Oleh: Okeu Suminar S.Pd
Geliat Tren Childfree
Akhir-akhir ini, banyak pasangan menikah yang memutuskan childfree, bahkan nyaris seperti mengkampanyekannya di media sosial. Mereka mengunggah foto-foto bersama pasangan ketika berlibur dan bersenang-senang dengan menyantumkan tagar #childfree. Menjalani hidup tanpa anak kini menjadi tren gaya hidup.
Tentunya itu adalah hak pribadi masing-masing pasangan yang harus dihormati. Namun, ketika mereka menunjukkannya kepada dunia, masyarakat langsung bereaksi. Masyarakat kita menganggap childfree bagi pasangan yang sudah menikah sebagai sesuatu yang tabu, sesuatu yang tidak bisa diterima dalam konteks agama maupun kehidupan sosial.
Ketika pasangan suami-istri memutuskan childfree, keputusan mereka itu akan otomatis dianggap jelek di mata masyarakat. Akan banyak ujaran-ujaran menghakimi, dianggap super egois hingga menolak rezeki Tuhan. Kali ini, mari kita lihat dari konteks sosial, ketika pasangan yang memutuskan childfree dianggap egois oleh masyarakat.
*Childfree Dimata Masyarakat *
Childfree adalah penolakan untuk melahirkan anak disampaikan oleh para penggemar sebagai tingkat tertinggi evolusi masyarakat. Semacam hak istimewa bagi mereka yang lebih maju. Menurut para penganut childfree, justru sungguh egois apabila memaksakan diri memiliki anak di tengah kondisi belum mencukupi. Tidak sesederhana ungkapan “Ah, itu dipikir sambil jalan aja” atau “Rejeki anak sudah ada yang ngatur”.
Padahal, membesarkan anak adalah sebuah tanggung jawab besar yang membutuhkan kesiapan finansial, mental, dan emosional yang matang. Tidak ada satu pun orang tua yang ingin anaknya tumbuh sebagai orang tidak terdidik atau kekurangan uang atau hidup dalam kondisi tidak layak. Pemikiran seperti itu sebetulnya lebih jauh ke depan. Mereka memikirkan masa depan anak, mereka tidak tega mewariskan dunia yang rusak untuk anak-anak mereka, sehingga mereka memutuskan untuk childfree.
Dalam pandangan masyarakat umum, pasangan childfree dilihat sebagai pasangan yang hidupnya hanya mau bersenang-senang saja. Bekerja untuk mereka sendiri, berlibur berdua saja, belanja barang untuk mereka saja. Alangkah serupanya sifat keyakinan mereka dengan sifat keyakinan orang-orang jahilliyyah yaitu tidak mau mempunyai anak karena kemiskinan mereka atau takut jatuh miskin.
Sekulerisme Melahirkan Childfree
Inilah bukti lahir dari prinsip sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan. Dalam pandangan Kapitalisme, manusia berhak menentukan aturan main kehidupannya. Dan inilah yang dibatakan oleh Islam ketika Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Hajjatul Wada’ sewaktu beliau wuquf di Arafah.
أَلاَ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَا هِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمَيِّ مَوْضُوْعٌ
“Ketahuilah. Segala sesuatu dari urusan jahilliyyah berada di bawah kedua telapak kakiku dibatalkan” [Riwayat Muslim : 4/41]
Salah satu sifat jahiliyyah ialah membunuh anak-anak mereka karena kemiskinan atau takut miskin. Maka kaum muslimin yang tidak mau mempunyai anak dengan i’tiqad (keyakinan) takut miskin atau takut tidak bisa makan dan lainnya, samalah keyakinan mereka ini dengan keyakinan orang-orang jahilliyyah meskipun mereka tidak membunuh anak-anak mereka. Padahal Islam memandang bahwa setiap umat Muslim yang telah menikah, maka dapat melestarikan keturunan putra-putra adam.
Sebagaimana dalam Al-Quran Allah berfirman,
"Allah menjadikan kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?."
(QS. An-Nahl ayat 72).
Tidak Ada Childfree Dalam Islam
Tujuan menikah menurut Al-Quran berikutnya ialah membangun generasi beriman. Pasalnya membangun rumah tangga islam yang harmonis, sudah turut serta membangun generasi muslim yang beriman agar tidak terjadi kepunahan. Hal ini hanya bisa dicapai melalui pernikahan yang sesuai dengan syariat agama Islam.
Sebagaimana dalam salah satu surah Al-Quran berikut,
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka.Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. At-Thur ayat 21).
Selanjutnya menurut Imam Al-Ghazali tujuan menikah ialah thalabul syafaat atau meminta pertolongan kepada anak. Setiap anak yang berdoa dapat memberi manfaat untuk orangtua. Oleh karena itu dengan cara menikah, seseorang dapat meminta pertolongan dari anak. Pasalnya anak yang soleh dapat memberikan syafaat untuk orang tua yang sudah meninggal dunia.
Nabi Muhammad saw,bangga dan menganjurkan umatnya mempunyai anak yg banyak, sebagaimana hadits dari Ibnu Hibban dan Hakim dari jalan Ma’qil bin Yasar
تَزَوَّجُوا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّيْ مُكَاشِرٌ بِكُمُ اْلأَنْبِيَاءَ يَومَ الْقِيَامَةِ
“Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu dihadapan para Nabi nanti pada hari kiamat”
[Shahih Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban dan Sa’id bin Manshur dari jalan Anas bin Malik]
Puncak tertinggi dari keutamaan-keutamaan mempunyai anak, yaitu anak yang shalih yang bermanfaat bagi orang tua di dunia dan di akhirat.
Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah :
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Apabila manusia itu telah mati maka terputuslah dari semua amalnya kecuali tiga perkara. Shadaqah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya dan anak shalih yangmendo’akannya”
[Riwayat Muslim dan lain-lain]
Fakta adanya penganut Childfree adalah sebagian akibat dari tidak beriman dan bertakwanya umat ini secara benar kepada perintah Allah Swt. Akibat melalaikan hukumNya keberkahan hidup individu, keluarga, masyarakat, dan juga bangsa tidak terwujud. Kerusakan yang terjadi demikian masif meliputi alam dan segenap isinya.
Maha benar Allah dalam firman-Nya,
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Ar-Rum: 41).
Berbagai kerusakan alam, bencana, dekadensi moral, dan kesengsaraan lainnya, merupakan peringatan agar kembali kepada Allah Swt., agar berhenti melaksanakan kemaksiatan dan kembali pada jalan yang lurus, jalan yang Allah ridai, karena Allah tidak ingin bumi yang diciptakan ini [ditempati] untuk bermaksiat pada-Nya.
Kembali kepada Allah dan tidak bermaksiat pada-Nya adalah dengan mengembalikan kehidupan Islam pada wujud nyata di tengah masyarakat, dengan menerapkan seluruh aturan Allah yang diberlakukan oleh pemerintahan Islam dengan penerapan Syariah Kaffah.
Wallahu A'lam Bish-shawab