SOLUSI TANPA RUSUH PEMUKIMAN KUMUH

Oleh : Dyan Indriwati Thamrin
Pemerhati Masalah Sosial dan Politik

Upaya penanganan kawasan kumuh di Kota Samarinda 5 tahun terakhir telah banyak dilakukan. Dari luas kawasan kumuh 539,18 hektar pada tahun 2015, telah berkurang menjadi 38,22 hektar. Penanganan kumuh ini dilaksanakan dengan berbagai sumber pendanaan, baik dari program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU), APBN, APBD, partisipasi masyarakat maupun pihak swasta.

Sesuai SK Walikota dan RPJMD Walikota, awalnya Samarinda mempunyai 539,18 hektar kawasan kumuh. Sekarang tinggal 38,22 hektar dan saat ini masuk di pendataan kedua daerah di luarnya, dimana terdapat kawasan kumuh baru 32,29 hektare dengan 7 kriteria. “Ini akan kita laporkan ke pusat, dimana totalnya ada 70,51 hektar merupakan total sisa kumuh 2020 ditambah identifikasi kawasan kumuh baru,” ucap Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Samarinda Sugeng Chairuddin seusai memimpin Rakor Penanganan Kawasan Kumuh Tahun 2020 di ruang rapat Dinas PUPR Samarinda, Rabu (19/08/2020).

Sugeng mengatakan dalam mempercepat penanganan kawasan kumuh ini perlu kekompakan semua OPD, terlebih yang didalam Pokja Permukiman Kumuh Perkotaan (PKP). Perlu sinergitas dan jangan kedepankan ego sektoral. Jadi bukan hanya PR dari Perkim saja, tapi semua OPD terlibat. Karena penataan ini bukan hanya urusan fisik atau visual saja, tapi non fisik juga.

Lebih rinci Kepala Bidang Prasarana Wilayah (Praswil) Bappeda Samarinda Wahyuni Nadjar menjelaskan sebelumnya ada 539,18 hektar dengan indikator aturan yang lama, per tahun 2020 sudah tersisa 38,22 hektar. “Nah dengan aturan baru (Permen PU Nomor 14 Tahun 2018 tentang Indikator Kekumuhan) diidentifikasi ulang sesuai kriteria masing-masing, dimana hasilnya 32,29 hektar.

Inilah yang jadi PR lanjutan Pemkot. Untuk review SK kumuh dihitung dari sisa luasan kawasan kumuh lama ditambah luasan kumuh baru, ada sekitar 70,51 Ha. Ini kita ajukan ke pusat,” terang Yuni, biasa Wahyuni disapa.
Yuni yang juga Sekretaris PKP Samarinda menyebutkan untuk sisa kawasan kumuh 38,22 Ha terdiri dari 6 kawasan dan jumlah RT kumuhnya 51 RT. Kawasan itu sebutnya, kawasan Karang Mumus 1 terdiri sebanyak 26 RT dengan luas 8,72 Ha mencakup kelurahan Pelita, Bandara, Temindung Permai, Sungai Pinang Luar, Dadimulya dan Sidodadi. Kemudian kawasan Karang Mumus 2 terdiri 8 RT, luas 10,23 Ha mencakup Temindung Permai, Sempaja Selatan. Kawasan Muara (3 RT, 1,02 Ha, Teluk Lerong Ulu). Kawasan Karang Asam ( 5 RT, 2,33 Ha, Karang Asam Ilir dan Karang Anyar). Kawasan Sungai Kapih (6 RT, 10,19 Ha, Selili dan Sungai Kapih). Kawasan Mesjid (3 RT, 5,73 Ha, Kelurahan Tenun).

Sedangkan kawasan kumuh baru 2020 dengan luas 32,29 Ha terdiri 4 lokasi. Lokasi pertama Loa Janan Ilir (luas 5,85 Ha) di RT 11,12,13,14,15 kelurahan Simpang Tiga. Lokasi Kecamatan Sambutan (3,83 Ha) di RT 7 dan 24 kelurahan Sungai Kapih. Kecamatan Samarinda Ilir (21,43) di RT 16,17,18,30 kelurahan Sidomulyo, RT 17, 18, 23, 24, 25, 29, 30 kelurahan Sidodamai dan RT 6, 7, 8, 17, 19, 24, 28, 29, 30, 31, 32, 33 kelurahan Sungai Dama. Kecamatan Samarinda Ulu (1,18 Ha) di RT 37, 39 kelurahan Air Putih.

Terkait rakor dikatakan Yuni untuk menyelaraskan pemikiran OPD dalam penangangan kawasan kumuh. “Jadi bisa sama-sama bersinergi untuk menghasilkan manfaat bagi masyarakat, tanpa mengedepankan ego sektoral,” katanya.

