Al-Qur'an Dibakar, Bukti Demokrasi Gagal Menjamin Kebebasan Beragama

Oleh : Nur Fitriyah Asri
Pegiat Literasi Opini

Berulang lagi terjadi pelecehan, penghinaan dan penistaan agama. Baik yang terjadi di dalam negeri maupun di luar negeri. Itulah buah dari sistem sekularisme yang memisahkan agama  dari kehidupan. Merasa paling toleransi dan selalu mempropagandakan, nyatanya hanya omong kosong. 

Terbukti adanya aksi anti-Islam di Swedia dan Norwegia berlangsung ricuh hingga melakukan pelecehan terhadap kitab suci umat Islam, Al-Qur'an. Adapun di Swedia terjadi aksi pembakaran Al-Qur'an. Sementara di Norwegia terjadi aksi massa meludahi Al-Qur'an.

Kerusuhan di Swedia terjadi setelah seorang politikus asal Denmark, Rasmus Paludan, pemimpin partai garis keras  anti-Islam. Oleh pihak berwenang dilarang menghadiri sebagai pembicara dalam aksi anti-Islam. Sebab, Rasmus dilarang memasuki Swedia selama dua tahun. Dia kemudian ditangkap di dekat Malmo. Namun, ada sekitar 300 orang para pendukungnya tetap melanjutkan aksi di hari Jumat, melemparkan batu kearah polisi dan membakar ban dan Al-Qur'an. (Eramuslim.com.18/8/2020)

Sementara demo rusuh di Norwegia diwarnai aksi meludahi Al-Qur'an. Unjuk rasa yang diorganisir oleh kelompok Stop Islamization of Norway (SIAN). Berlangsung di dekat gedung parlemen. Menabuh  genderang dan meneriakkan "Tidak ada rasis di jalanan kami," situasi memuncak ketika seorang wanita anggota SIAN merobek halaman Al-Qur'an dan meludahinya. (Eramuslim.com.18/8/2020)

Menurut Waketum MUI, Muhyiddin Junaidi, "Islam sebagai agama kedua terbesar di Benua Eropa terus mendapat hati di kalangan umat. Sehingga jumlah masyarakat yang memeluk Islam meningkat. Hal ini yang memicu kelompok tertentu terhasut oleh rekayasa islamophobia menggunakan slogan anti-imigran sebagai dalih untuk menteror kaum muslimin."

Insiden tersebut jelas merusak tata nilai dan budaya bangsa Eropa yang diklaim menjunjung tinggi kebebasan  beragama dan hak asasi manusia (HAM). Ternyata hanya slogan semata. Itu bukti bahwa islamophobia yakni takut berlebihan terhadap Islam, merupakan penyakit sistemik masyarakat Barat sekuler. Sengaja dimunculkan oleh Barat dengan stigma negatif. Islam dituduh teroris, Islam radikal, militan dan lainnya. Semua itu diciptakan untuk menghadang tegaknya khilafah.

Meskipun Barat mengakui itu tindakan melawan hukum, namun munculnya aksi demo tersebut menggambarkan kegagalan sistem sekuler untuk menjamin keadilan dan kebebasan beragama. 

Wajah buruk demokrasi kembali menunjukkan bopengnya. Pilar kebebasan berakidah (beragama), kebebasan menyatakan pendapat hanya berlaku untuk kelompoknya, tetapi bukan untuk lawan politiknya juga bukan ideologi Islam.

Lihat apa yang terjadi di Indonesia tidak jauh berbeda. Ajaran Islam khilafah dikriminalisasikan begitu juga dengan pengemban dakwahnya. Meskipun dalam undang-undang dilindungi, namun faktanya dilanggar sendiri. Undang-undang yang dibuatnya tidak berlaku lagi, jika mengancam dan menggoyang kepentingan dan kekuasaan rezim.

Justru sebaliknya, keberadaan umat Islam dituduh intoleran, pemicu perselisihan dan penyebab peperangan. Sesungguhnya mereka orang-orang kafir dan antek-anteknyalah yang tidak toleransi. Terbukti umat Islam yang jumlahnya minoritas di negeri mereka, mendapatkan perlakuan yang keji dan zalim. Amerika Serikat dan sekutunyalah pelanggar HAM terberat di dunia.

