Oleh : Narita Putri
(Aktivis Dakwah Klaten)
Jagat media sosial dihebohkan dengan beredarnya satu video tentang salah satu peserta Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) ke-37 provinsi Sumatera Utara, diminta membuka cadarnya oleh panitia/juri kegiatan yang dilangsungkan di Tebingtinggi itu, saat melantunkan ayat suci Alquran.
Salah satu peserta MTQ Sumut di kota Tebingtinggi harus ikhlas untuk tidak ikut bertanding karena tidak mau melepaskan cadar-nya. Sebab peraturan LPTQ tidak di bolehkan seorang bercadar membaca Quran sewaktu perlombaan resmi.
Peserta itupun akhirnya memilih mengundurkan diri dari ajang yang dibuka resmi digelar sejak Sabtu (5/9/2020) itu.
Banyak warganet mengaku khawatir dengan apa yang sudah terjadi. Peristiwa ini membuat kita prihatin, dimana juri begitu tegas untuk melarangnya karena alasan cadar.
Terkait pemakaian cadar dalam timbangan syariat, para ulama pun berbeda. Madzhab Hanafi, wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah.
Mazhab Maliki “Aurat wanita di depan lelaki muslim ajnabi adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan. Bahkan suara indahnya juga aurat. Sedangkan wajah, telapak tangan luar dan dalam, boleh dinampakkan dan dilihat oleh laki-laki walaupun wanita tersebut masih muda baik sekedar melihat ataupun untuk tujuan pengobatan. Kecuali jika khawatir timbul fitnah atau lelaki melihat wanita untuk berlezat-lezat, maka hukumnya haram, sebagaimana haramnya melihat amraad. Hal ini juga diungkapkan oleh Al Faakihaani dan Al Qalsyaani” (Syarh Mukhtashar Khalil, 176)
Mazhab Syafii, "Makruh hukumnya shalat dengan memakai pakaian yang bergambar atau lukisan. Makruh pula wanita memakai niqab (cadar) ketika shalat. Kecuali jika di masjid kondisinya sulit terjaga dari pandnagan lelaki ajnabi. Jika wanita khawatir dipandang oleh lelaki ajnabi sehingga menimbulkan kerusakan, haram hukumnya melepaskan niqab (cadar)” (Kifaayatul Akhyaar, 181)
Dalam kitab Nidzom Ijtima'i karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan bahwa hijab dalam arti cadar yang dikenakan oleh wanita menutupi wajah mereka kecuali kedua matanya adalah pendapat yang Islami. Pendapat tersebut telah dikemukakan oleh sebagian imam mujtahid dari berbagai mazhab yang ada. Sementara pernyataan bahwa cadar dalam Islam tidak diwajibkan atas wanita muslimah itupun juga adalah pendapat Islami. Karena hal inipun telah dikemukakan oleh sebagian imam mujtahid dari berbagai mazhab.
Artinya tidak ada masalah apapun bagi wanita yang ingin menutup wajahnya dengan cadar ataukah tidak. Karena pada dasarnya menutup wajah adalah mubah. Sekalipun ada sebagian menganggap wajib dan sunnah. Kemubahan seorang wanita menampakkan wajahnya sebagaimana kisah Rasulullah saw memalingkan pandangan Fadhl berikut ini :
"Dari ’Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ’anhu ia berkata : ”Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam membonceng Al-Fadhl bin ’Abbas di belakang beliau ketika haji, kemudian datang seorang wanita dari Khats’am yang meminta fatwa kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Maka Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam memalingkan kepala Al-Fadhl agar tidak melihat kepada wanita tersebut. Maka paman beliau – Al-’Abbas – berkata kepada beliau : ”Engkau memalingkan kepala anak paman engkau, wahai Rasululah ?”. Maka beliau menjawab : ”Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, maka aku tidak merasa aman dari syaithan terhadap mereka berdua.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw tidak menyuruh wanita dari Khats'am untuk menutupi wajahnya. Melainkan memalingkan pandangan Fadhl dari wanita tersebut. Maka pada dasarnya, para ulama sejak dahulu telah membahas hukum memakai cadar bagi wanita. Sebagian mewajibkan, dan sebagian lagi berpendapat hukumnya sunnah dan mubah. Namun dalam kitab Nidzom Ijtimai menegaskan bahwa pada dasarnya bagi muslimah hukumnya mubah menutupi wajah mereka salah satunya dalil dari Ali bin Abi Thalib RA.
Adanya perbedaan hukum ini, adalah pendapat yang islami semata. Dan tidak ada diantara mereka yang mengatakan bahwa pembahasan ini hanya berlaku bagi wanita muslimah arab atau timur-tengah saja atau ini adalah budaya khusus Arab saja. Sehingga tidak benar bahwa memakai cadar itu aneh, ekstrim, berlebihan dalam beragama, atau ikut-ikutan budaya negeri arab. Apalagi jika dikaitkan dengan isu radikalisme.
Karena cadar merupakan budaya Islami bukan budaya Arab saja. Dan hal ini, tidak ada kaitannya dengan Islam fundamentalis, Islam Ekstrimis, Islam radikalisme. Justru yang sepatutnya disayangkan adalah perempuan muslimah yang dengan bangganya mempertontonkan auratnya yang dapat mengumbar syahwah para lelaki.
Karena sudah sangat jelas Islam memerintahkan para wanita untuk menutup aurat dengan sempurna yakni jilbab dan khimar apabila di hadapan laki-laki ajnabi (asing) yang bukan mahramnya. sesuai Firman-Nya :
أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." ( Q. s Al-Ahzab : 59)
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, . .." (Q.S : An-Nur : 31)
Alhasil, menutup aurat sudah menjadi kewajiban bagi wanita beriman dan mendapat legitimasi Alquran. Jangan sampai, kumandang Alqur’an dipertandingkan tetapi justru pengamalan isinya dipertentangkan.
Wallahhu'alam bish shawab.