By : Rianny Puspitasari
(Ibu Rumah Tangga dan Pendidik)
Kisruh yang berkepanjangan. Itulah masalah yang sedang menimpa internal BPD (Badan Permusyawaratan Desa) Cimekar, Kecamatan Cileunyi. Berawal dari diberhentikannya salah satu anggota BPD, Rukmana, dengan tidak hormat dan tidak sesuai prosedur oleh BPD itu sendiri. Akibatnya, masalah ini berimbas pada terganggunya jalan Pemerintahan Desa Cimekar. Dari konflik ini pula, dampaknya sangat terasa merugikan keperluan masyarakat desa. Oleh karena itu, Forum Komunikasi (Forkom) RW atas kesadaran dan keinginan seluruh ketua RW dari seluruh Kadus, sepakat melayangkan surat “Mosi Tidak Percaya dan Mencabut Amanat” kepada Pengurus BPD Cimekar. (tugasbangsanews.com, 08/07).
Ombudsman perwakilan Jawa Barat akhirnya turun gunung untuk meyelesaikan masalah tersebut. Mereka kemudian mengumpulkan pihak-pihak terkait yang terlibat dengan kasus ini dan bersepakat untuk menyerahkan keputusan akhirnya pada Ombudsman. Ombudsman sendiri akan mengkaji terlebih dahulu setelah mengumpulkan dokumen dan diskusi hasil pertemuan tersebut.
Jika kita soroti, masalah internal yang terjadi dalam jajaran pengurus desa ini karena adanya perbedaan pendapat dan kepentingan. Pelayan umat yang harusnya mempunyai visi yang sama demi kemaslahatan masyarakat desa, namun lebih memilih untuk ‘memperpanjang’ masalah meski merugikan masyarakat banyak. Kasus semacam ini banyak kita temui, abainya individu terhadap amanah yang diberikan, atau tidak adanya rasa kepercayaan sehingga muncul rasa curiga karena berbeda kepentingan juga tidak jarang terjadi.
Inilah potret sistem demokrasi, yang jargonnya “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Nyatanya tidak mampu membentuk sebuah tabiat pengurusan kepentingan umat menjadi misi utama pelaksanaan amanahnya. Sistem yang dibuat oleh manusia ini nyatanya banyak menimbulkan masalah karena tidak berlandaskan pada aturan Sang Pencipta. Jargon yang didengungkan pun akhirnya hanya membuahkan pertanyaan, “rakyat yang mana?”
Sistem hidup sekulerisme membuat rakyat semakin jauh dari Islam, mereka lebih mendahulukan materi sebagai tujuan utama dalam pelaksanaan kehidupannya. Maka tidak heran jika dalam urusan pelayanan rakyat pun, penekanannya bukan pada bagaimana memudahkan urusan rakyat, tapi bagaimana meraup keuntungan pribadi atau kelompok dari posisi yang diduduki. Inilah tabiat sistem sekulerisme, manfaat dan materi menjadi tolak ukur aktivitas penganutnya.
Sungguh berbeda jauh dengan sistem Islam. Dimana sistem yang berasal dari Sang Pengatur ini akan membentuk individu yang bertakwa, amanah menjalankan tugas senantiasa disertai dengan rasa takut akan pertanggungjawaban di akhirat kelak. Ketakwaan ini pula yang akan mendorong jajaran pelayan umat untuk saling percaya, bekerjasama demi kemaslahatan umat, saling menasihati dalam kebaikan maupun pelanggaran terhadap hukum Allah Swt. Ruh yang terbangun di dalamnya adalah dorongan iman sehingga setiap individu di dalamnya begitu saling menjaga dalam ketaatan.
Abdullah bin Umar ra., putra Umar bin al-Khaththab ra., pernah melaporkan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab ra. memerintahkan pencatatan kekayaan para kepala daerah (wali), di antaranya adalah Saad bin Abi Waqqash ra. Jika ada kelebihan kekayaan, beliau memerintahkan untuk membagi dua; separuh untuk pejabat tersebut dan sisanya diserahkan ke baitulmal. (As-Suyuthi, Târikh al-Khulafâ’, hlm. 132). Kisah ini menunjukkan bahwa penguasa di dalam Daulah Islamiyah bertanggung jawab terhadap tugas dan amanah mereka. Tindakan itu dilakukan karena jabatan dan tugas dipandang sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan di sisi Allah SWT.
Sistem hidup yang benar ketika dilaksanakan oleh orang-orang yang tepat dan baik, akan menghantarkan pada selamatnya kehidupan dunia dan akhirat. Islam adalah satu-satunya sistem hidup yang benar, ketika dijalankan oleh orang-orang yang shalih dan bertakwa, akan mendatangkan keberkahan hidup dan menunjukkan jalan ke Surga-Nya.
Wallahu a’lam bishawab