Islam agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. berasal dari wahyu Allah. Allah Yang Maha Kuasa sebagai Al-Khaliq (pencipta) dan Al Mudabbir (pengatur). Jelas, bahwa aturan-Nya sangat adil, sesuai fitrah, memuaskan akal dan menentramkan hati.

Hanya Islam agama yang paling toleransi, dan tidak terbantahkan telah dibuktikan faktanya. Yakni sejak zaman Rasulullah saw. dengan piagam Madinah mengatur interaksi (hubungan) di antara umat Islam (kaum Muhajirin dan kaum Anshari),  juga dengan agama lain yaitu Yahudi.  Toleransi terjaga dengan baik, hingga era Kekhilafahan Utsmani. Bahkan, orang kafir pun mengakuinya.

Islam melarang memaksa orang lain masuk Islam. Allah berfirman:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu siapa saja yang mengingkari thâghût dan mengimani Allah, sungguh ia telah berpegang pada tali yang amat kuat, yang tidak akan putus.  Allah Maha Mendengar lagi Mahatahu. (QS. al-Baqarah [2]: 256) 

Syariah Islam dengan tegas melarang membunuh orang kafir kecuali jika mereka memerangi kaum muslim. Dalam Islam orang kafir yang boleh dibunuh hanyalah kafir harbi, yakni orang kafir yang memerangi kaum muslim. Adapun orang kafir selain mereka, yaitu orang kafir yang mendapat suaka atau ada perjanjian dengan kaum muslim seperti kafir dzimmi, kafir musta’man dan kafir mu’âhad, dilarang keras untuk dibunuh. Jika melanggar, ancamannya sangat keras.

Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang membunuh seorang kafir dzimmi tidak akan mencium bau surga. Padahal sungguh bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR an-Nasa’i).

Allah juga melarang mencampur adukkan agama Islam (al-haq) dengan kekufuran. Menurut versi mereka klaim kebenaran dan fanatisme harus dihilangkan karena memicu kekerasan. Pendapat tersebut sesat dan menyesatkan. Sebagaimana firman Allah:
"Sesungguhnya agama yang diakui di sisi Allah hanyalah Islam. (QS. Ali Imran [3]:19)
Jadi terkait akidah tidak ada toleransi. Kemudian turunlah surat al-Kafirun sebagai penolakan terhadap penawaran toleransi kafir Qurays pada waktu itu. Hal ini  sangat tepat untuk menolak tawaran jalan tengah  (moderat) yaitu paham pluralisme yang menganggap semua agama sama benar.

Namun, terkait masalah hubungan bertetangga dengan  orang kafir, masalah muamalah, syariat mewajibkan untuk berbuat baik dan menghormati hak-haknya.

Sesungguhnya sikap toleransi dalam Islam sangat tampak pada setiap perintah dan larangan-Nya. Bahkan sikap toleransi tidak terbatas di antara manusia, tetapi mencakup hewan dan tumbuhan. Ada prinsip dimana Islam sebagai rahmatan lil alamin (kasih sayang untuk seluruh alam).

Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik (ihsan) atas segala sesuatu. Jika kalian membunuh (dalam qishah atau perang) maka berbuat baiklah dalam cara membunuh, dan bila kalian menyembelih, maka berbuat baiklah dalam cara menyembelih, hendaklah salah seorang diantara kalian menajamkan parangnya dan menyenangkan sembelihannya." (HR. Muslim No. 1955)

Toleransi yang begitu mendalam tidak ada pada syariat agama lain.
Bahkan sangat banyak ilmuwan dan sejarahwan dunia yang mengakui keunggulan toleransi dalam khilafah. 

Di antaranya seorang orientalis Inggris, T.W. Arnold menyatakan, "Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Khilafah Turki Utsmani, selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani, telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa).”

Ia pun mencatat bahwa keadilan Negara Khilafah Islamiyah membuat warga Kristen penduduk Syam lebih memilih hidup di bawah kekuasaan khilafah dibandingkan dipimpin oleh Kaisar Romawi. Padahal Kaisar Romawi beragama Kristen (Arnold, The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, hlm. 134).

Saatnya sistem demokrasi sekuler kita campakkan. Kembali ke sistem Islam yaitu khilafah ala minhajin nubuwwah, yang menyejahterakan seluruh makhluk semesta alam.
Tidak lama akan tegak kembali.

Wallahu a'lam bishshawab.
Previous Post Next Post