Oleh : Lia Aliana
(Aktivis Muslimah)
Pandemi belum juga teratasi, korban berjatuhan tak bisa dihindari, bahkan pasien positif mengalami kelonjakan setiap hari. Keresahan dan kecemasan akan keselamatan diri selalu menghantui. Sungguh covid-19 telah merenggut kedamaian bumi pertiwi.
Segala upaya pencegahan telah dilakukan, para pakar kesehatan mencari alternatif untuk menghentikannya. Salah satunya dengan pengadaan vaksin corona. Karenanya, seluruh dunia termasuk Indonesia menantikan bahkan berlomba menemukannya.
Pucuk dicinta ulam tiba, vaksin Covid-19 buatan perusahaan biofarmasi Sinovac asal Cina resmi diuji klinis di Indonesia. Hal itu ditandai dengan peninjauan fasilitas dan kapasitas produksi di Bio Farma serta penyuntikan perdana relawan uji klinis vaksin covid-19 di Fakultas Kedokteran Unpad Kota Bandung, Jawa Barat, yang disaksikan oleh Presiden RI Joko Widodo. (Republika.co.id, 11/8/2020)
Bukan tanpa alasan, Indonesia menggandeng perusahaan Sinovac, lewat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang kesehatan yaitu PT. Bio Farma (Persero). Dikarenakan kerjasama ini dinilai dapat mendulang banyak keuntungan.
Dilansir dari Kompas.com, Sekretaris Perusahaan PT Bio Farma Bambang Heriyanto mengungkapkan kerjasama tersebut akan menguntungkan Indonesia. Menurutnya, ada proses transfer teknologi yang dilakukan Sinovac pada Bio Farma. “Jadi, dari teknologi yang diberikan ke kami, walau nanti mulainya dari downstream baru nanti ke upstream."
Keuntungan lainnya, kata Bambang, uji coba ini bakal memberi informasi terkait respons vaksin pada penduduk Indonesia. Dengan demikian, kecocokan vaksin dapat diketahui ketimbang membeli vaksin dari luar yang belum diuji di Indonesia.
Masuknya kandidat vaksin dari Sinovac seakan membawa angin segar. Apalagi sudah melewati serangkaian uji klinis. Namun, kerjasama BUMN dengan produsen vaksin juga patut mendapat perhatian. Jangan sampai harapan ini, dimonopoli pihak swasta demi keuntungan segelintir pihak.
Aspek keuntungan yang ditonjolkan pemerintah berupa alih teknologi dan keuntungan ekonomi tak menutup kemungkinan menjadi lahan bisnis kapitalis. Dikutip dari Kompas.com, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Dany Amrul Ichdan mengakui bahwa uji klinis vaksin Sinovac asal China dilakukan Pemerintah Indonesia dengan pendeketan business to business (B2B).
Inilah buah dari penerapan kapitalisme, kondisi wabah yang sulit bisa disulap untuk menghasilkan profit. Swab dan rapid test hingga alat kesehatan tak luput dari incaran. Maka vaksin covid-19 pun diperkirakan menjadi andalan untuk mengeruk keuntungan.
Di sisi lain, pemerintah sangat proaktif mensukseskannya. Sebab dalam kacamata kapitalisme negara hanya sebagai fasilitator dan regulator bagi kepentingan para pemilik modal. Sedangkan untuk rakyat harus berhitung untung rugi.
Fakta ini memantik kekhawatiran, bahwa Indonesia hanya dijadikan pasar dari berbagai produk kesehatan. Dengan tingkat ketergantungan yang tinggi pada produsen vaksin, membuat potensi SDM/SDA melemah. Tanpa disadari hal ini membentuk mental negara pengekor dan tak mandiri.
Maka tak heran, jika kemudian hari, rakyat wajib membeli vaksin dengan harga yang tinggi. Bukannya diberi secara percuma, justru rakyat harus memeras keringat demi menjaga keselamatan diri saat berjuang mencari sesuap nasi di tengah badai resesi.
Kondisi ini berbeda, apabila dibandingkan dengan keseriusan negara yang berasaskan akidah. Islam memandang segala kebutuhan hidup rakyat menjadi tanggung jawab negara. Kemaslahatan dan kepentingan umat menjadi pertimbangan utama dalam mengambil kebijakan.
Oleh karena itu, negara senantiasa mencurahkan perhatiannya pada aspek antisipasi dan penanganan saat wabah. Aksi cepat tanggap diperlihatkan dengan memfasilitasi tempat karantina, layanan medis, bangunan rumah sakit beserta laboratoriumnya, dan sanksi tegas ketika ada yang berkeliaran.
Penemuan dan pengembangan vaksin dilakukan sebagai langkah preventif, tentunya semata-mata demi keselamatan rakyat. Pastinya dengan memperhatikan keamanan dan kehalalan. Bukan pada aspek keuntungan ekonomi semata. Maka, negara wajib mendorong dan memfasilitasi para ilmuwan untuk menemukan vaksin ini.
Hal ini dibuktikan dalam catatan sejarah yang gemilang, bahwa Khalifah Abdul Hamid II menghibahkan bantuan sebesar 10.000 frank dan penganugerahan Ordo Kesatria Ottoman Medjidie (medali prestasi tertinggi) kepada Louis Pasteur seorang ahli kimia dari Perancis, atas jasanya yang telah menemukan vaksin rabies tahun 1885.
Sudah saatnya kita berkaca pada sejarah abad keemasan, bahwa hanya Islam kaffahlah dalam naungan khilafah yang dapat mengurusi segala hajat hidup umat manusia. Negara hadir sebagai pengayom, pelindung dan pelaksana segala hukum syariat. Dengannya kemaslahatan dan keberkahan akan mudah didapat.
Sebaliknya sistem kapitalisme telah merampas hak rakyat, dan mengabaikan kepentingan umat. Jika tetap berharap pada kondisi ini, selamanya rakyat hanya akan dimanfaatkan oleh para elit pemegang kekuasaan.
Wallahu a'lam bish shawab
Refrensi :
https://biz.kompas.com/read/2020/08/05/175255228/seberapa-menguntungkan-kerja-sama-uji-coba-vaksin-covid-19-biofarma-sinovac-bagi
https://www.wartaekonomi.co.id/read297698/vaksin-covid-19-buatan-china-orang-pks-bahaya-ini-bahaya-untuk/0
https://m.republika.co.id/amp/qewb9g382https://cekfakta.com/focus/3938