Semangat Kemerdekaan dan Muharram, Wujudkan Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghaffur

Oleh : Desti Ritdamaya
Praktisi Pendidikan

Negeri Khatulistiwa ini dihampiri kekayaan alam yang luar biasa
Namun dikelola oleh orang lain
Rakyat hampir tak menikmatinya
Jika kekayaan alam ini belum bisa dikuasai negara
Jangan teriak merdeka !
Lebih baik diam dan berfikir
Malu kita

Kemiskinan dan pengangguran semakin meluas
Terasa berat untuk bisa hidup layak 
Bahkan harga-harga terus merangkak naik
Ditambah pajak yang kian mencekik 
Jika masih meluas kemiskinan
Jangan teriak merdeka
Lebih baik diam dan berfikir
Malu kita

Sepenggal puisi dari Dr Ahmad Sastra (Peneliti Islam Politik dan Peradaban) berjudul “Jangan Teriak Merdeka : Malu Kita”, menghentakkan pikir dan asa penulis. Apalagi setiap momen peringatan kemerdekaan dalam beberapa tahun terakhir, frasa “Sudahkah Indonesia Merdeka ?“ berseliweran di media massa dan sosial serta talkshow di layar kaca. Semakin besar tanya, betulkah atau relevankah frasa di atas dengan realitas lapangan ? 

Apabila menengok ke negeri seberang, yang masih dilanda konflik internal. Seperti Palestina, Suriah, Afganistan, yang sampai detik ini darah pun terus mengalir dari para korban. Maka hal yang wajib disyukuri dapat hidup di negeri gemah ripah loh jinawi. Diakui selama 75 tahun di negeri ini secara fisik sudah tidak ada lagi penjajahan. Setelah hampir 145 tahun para pahlawan, berjibaku menumpahkan keringat dan darah, mengusir para penjajah. Baik penjajah dari Perancis, Inggris, Belanda maupun Jepang. Para pahlawan yang mayoritasnya pemuda Islam dan ulama tersebut akhirnya pun berguguran sebagai syuhada. 

Cita-cita luhur founding fathers dalam proklamasi kemerdekaan tertuang dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945. Tanpa bermaksud melupakan jasa para pahlawan. Mengungkapkan realitas bahwa realisasi cita-cita luhur tersebut terutama oleh pemilik kekuasaan saat ini, semakin jauh di pelupuk mata. Diakui atau tidak, saat ini cita-cita luhur tersebut hanya sebatas konsep atau simbol seremonial kenegaraan. Belum dikonkretkan dalam tataran praktis. Realitas ini terpampang jelas di depan mata. Publik tidak akan bisa menutupinya. Menafikkan realitas ini atau menutup mata telinga dari suara yang mengungkapkannya, justru menunjukkan ketidakpedulian terhadap nasib negeri.  

Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia bermakna negara berkewajiban melindunginya dari berbagai ancaman marabahaya fisik maupun non fisik. Baik datang dari dalam maupun luar negeri. Sehingga terjamin keselamatan seluruh tumpah darah Indonesia. Tetapi realitasnya saat ini. Sudah tidak terhitung korban meregang nyawa akibat menenggak miras. Bahkan korbannya tidak hanya dari kalangan dewasa. Tetapi menyentuh anak-anak seumuran jagung. Kematian bocah SD akibat miras menjadi headline berita media nasional. Akar masalahnya adalah dilegalkannya miras oleh pemerintah untuk diambil pajaknya sebagai kas negara. Dengan dalih kadar alkoholnya rendah dan dibatasi penyebarannya. Miris.

Indonesia juga darurat narkoba. Data dari BNN pengguna narkoba tahun 2019 tembus angka 3,6 juta. Lemahnya penegakan hukum dan mudahnya hukum dibeli, menjadikan Indonesia syurga bagi pengedar narkoba. Negara ‘gagal’ melindungi anak negeri dari banjirnya barang haram dan perusak tersebut. Pun kehormatan anak negeri yang dipandang sebelah mata oleh negara luar. Kasus jenazah ABK Indonesia yang bekerja di kapal China, dilarung ke laut tanpa perasaan menjadi bukti. Dugaan kuat sebelumnya dipekerjakan secara kasar dan disiksa. Publik pun mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menanganinya. Karena kejadiannya sudah berulang kali terjadi. 

Tidak hanya itu, nasib memprihatinkan juga dialami oleh Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Hidup jauh dari keluarga, dan di luar negeri ditempatkan sebagai warga tanpa kelas. Tenaga mereka ‘diperas’ hanya untuk mendapat upah yang tidak sebanding dengan penderitaan yang dialami. Pun upah tersebut juga harus dipotong untuk devisa negara. Puluhan tahun kebijakan ini negara berlakukan, hanya untuk menekan angka pengangguran dalam negeri yang tinggi. Tetapi perlindungan minim dari negara, menyebabkan para TKI kerap tersandung kasus yang akhirnya nyawa pun tergadaikan.