Dicontohkannya dalam penanganan kawasan kumuh daerah perbukitan seperti Gunung Steling digarap keroyokan.  “Dinas Pariwisata , BPBD, DLH, PUPR, Dishub, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga bisa masuk. Jadi penanganan ini diselesaikan bareng-bareng. Sampai saat ini penanganan masih dikoordinir oleh Bappeda sebagai Ketua Pokjanya,” pungkas Yuni. (don/kmf-smd) https://www.niaga.asia/dari-539-hektar-kawasan-kumuh-samarinda-sisa-38-hektar

Pemukiman kumuh merupakan masalah yang dihadapi semua kota besar di Indonesia. Tak terkecuali Kota Samarinda. Telaah tentang kawasan kumuh pada umumnya mencakup tiga aspek. Pertama, kondisi fisik berupa bangunan dan sarana pendukungnya. Kedua, kondisi sosial ekonomi dan budaya komunitas yang bermukim di permukiman tersebut dan Ketiga, dampak kedua kondisi tersebut.

Oleh karena itu, setiap membicarakan kawasan kumuh selalu identik dengan kondisi yang mengiringinya yaitu padat dan juga miskin. Lingkungan permukiman kumuh dapat diidentifikasi sebagai lingkungan yang berpenghuni padat (melebihi 500 org per hektare), kondisi sosial ekonomi masyarakat yang rendah, jumlah rumahnya sangat padat dan ukurannya di bawah standar, sarana prasarana tidak memenuhi syarat teknis dan kesehatan serta hunian dibangun di atas tanah milik negara atau orang lain di luar perundang-undangan yang berlaku. https://kaltim.prokal.co/read/news/357011-menata-yang-kumuh-tanpa-menggusur-bisa.html

Membahas mengenai pemukiman kumuh, tidak bisa dilepaskan dari persoalan kepemilikan rumah. Rumah merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Rumah memiliki fungsi untuk melindungi manusia dari berbagai ancaman luar. Tanpa rumah, hidup manusia juga menjadi tidak layak. Karena, rumah juga berfungsi sebagai tempat kegiatan belajar-mengajar, ekonomi, sosial, ibadah, rekreasi, pengobatan, dan sebagainya.

Akan tetapi, memiliki rumah di era sekarang masih sangat sulit. Bagi kalangan masyarakat dengan tingkat perekonomian menengah ke bawah, rumah adalah barang mewah. Walhasil, rumah menjadi kebutuhan pokok yang tak terjangkau. 

Dalam hukum Islam, rumah termasuk kebutuhan primer bagi setiap individu rakyat selain sandang dan pangan. Kebutuhan primer tersebut menjadi tanggung jawab negara. Rasulullah SAW sebagai kepala negara hingga para khalifahnya telah menetapkan dan menjalankan kebijakan ini.

Mekanisme pemenuhan kebutuhan rumah menurut hukum Islam melalui 3 tahap sesuai dengan kebutuhan dan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan mekanisme tersebut. Pertama, negara memerintahkan semua kaum lelaki (yang mampu) untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri. Selain itu, negara juga memfasilitasi mereka untuk dapat bekerja, misalnya dengan menciptakan lapangan kerja, ataupun memberikan bantuan lahan, peralatan dan modal. Dengan demikian, perintah dan fasilitas untuk bekerja tersebut memungkinkan mereka memenuhi semua kebutuhan primernya bahkan kebutuhan sekunder dan tersiernya.

Kedua, mereka yang tidak mampu membeli, membangun, atau menyewa rumah sendiri, entah karena pendapatannya tidak mencukupi atau memang tidak mampu bekerja, maka pada gilirannya akan menjadi kewajiban kepala keluarga, ahli waris dan kerabatnya, sebagaimana aturan (hukum) Islam dalam menyantuni makanan dan pakaiannya. Allah SWT berfirman: “Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal.” (QS. Ath-Thalaq : 6); dan “Dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai.” (QS. At-Taubah: 24). Sedangan Rasulullah SAW bersabda: “Mulailah memberi nafkah dari orang-orang yang menjadi tanggunganmu, ibumu, ayahmu, saudara laki-lakimu, dan saudara perempuanmu; kemudian kerabatmu yang jauh,” (HR. Nasa’i).

Ketiga, jika tahap Pertama dan Kedua tidak bisa menyelesaikannya, maka giliran selanjutnya adalah negara yang berkewajiban menyediakan rumah. Negara bisa menjual (secara tunai atau kredit dengan harga terjangkau), menyewakan, meminjamkan atau bahkan menghibahkan rumah kepada orang yang membutuhkan. Sehingga, tidak ada lagi individu rakyat yang tidak memiliki atau menempati rumah. http://www.dakta.com/news/5376/pengelolaan-perumahan-di-dalam-sistem-islam

Darimana negara memperoleh sumber dananya? Untuk menyokong negara dalam membiayai kebutuhan pokok rakyatnya, Islam telah menentukan diambil dari harta baitul maal, yaitu pos keuangan yang bersumber dari fai’, kharaj, dan harta kepemilikan umum. Kepemilikan umum dalam Islam meliputi kekayaan alam yang sifatnya tidak dimiliki oleh perorangan karena jumlahnya yang tidak terbatas atau diumpamakan seperti air yang mengalir. 

