By : Evi Haryati,A.Md
Seruan Majalah Gerçek Hayat untuk kekhalifahan muncul dalam majalah terbitan tanggal 27 Juli. Seruan ini telah memicu kemarahan di media sosial. Majalah itu juga memuji keputusan Presiden mengubah ikon Istanbul Hagia Sophia menjadi masjid.
Di halaman sampulnya bertuliskan, "Hagia Sophia dan Turki bebas sekarang". Tak hanya itu, terdapat beberapa kalimat lain yang berbunyi, "Jika tidak sekarang, kapan? Jika bukan Anda, siapa? Berkumpul bersama untuk kekhalifahan". (REPUBLIKA.CO.ID Selasa 28 Jul 2020)
Pengacara asosiasi menuntut agar kolumnis pro pemerintah Yeni Akit, Abdurrahman Dilipak, yang membagikan sampul majalah di media sosial, dan pemimpin redaksi Gerçek Hayat, Kemal Özer, menghadapi tuduhan yang diberikan.
Adapun tuduhan yang diberikan adalah, menghasut orang-orang untuk melakukan pemberontakan bersenjata melawan Republik Turki, menghasut masyarakat membentuk kebencian dan permusuhan dan menghasut orang untuk tidak mematuhi hukum.
Kaum muslim menyambut bahagia pembukaan Hagia Sophia menjadi masjid, semoga bisa melangkah sedikit lagi menuju penegakkan khilafah.
Juru bicara Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pada Senin (27/7/2020) meyakinkan kaum skeptis bahwa Turki akan tetap menjadi republik sekuler setelah majalah Gercek Hayat menimbulkan kegemparan dengan menyerukan pembaruan kekhalifahan.
“Republik Turki adalah negara yang demokratis dan sekuler berdasarkan aturan hukum,” kata Juru Bicara Omer Celik dalam sebuah cuitan di Twitter. “Republik kita adalah payung bagi kita semua berdasarkan kualitas-kualitas ini”.
“Republik Turki akan berdiri selamanya. Dengan doa dan dukungan dari negara kita, dan di bawah kepemimpinan presiden kita, kita berjalan menuju apa yang disebut tujuan yang tak terjangkau untuk negara dan kemanusiaan kita. Republik kita akan terus bersinar,” tambahnya sebagaimana dilansir All Araby.(Warta Ekonomi.co.id Rabu, 29 Juli 2020)
Begitu membanggakan sekuler sehingga berpindah kepada islam enggan bahkan tidak mau,ada apa dengan islam dan kekhilafahan??
Majalah Gerçek Hayat menjadi salah satu influencer Khilafah yang terbaik di Turki. Seruan kembali ke Khilafah menggema walaupun akhirnya diadukan menurut hukum pidana oleh pihak sekuler Turki. (trenopini.com 29 Jul, 2020)
Anehnya seruan kembali ke Khilafah dianggap oleh kubu sekuler sebagai ajakan yang tidak dapat diwujudkan dalam hukum. Dan sebagai bentuk ajakan pemberontakan bersenjata.
Padahal dalam Sejarahnya Daulah Islam yang menjadi cikal bakal Khilafah didirikan tanpa pertumpahan darah. Rasulullah SAW mampu mendirikan Daulah dan dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin dengan cara damai.
Mengapa harus dituduh mengangkat senjata? Sedangkan ajakannya bersifat seruan dan nasihat politik bahwa Khilafah dan kejayaan itu milik Kaum Muslimin. Kekhilafahan (Kepemimpinan Islam) dapat diraih dengan cara damai dalam bentuk perubahan total sistem.
Sifat hipokrit Sekuler Turki itu tak sekeras kepada seruan dan aksi pengembalian Hagia Sophia (Aya Sophia) dari musium menjadi Masjid. Tak berani pula menyerang Khatib yang memegang Pedang Penaklukkan Ustmani pada khutbah Jum'at pekan lalu (23/7/2020).