Dada juga sesak melihat remaja dikepung industri pornografi pornoaksi baik dari layar kaca, internet maupun media sosial. Industri ini menyuguhi tayangan dengan menu pacaran, pergaulan bebas, gaya hidup hedonis dan sarkasme tanpa filter. Dampaknya terjadi degradasi moral remaja secara massif. 37 pasangan ABG digerebek disertai dengan barang bukti obat kuat dan alat kontrasepsi; maraknya prostitusi online; meningkatnya pengajuan dispensasi nikah remaja yang hamil duluan di berbagai daerah adalah bukti degradasi moral mengancam masa depan bangsa. 

Memajukan kesejahteraan umum maknanya negara berkewajiban menjamin kesejahteraan ekonomi rakyat. Sehingga tidak terjadi kesenjangan sosial dan kemiskinan di negara. Tetapi realitasnya saat ini. BPS melansir jumlah penduduk miskin per Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang. Angka ini meningkat 9,78 % dibandingkan tahun lalu dengan garis kemiskinan pada pendapatan Rp 454.652,00/kapita/bulan (bps.go.id/juli 2020). Apabila merujuk standar bank dunia yaitu 2 dolar perhari, angka kemiskinan akan melonjak lagi menyentuh tiga digit atau hampir 100 juta jiwa. Apalagi impak dari pandemi Covid-19, angka pengangguran bertambahnya 9 juta jiwa tahun ini (kontan.co.id, 10/07/2020). 

Di tengah kesulitan hidup pada masa pandemi, rakyat harus menanggung beban kenaikan iuran BPJS kesehatan hinga 100 % dan melonjaknya tagihan listrik. Padahal keduanya adalah kebutuhan dasar bagi rakyat. Belum lagi mahalnya harga kebutuhan pokok lainnya karena semuanya dikenai pajak. Pajak menjadi sumber pendapatan pertama dan utama negara. Karena 80 % aset negara termasuk Sumber Daya Alam (SDA) dikuasai asing. Ketika defisit APBN semakin menganga dan sumber pajak tidak bisa diandalkan, akhirnya pemerintah kembali menambah utang luar negeri. Akhir Mei 2020 utang Indonesia sudah mencapai Rp. 5868,15 triliun  dengan kurs Rp.14.500,00 (kompas.com, 17/07/2020). Indonesia menjadi ajang eksploitasi kekayaan dan pemaksaan kepentingan politik/ideologi oleh negara/lembaga kreditur akibat utang yang menggunung tersebut.

Apalagi berbicara dunia pendidikan yang seharusnya menjadi sarana negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Berbagai permasalahan melilit dan tidak kunjung terselesaikan. Seperti rendahnya kualitas output, degradasi moral pelajar, sarana prasarana yang belum memadai, bongkar pasang kurikulum, kompetensi pendidik yang terus dipertanyakan, dan lain sebagainya. Termasuk masalah kesejahteraan guru terutama honorer. Ada jutaan guru berstatus honorer yang sangat menyedihkan nasibnya. Mereka berada dalam situasi dilematis, antara pengabdian dan kebutuhan hidup. Di Sumbar masih ada guru yang digaji 50 ribu/bulan. Senasib dengan guru di NTT yang hanya menerima gaji 300 ribu/bulan dan terpaksa dipotong biaya transportasi 120 ribu/bulan. Juga guru di Pandeglang terpaksa tinggal di WC karena hanya bergaji 350 ribu perbulan (www.detik.com, 15/07/2019). 

Apalagi di masa pandemi sekarang. Permasalahan kurikulum belajar daring; akses internet terutama daerah pinggiran; keuangan orang tua dalam pembelian kuota internet; dan lain sebagainya menjadikan permasalahan pendidikan semakin runyam. Berbagai media melansir kisah sedih seorang ayah di Garut yang terpaksa mencuri HP hanya untuk pembelajaran daring anaknya. Siswa SD di Solo terpaksa berjualan cilok, juga sejumlah siswa di Surabaya berjualan koran hingga malam hari hanya untuk membeli paket internet untuk belajar online. Belum lagi bermunculannya klaster Covid 19 dari sekolah se-Nusantara. Setelah diperbolehkannya daerah di zona hijau dan kuning oleh Mendikbud untuk melakukan pembelajaran tatap muka di sekolah. 

Ya ini adalah realitas negeri tercinta. Realitas ini menunjukkan bahwa kondisi Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Negeri ini memang sudah merdeka secara fisik, tetapi masih terjajah secara non fisik. Yaitu dari sisi ideologi yang berimbas keterjajahan ekonomi, politik, hukum, sosial dan lain sebagainya. Mengapa semua ini terjadi ?

