Kasus gugat cerai meningkat. Susul menyusul dengan pemberitaan Covid-19. Kantor Pengadilan Agama Kelas Satu Indramayu, dipadati ratusan warga yang hendak berpisah dari teman hidupnya. Hati terlanjur terluka, kecewa bertubi serta karamnya asa dalam berumahtangga, membulatkan tekad untuk menyudahi segala cerita yang pernah ada.
Disampaikan oleh Kurniati, Humas Pengadilan Agama Kelas 1 Indramayu, dalam sehari, 100 berkas perkara pengajuan gugatan cerai mengantri untuk ditindaklanjuti. Terhitung selama masa pandemi telah masuk sebanyak 5.575 gugatan dan 80 persen di antaranya merupakan gugatan perceraian. Padahal, sebelum adanya Covid-19, kasus gugatan rata-rata hanya 50 sampai 70 sehari. (iNews.id, 1/9/2020).
Tak jauh berbeda dari Indramayu, beberapa kota lain bernasib sama. Bahkan lebih parah lagi. Belum lama sebuah video viral. Menayangkan antrian perceraian mengular di Pengadilan Agama Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Pengadilan Agama tersebut, rata-rata penuh setiap hari. Pada 24/8 jumlah pengunjung mencapai 500an orang (kompas.com, 24/8/2020).
Covid-19 pun digadang-gadang sebagai pemicu lonjakan kasus gugat cerai ini. Benarkah demikian? Dan mampukah menghentikan prahara di dalam rumahtangga?
Sebenarnya kerapuhan bangunan rumahtangga sudah terditeksi jauh-jauh hari. Namun, semakin diperparah oleh kondisi wabah yang berkelindan dengan merosotnya tinggat ekonomi warga.
Perut kosong, beban kehidupan meningkat, stres akibat "dirumahkan", menjadi sebab ketegangan, percekcokan dan meremas-remas keharmonisan keluarga. Pandemi hanya membeberkan kenyataan pahit dan sebuah penegasan akan realitas. Bahwa betapa rapuh dan keroposnya bangunan rumahtangga, selama ini.
Hal tersebut sebagai akibat dari hilangnya penjagaan berlapis berupa hukum-hukum perlindungan keluarga serta paradigma berpikir umat. Hal ini sedianya dijalankan secara bersinergi, baik oleh pasangan suami istri itu sendiri, masyarakat maupun negara.
Dari sisi pasangan suami istri, belakangan terjadi pergeseran dalam memaknai ikatan pernikahan setelah akad dinyatakan sah. Pengemasan acara resepsi lebih mengerucut kepada serangkaian seremonial keagamaan. Menghilangkan ruh (kesadaran pemaknaan) akan akad nikah, sehingga terasa sekadar formalitas.
Padahal ketika akad terjadi, al-arsy (langit ke tujuh) berguncang, saking hebat dan agungnya ikrar suci yang terucap. Bukan ditujukan kepada pasangan mempelainya semata, tapi mereka sejatinya telah diikat atas nama Allah Ta'ala. Itu berarti, fokus pasutri berikutnya yakni menjalankan janji masing-masing dalam menjalankan kewajiban.
Misal setelah akad terjadi, maka sejak itulah seorang suami wajib mencukupi nafkah keluarga, selanjutnya mempergauli istri dengan baik, mendidik istri dan anak, memgarahkan untuk beramal saleh juga membangun komunikasi "sehat" antar anggota keluarga. Jangan sampai nantinya, rumah terasa seperti tempat kost. Tidak ada interaksi dan kehangatan di dalamnya.
Namun sayangnya, komitmen ini dilemahkan oleh keseharian dengan warna sekulerisme. Seakan Allah Ta'ala lepas dari mengawasi aktivitas hamba-Nya di dalam berumahtangga. Banyak suami mengabaikan nafkah keluarga lalu menyerahkan tugas tersebut ke pundak istri. Akhirnya tulang rusuk pun berubah menjadi tulang punggung.
Dan parahnya, uang dari istri malah dihambur-hamburkan. Wajar jika istri protes, namun suami yang kurang paham agama akan dengan mudah meletup emosinya dan berlaku kasar. Hal ini memicu KDRT (kekerasan dalam rumahtangga) dan biasanya berujung pada gugat cerai.
Masyarakat pun seakan mandul atau belum optimal dalam melakukan pengawasan dan aktivitas dakwah. Cenderung mendiamkan, gagap dari peduli terhadap urusan rumahtangga orang lain. Budaya nasihat menasihati digilas oleh budaya ghibah (bergunjing). Masyarakat cenderung individualis, apalagi yang hidup di tengah perkotaan.
Sementara peran negara masih dipertanyakan. Sebab, semestinya negara menjadi pemeran utama dalam mengakhiri drama keluarga. Negaralah yang diamanahi untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pokok dan asasi bagi warga. Menjamin setiap kepala keluarga dapat memenuhi kewajiban penafkahan. Yakni dengan membuka peluang kerja atau pelatihan skill (keterampilan). Berikut memudahkan kebutuhan akan tempat tinggal yang layak tanpa harus repot mengontrak.
Sarana publik seperti akses pendidikan, kesehatan serta keselamatan dan keamanan semestinya disediakan sebaik mungkin. Tidak setengah-setengah atau bahkan harus membayar dengan biaya selangit, tak terjangkau. Hal ini seperti angin segar, membebaskan keluarga dari perasaan engap dan sesak napas.
Negara pun akan mengedukasi serta memberikan pembekalan tsaqofah (pemahaman) dasar-dasar dalam membangun keluarga. Mengkondisikan sistem pergaulan (sosial) yang kondusif, bebas dari maksiat, hedonisme ataupun kebebasan syahwat.
Jika ketiga hal di atas, baik personal pasutri, masyarakat dan negara bersinergi, meniscayakan harmonisasi keluarga akan kembali. Mengakhiri derita akibat drama sehari-hari. Bersama penunaian hukum-hukum Allah Ta'ala di berbagai lini kehidupan, termasuk kehidupan keluarga, tak akan ada lagi kerumunan di Pengadilan Agama. In syaAllah.
Wallâhu a'lam bish-shawab.
*(anggota Komunitas Istri Strong/KIS)
Post a Comment