Pemerintah nampaknya semakin gencar menghembuskan isu radikalisme di tengah berbagai persoalan yang melanda negeri ini ditambah kondisi pandemi yang tak kunjung usai. Bukannya berupaya untuk menuntaskan permasalahan yang ada dihadapan mata dengan solusi yang solutif justru terus menerus fokus pada isu-isu radikalisme.
Contohnya saja upaya Menteri Agama Fachrul Razi yang akan menerapkan program sertifikasi penceramah bagi semua agama. Fachrul menegaskan program tersebut bertujuan untuk mencetak penceramah yang memiliki bekal wawasan kebangsaan dan menjunjung tinggi ideologi Pancasila. Sekaligus, kata dia, mencegah penyebaran paham radikalisme di tempat-tempat ibadah. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200902213206-20-542189/menag-mulai-sertifikasi-8200-penceramah-bulan-ini)
Selain itu, Menag meminta kepada seluruh kementerian dan lembaga pemerintahan untuk tak menerima peserta yang memiliki pemikiran dan ide mendukung paham khilafah sebagai aparatur sipil negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS).Ia juga meminta agar masyarakat yang mendukung ide khilafah untuk tak perlu ikut bergabung sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS).
Padahal, Menag sendiri menyadari bila paham khilafah tak dilarang dalam regulasi di Indonesia. Namun, ia menyatakan lebih baik penyebaran paham tersebut diwaspadai penyebarannya di tengah-tengah masyarakat. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200902181845-20-542100/menag-punya-pemikiran-khilafah-jangan-diterima-jadi-asn)
Adapun cara paham radikal masuk menurut Menag adalah melalui orang yang berpenampilan baik atau good looking dan memiliki kemampuan agama yang bagus. Si anak 'good looking' ini, kata beliau jika sudah mendapat simpati masyarakat bisa menyebarluaskan paham radikal.
"Cara masuk mereka gampang, pertama seorang anak yang good looking, penguasaan bahasa Arab bagus, hafiz, mulai masuk, ikut-ikut jadi imam, lama-orang orang situ bersimpati, diangkat jadi pengurus masjid. Kemudian mulai masuk temannya dan lain sebagainya, mulai masuk ide-ide yang tadi kita takutkan," ucapnya. (https://news.detik.com/berita/d-5159619/mui-kecam-menag-soal-radikalisme-masuk-lewat-good-looking-hafiz/2)
Ironis, stigma negatif yang terus menerus bergulir muncul dari seorang tokoh selevel Menteri Agama yang juga ber-KTP kan Islam. Narasi yang terlontar justru terkesan memojokkan Islam dan makin menyemarakkan Islamophobia.
Menyatakan khilafah bukan ide yang dilarang, namun pelakunya dilarang menjadi ASN, dicap radikal, dan dicekoki dengan Islam versi rezim melalui da’i bersertifikat. Semua ini menegaskan kebijakan Kemenag makin tak jelas, kemenag makin nampak menyerang Islam dan memojokkan pemeluk Islam yang taat syariat.
Jika tidak dilarang dan memang benar bahwa khilafah bagian dari ajaran Islam, lantas kenapa dianggap berbahaya dan berusaha memberikan stigma negatif terhadap khilafah sebagai sebuah momok yang menakutkan?
Agenda deradikalisasi semacam ini hanyalah kedok untuk menghalau kebangkitan Islam. Membuat umat takut akan ajaran agamanya sendiri dengan berbagai narasi-narasi sesat yang dilontarkan.
Indonesia sebagai sebuah negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar justru dengan mudahnya termakan stigma negatif semacam ini karena pemahaman sekuler yang sudah mendarah daging. Ajaran Islam terus menerus dimoderasi, umatnya semakin dijauhkan dari pemahaman akan Islam secara kaffah.
Bukti nyata lain bahwa rezim saat ini begitu ingin menghalau kebangkitan Islam bisa dilihat dengan upaya pemerintah yang berupaya keras untuk menggagalkan penayangan premier film dokumenter fenomenal “Jejak Khilafah di Nusantara”. Padahal film tersebut untuk membantu membuka mata umat bahwa tidak ada yang perlu ditakuti tentang khilafah, menerangkan kembali fakta sejarah yang dikaburkan, sebab khilafah memang sudah jelas terbukti kehadirannya bahkan hingga ke negeri ini.
Berbagai stigma dan framing negatif yang digulirkan oleh tokoh-tokoh ternama lah yang berbahaya karena mudah dimakan begitu saja oleh orang-orang awam. Maka dari itu perlunya literasi yang benar dan lurus, dialog terbuka dengan para tokoh yang memang benar mengkaji tentang sistem khilafah bukan justru membuka ruang diskusi kepada tokoh pembenci khilafah.
Dalam hal ini tentu peran negara dibutuhkan untuk meluruskan ajaran Islam demi kemaslahatan umat bukan malah membungkam para aktivis dakwah dengan berbagai fitnah keji.
Inilah cerminan negara demokrasi yangmana pemikiran sekuler dan liberal yang menghantarkan kepada kebatilan justru dibiarkan bertebaran, sementara pemahaman yang bersumber daripada wahyu Ilahi terus dihalau dan dikaburkan.
Tentunya jauh berbeda dengan sistem Islam yang selalu menjadikan syari’at-Nya sebagai tolak ukur suatu kebijakan. Para aparatur negara yang menjabat pun akan senantiasa menjadikan hukum syara’ sebagai landasan dalam berpikir, berucap, maupun bertindak karena sadar betul akan status dirinya sebagai hamba.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqoroh ayat 42 yang artinya, “Janganlah kalian campur-adukkan antara kebenaran dan kebatilan, dan kalian sembunyikan yang benar padahal kamu mengetahuinya”.
Ayat tersebut ditujukan kepada orang yang mengetahui sesuatu ilmu yang baik dan benar, tapi menyembunyikannya demi hawa nafsu dan kepentingan duniawi semata. Maka golongan inilah yang keji di sisi Allah. Orang-orang yang mengetahui lalu menyembunyikan kebenaran Islam, mereka lah bahaya yang nyata bagi umat manusia.
Sudah saatnya kita kembali tunduk kepada syaria’t Allah melalui penerapan sistem Islam secara kaffah, karena hanya dengan diterapkannya sistem Islamlah kebenaran akan Islam tidak akan dengan mudahnya dikaburkan oleh orang-orang munafik yang menyesatkan dan berbahaya. Wallahu’alam
Post a Comment