Oleh : Reni Adelina, A.Md
(Pemerhati Kebijakan Publik)
Pembahasan vaksin di tengah pandemi menjadi pembicaraan yang hangat. Sebagian masyarakat berharap adanya vaksinisasi agar pandemi ini segera berakhir. Vaksinisasi adalah suatu tindakan memasukkan vaksin ke dalam tubuh dengan tujuan untuk mendapatkan efek kekebalan terhadap penyakit tertentu.
Melihat kondisi seperti ini, para pakar kesehatan dan perusahaan obat dari seluruh dunia mencari cara dan upaya untuk menemukan vaksin SARS-Cov 2 secepat mungkin. Salah satunya Sinovac asal Beijing, Tiongkok. Sinovac merupakan salah satu dari empat perusahaan dunia yang melakukan pengembangan tahap akhir vaksin Covid-19. Sinovac sendiri sudah berpengalaman dalam pengembangan vaksin beragam virus yang menjadi epidemi maupun pandemi, seperti SARS, flu domestik, maupun flu yang disebabkan virus H1N1. (Kompas.com)
Atas dasar pengalaman ini, Pemerintah Indonesia memutuskan menjalin kerja sama dengan Sinovac. Lewat Badan Usaha Milik Negera (BUMN) kesehatan, Bio Farma. Indonesia akan menguji klinis bakal vaksin Covid-19 milik Sinovac.
Vaksin Covid-19 milik Sinovac telah memasuki fase uji klinis tahap tiga. Bahkan, Indonesia menjadi salah satu tempat uji klinis tersebut. Nantinya uji klinis tahap tiga akan dilakukan di Bandung mulai Agustus selama enam bulan yang bekerja sama dengan Universitas Padjajaran. Uji klinis ini melibatkan sebanyak 1.620 relawan yang berusia 18-59 tahun dan berlokasi di enam titik yang telah ditentukan di Kota Bandung. (Viva.co.id, 27/7/20)
Pro Kontra Vaksin
Sebagian orang tentu ada yang mendukung agar vaksin ini segera terdistribusi di tengah-tengah masyarakat, dengan tujuan agar pandemi ini segera berakhir dan kehidupan kembali normal. Namun di sisi lain vaksin yang berasal dari Sinovac menuai banyak polemik. Melihat Indonesia sebagai negara mayoritas muslim, sudah tentu halal atau haramnya vaksin menjadi perhatian utama. Hal ini harus melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai pengawal untuk memastikan bahan-bahan pembuatan vaksin bebas dari unsur-unsur yang haram.
Kadang-kadang pemerintah memang harus mengambil keputusan yang tidak mudah. Menerapkan vaksin temuan asing (walaupun nantinya diproduksi di Indonesia) untuk melindungi warga atau menunggu lebih lama agar dapat menerapkan vaksin buatan anak bangsa, dengan risiko terlambat menangani wabah.
Hal yang paling sensitif ketika berbicara dari sisi ekonomi. Menurut Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Dany Amrul Ichdan menyebutkan, pemerintah harus menyiapkan anggaran sekitar Rp. 25 Triliun - Rp. 30 Triliun untuk uji klinis vaksin Covid-19. Perkiraan harga vaksin yang mencapai 5-10 dollar AS dikalikan dengan 175 juta vaksin. Dany juga menyampaikan bahwa uji klinis vaksin Sinovac asal China dilakukan pemerintah Indonesia dengan pendekatan business to business (B2B) bukan government to government (G2G). Kebijakan ini jika direalisasikan maka akan menguntungkan sebagian pihak. Hendaknya di tengah pandemi, bukanlah keuntungan yang menjadi target, jutrsu kemaslahatan dan nyawa manusia di negeri ini harus lebih diutamakan.
Belajar dari Ilmuwan Muslim Pencetus Vaksin
Dalam ilmu kesehatan, dunia Islam sebenarnya tidak jauh ketinggalan. Melihat sejarah, bahwa Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi ialah salah satu pakar sains Iran yang lahir pada tanggal 28 Agustus 865 M, dan meninggal 9 Oktober 925 M. Ar-Razi merupakan orang pertama yang membuat penjelasan seputar penyakit cacar dan campak, termasuklah mengenai vaksin. Dalam bukunya yang berjudul Al Judari wal - Hasbah (cacar dan campak), dalam buku ini ia membahas bahwa cacar dan campak adalah dua wabah yang berbeda. Buku ini diterbitkan dan diterjemahkan belasan kali dalam Bahasa Latin dan Eropa. Ini artinya penemuan ilmuwan muslim di bidang kesehatan banyak diadopsi oleh bangsa barat. Ar-Razi juga memaparkan tentang etika kedokteran. Bahwa tujuan menjadi dokter adalah untuk berbuat baik, bahkan sekalipun dengan musuh dan juga bermanfaat untuk masyarakat sekitar. Islam mengajarkan bahwa kesehatan masyarakat lebih penting dari pada berbicara untung rugi dan bisnis. Namun fakta penerapan vaksin saat ini didominasi oleh kapitalisme sekuler, sehingga pendanaan dalam bidang riset perlu biaya besar alhasil riset ini dimodali oleh para kapitalis atau pemilik modal besar. Sehingga peran negara menjadi tidak berdaya.
Adapun solusinya agar pandemi ini segera berakhir ketika para penguasa mampu berdaulat sehingga tidak adanya intervensi asing dan aseng dalam penanganan wabah. Lalu menerapkan aturan yang baik yang bersandar pada syariah Islam sehingga melahirkan individu yang beriman dan tidak memikirkan keuntungan semata. Negara mampu memberdayakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang didukung sarana dan prasarana yang memadai. Individu juga harus sadar pentingnya kesehatan dengan hidup sehat dan menjaga lingkungan tetap bersih.
Melakukan vaksinisasi merupakan tindakan pencegahan (preventif) tetapi dalam menghukuminya para ulama memasukan ke dalam tindakan pengobatan juga mencakup preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dengan demikian kita semua butuh usaha dan doa agar wabah ini segera berakhir.