Adanya pos-pos khusus untuk pemasukan negara termasuk hasil pengelolaan kekayaan alam yang berlimpah ruah sebagaimana Islam mengaturnya menjadikan negara punya cukup dana untuk menanggung kebutuhan pokok rakyat. Bahkan bukan hanya itu, pos kepemilikan umum sangat cukup untuk membiayai kebutuhan dasar lainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. 

Apabila dalam kondisi mendesak kas negara mengalami kekosongan atau baitul mal kosong, maka negara berhak menarik pajak yang hanya diberlakukan bagi para kalangan Muslim yang mampu saja. Selain hanya berlaku bagi kaum kaya, jangka waktunya pun sementara saja, sampai terpenuhinya kebutuhan pendanaan negara, yang jika sudah tercapai maka penarikan pajak pun dihentikan. Bandingkan dengan pajak dalam sistem sekarang, justru dijadikan tumpuan sumber pendapatan negara, ditarik terus-menerus, berlaku bagi semua lapisan masyarakat, Muslim maupun non-Muslim. 

Islam juga membolehkan untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan tersebut, negara berhutang kepada orang kaya seiring menunggu selesainya penarikan pajak kepada kaum muslimin. Demikian disampaikan Al-Alamah Taqiyuddin An-Nabhani dalam Kitab Nidzomul Iqtishody fil Islam pada Bab Baitul Maal. https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1385215841672176&id=954316118095486

Sepanjang sejarah peradaban Islam yang gemilang, dimana Islam menjadi pedoman dalam segala lini kehidupan rakyat dengan kesempurnaan aturan yang ada di dalamnya dan diterapkan dalam bingkai negara, rekaman jejak emas masa peradaban Islam hingga sekarang masih ada dan bahkan bisa ditemukan dalam banyak catatan-catatan sejarah yang ditulis oleh orang non-Muslim. 

Bukti sejarah yang sangat nyata adalah ketika melihat kota-kota besar Islam seperti Baghdad, Damaskus, Cordoba, Granada dan Sevilla. Dari situ akan diketahui bagaimana keadaan kota-kota ini yang merupakan pusat-pusat peradaban Islam pada masanya masing-masing. 

Dalam hal infrastruktur bisa terlihat dalam bagaimana tata ruang kota-kota besar pada era khilafah. Utamanya terdapat di dalam kota-kota besar Islam pada waktu itu yang pada waktu menjadi satu bentuk keagungan tersendiri dibandingkan peradaban lainnya, khususnya barat. 

Pemukiman didesain sesuai dengan visi dan misi hidup muslim dan negara. Tidak saja tertata rapi, bersih, asri, dan resik, namun berlimpah dengan air dan di penuhi taman-taman serta penerangan yang memadai dan jalan-jalan yang nyaman dilalui. Bahan bangunan dan konstruksinya dirancang sesuai karakter alam seperti gempa.

Penataan ruangan dan jumlahnya disesuaikan tuntutan syariat. Sehingga benar-benar memberikan rasa aman dan nyaman bagi penghuninya. Sehingga Sejarawan Barat, Erbstosser, menyatakan bahwa tentara salib (1095-1291) begitu terkesan dengan ukuran dan struktur kota.
Riset-riset tentang transportasi berkembang pesat, dan riset pesawat terbang sudah dimulai. Bersamaan dengan itu para khalifah menggunakan teknologi terkini dalam pengadaan moda transportasi dan infrastrukturnya, di laut maupun di darat.

Jalan-jalan raya yang luas dan nyaman tersedia hingga ke pelosok negeri. Moda angkutan tersedia secara memadai dan diberikan secara cuma-cuma, dengan jaminan keamanan, kenyamanan, dan aspek kemanusiaan yang tinggi. Diungkapkan sejarawan bahwa tersedia jalan raya beraspal yang luas dan panjang hingga ke luar kota, dilengkapi lampu-lampu penerang dari minyak sayur.

Di Cordova, jalan setapak untuk jarak beberapa mil diterangi dengan cemerlang, beraspal, dan dijaga oleh petugas negara. Tidak lama setelah penemuan teknologi perkeretaapian Khalifah Sultan Hamid II pada tahun 1900 memberikan yang terbaik bagi publik. Berupa jalur kereta api Hejaz railway yang menyatukan dunia Islam, menghubungkan Damaskus ke Madinah, mempersingkat waktu tempuh dari 40 hari menjadi 5 hari. https://www.muslimahnews.com/2019/12/21/keniscayaan-sejahtera-di-bawah-naungan-khilafah-2-2/

Demikian solusi tanpa rusuh pengelolaan pemukiman di dalam sistem Islam yang agung. Sistem yang berasal dari Dzat Yang Agung. Sistem yang ketika diterapkan dalam level negara membuat penguasanya menyadari akan sabda Rasulullah SAW : "Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (HR. Al-Bukhari). Wallahu’alam.
Previous Post Next Post