliman mereka, akhirnya mereka mengambil langkah kriminalisasi dan persekusi hingga menafsirkan sesuka hati atas konstitusi negeri ini.

Harus diingat, siapa saja yang gemar menghalangi dakwah, sungguh kebenaran itu tidak bisa ditutupi. Jika tindakan itu masih saja dilakukan, maka Allah SWT sudah memperingatkan balasannya di dalam firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi jalan (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesatan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka jahanamlah orang-orang kafir itu dikumpulkan, supaya Allah memisahkan (golongan) yang buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya dari sebagian yang lain, lalu kesemuanya ditumpukkan-Nya, dan dimasukkan-Nya ke dalam neraka jahanam. Mereka itulah orang-orang yang merugi,” (Q.S. Al-Anfal: 36-37).

Sesungguhnya peringatan Allah itu pasti dan upaya mereka untuk memadamkan cahaya Allah hanya akan menghasilkan kesia-siaan. Mereka bisa saja menumpas semua bunga yang tumbuh, tetapi tidak akan mampu menahan datangnya musim semi. 

Khilafah Janji Allah Swt.

Walau bagaimanapun, dakwah dan para pengembannya akan selalu diuji oleh Allah SWT dengan hadangan orang-orang pembenci kalimatullah yang disebut oleh Allah SWT sebagai syayathin. Allah SWT berfirman: “Demikianlah Kami telah menjadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan (dari jenis) manusia dan jin...” (Q.S Al-An’am [6]: 112). Imam Jarir ath-Thabrani dalam tafsirnya mengatakan bahwa ujian yang disebutkan dalam ayat ini tidak hanya menimpa Rasulullah SAW, tetapi juga berlaku bagi orang-orang yang mengikuti beliau dalam dakwah.

Sejak keruntuhan Islam, umat terus mengalami kemunduran dalam segala bidang, Umat Islam tidak lagi memahami bahwa pemerintahan Islam, yakni adanya Khilafah Islamiyyah adalah mahkota kewajiban dalam tegaknya seluruh hukum Allah. Khilafah adalah ajaran Islam, bukan ajaran terlarang. Mengenai hal ini, semua imam Mahdzab (Maliki Syafi’i, Hanafi dan Hambali) telah sepakat tentang wajibnya Khilafah. 

Adapun dakwah, oleh para anti Islam tulen dengan segala perlakuannya, umat tidak perlu gentar. K.H. Hafidz Abdurrahman mengutip pesan Rasul kepada Abdullah bin Shamit, “Hendaklah tidak takut terhadap celaan, makian, bullyan terhadap dakwah. Karena yang diperjuangkan adalah perintah Allah. Sesungguhnya Allah bersama kita. Allah tidak akan membiarkan keburukan menimpa kaum Muslimin.” Apapun yang dilakukan manusia tidak akan menghalangi kehendak Allah. Pertolongan Allah semakin dekat,” tandasnya (Wadah Aspirasi Muslimah). 

Allah SWT juga berfirman dalam al-Qur’an: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa dan Dia sungguh akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang tetap kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik” (Q.S An-Nur: 55).

Sungguh, jika Allah SWT berjanji, Dia akan memenuhi janji-Nya. Janji Allah tidak cukup diyakini, tetapi benar-benar harus diwujudkan. Wallahu a’lam bi ash-showwab.
Previous Post Next Post