Kaum sekuler Turki juga tak begitu radikal menyerang film Sultan Muhammad Al Fatih, Abdul Hamid II dan Ertugrul yang menunjukkan kejayaan Kekhilafahan Islam Turki Islami. Diduga lembeknya kaum Sekuler terhadap segala yang berbau Islami karena menganggap Masjid Hagia Sophia dan Film-film Sultan Ustmani melambangkan nasionalisme Turki.
Turki yang sekuler ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Bangsa Turki adalah bangsa yang hebat yang pernah menundukkan dunia dengan kekuatan militernya. Padahal Sultan Muhammad Al Fatih menaklukkan Konstantinopel bukan karena seruan kebangsaan Turki tetapi karena motivasi agama.
Sang Sultan ingin mewujudkan Bisyarah Allah SWT dan Rasul-Nya sebagai Muslim atau Panglima terbaik yang menaklukkan Kota Terbaik kala itu yaitu Konstantinopel. Makanya Konstantinopel diganti dengan nama Islambul (Full Of Islam atau Penuh dengan Islam) bukan Full of Turky (Penuh dengan Kebangsaan Turki).
Sultan-sultan selanjutnya dalam Kekhilafahan Turki Ustmani menaungi 2/3 dunia dengan cahaya Islam. Warga negaranya menjunjung tinggi Hukum Islam dan berasal dari berbagai latar belakang Suku, Agama dan Ras.
Nasionalisme atau Kebangsaan Turki belum dikenal saat itu hingga datangnya serangan politik dan kebudayaan dari Barat (Khususnya Inggris dan sekutunya). Kemudian mencapai titik klimaksnya pada era Mustafa Kemal Atturk (Pendiri Negara Sekuler Turki) meruntuhkan sistem Islam yang susah payah dibangun oleh Rasulullah SAW hingga Sultan Abdul Hamid II pada tanggal 3 Maret 1924..
Sikap sombong atas bangsa, merendahkan agama dan memisahkannya dari kehidupan digencarkan oleh Mustafa Kemal. Oleh karena itu, ketika seruan kembali kepada Khilafah direspon keras oleh sekuler Turki, hal ini bermakna bahwa Sekularisme adalah harga mati.
Sekularisme adalah ruh Turki Modern. Kembali kepada Khilafah bermakna ancaman bagi sekularisme. Khilafah tegak artinya hancurnya tatanan politik sekuler.
Kaum Muslimin akan kembali menyatukan agama dan kehidupan. Turki akan hilang identitas sekularismenya dan bagi Barat ini adalah ancaman. Sebab ajakan ke Khilafah bermakna kembali ke Islam. Turki Sekuler akan tinggal kenangan dan tak bisa lagi dikontrol oleh Amerika Serikat dan sekutunya pada zaman sekarang.
Bisa saja Turki menjadi pionir penyatuan negeri-negeri Kaum Muslimin yang akan bergerak membebaskan Masjid Al Aqsha Palestina. Dan mengganyang Negara Zionis Israel.
Tak ada Israel berarti hilangnya dominasi AS terhadap wilayah Timur Tengah dan Dunia. Turki Sekuler adalah negara idaman AS sedangkan Kekhilafahan Islam jika tegak di salahsatu negeri Kaum Muslimin adalah memulai persaingan adidaya baru.
Sekali lagi Barat berupaya memanfaatkan Kaum Sekuler Turki dengan berbagai dukungan politik maupun materi untuk menghambat seruan politik Kaum Muslimin lewat Khilafah. Barat tak ingin prediksi NIC terwujudkan dalam waktu dekat ini. Seruan ibadah boleh tetapi seruan politik haram bagi mereka.
Semoga Kaum Muslimin yang semakin sadar politik semakin giat menegakkan Khilafah. Baik itu di Turki, Palestina, Suriah, maupun 50 negeri Kaum Muslimin lainnya.