Akar Masalah
Bagi yang mencerna ‘keterjajahan’ non fisik ini secara ‘amiq (mendalam) dan mustanir (cemerlang), akan memahami akar masalahnya adalah sekulerisasi. Yaitu fashluddin ‘anil hayah (pemisahan agama Islam dari kehidupan). Dalam kehidupan sekuler, aturan Islam hanya ditempatkan dalam kerangka hubungan manusia dengan Allah SWT saja (hamblumminallah) atau aturan untuk diri sendiri (hablum bin nafs). Seperti ibadah shalat, puasa, zakat, haji, makanan, minuman, cara berpakaian dan lain sebagainya. Sedangkan hubungan sesama manusia (hablummminannas), aturannya bersumber dari ideologi kapitalisme. Tampak dari sistem ekonomi yang kapitalistik, politik dan pemerintahan yang berbasis demokrasi, aturan sosial pergaulan yang liberalistik, hukum dari warisan penjajah Belanda dan lain sebagainya. 

Di negeri yang mayoritasnya muslim ini, berbagai permasalahan publik diselesaikan tidak merujuk pada syari’at Islam. Bahkan kaum muslim merasa tidak berdosa ketika mengabaikan syari’atNya. Akhirnya solusi yang ditawarkan tidak sesuai akar masalah dan kerap kali menimbulkan masalah baru yang lebih pelik. 

Kehidupan sekuler ini menafikkan fitrah manusia untuk menjalankan visi misi hidupnya sebagai hamba Allah SWT. Yaitu keberadaannya di dunia hanya untuk beribadah kepadaNya. Makna ibadah sebenarnya adalah taat kepada Allah SWT, tunduk dan patuh kepadaNya serta terikat dengan aturan agama yang disyari’atkanNYa. Akibat menyalahi fitrah ini, kehidupan manusia di dunia menjadi sengsara, menderita dan tidak mendapat keberkahanNYa. 

Merujuk pada histori, sekulerisasi ini bukanlah dari peradaban Islam. Tapi lahir dari rahim peradaban Barat. Di Eropa terjadi konflik pelik antara pihak gereja-raja dengan para filosof/cendekiawan yang menolak hegemoni mereka. Berabad-abad lamanya pihak gereja berkolaborasi dengan raja menguasai ranah publik. Setiap hal yang bukan berasal dari kitab suci mereka dan kepentingan raja dianggap salah. Terjadi ‘penindasan’ oleh agama dan kekuasaan saat itu, sehingga Eropa saat itu berada dalam masa kegelapan (dark age). Ilmu pengetahuaan dikekang. Terbukti banyaknya para ilmuwan dan filsuf yang dihukum mati saat itu, jika menyuarakan hal yang bertentangan dengan gereja-raja. Sehingga para cendiakawan/filsuf mulai skeptis terhadap hal-hal yang berbau agama. Mereka mulai bersuara untuk berlepas diri dari agama jika Eropa mau maju. Puncaknya pada abad 19. Suara filsuf/cendiakawan diaminkan masyarakat dan akhirnya diambil jalan tengah. Yaitu negara tetap mengakui agama, tetapi agama tidak boleh mencampuri urusan publik. Seluruh masyarakat Eropa saat itu harus menghilangkan simbol-simbol agama dalam kehidupan publik.

Pemikiran sekuler dan ideologi kapitalisme ini lantas dibawa oleh Eropa dan Amerika ketika ‘menjajah’ di negeri-negeri jajahan mereka. Agar negeri jajahan tetap berada dalam orbit kekuasaan mereka. Termasuk di Indonesia tercinta. Jejak sekuler dan ideologi kapitalisme menancap kuat di negeri ini, walaupun penjajahnya sudah pergi. Sayang beribu sayang. Seharusnya ketika penjajah pergi, anak negeri wajib mengenyahkan setiap pemikiran apapun yang dibawa oleh penjajah agar tidak terjajah lagi.

Solusi Islam
‘Keterjajahan’ non fisik di negeri ini, mengingatkan penulis dengan kondisi masyarakat Arab jahiliyah sebelum Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul. Kemusyrikan (penyembahan berhala), riba, perzinahan, minum khamar, kezaliman, kecurangan, pembunuhan dan sebagainya sudah menjadi kebiasaan. Kehidupan jahiliah ini di back up dan dipertahankan secara sistemik oleh pemilik kekuasaan terutama pembesar kafir Quraisy saat itu. Pembesar Quraisy paham benar apabila masyarakat Mekkah menerima dakwah Islam, maka jabatan, kehormatan dan sumber ekonomi (kekayaan), yang mereka peroleh dari kehidupan jahiliah ini akan sirna. Mereka tidak ingin kehilangan itu semua. Walaupun mereka tahu bahwa yang didakwahkan Rasulullah SAW adalah haq (kebenaran). Tetapi mereka mati-matian menolak dakwah tersebut. Dakwah Islam di Mekkah pun tidak berkembang. 

Setelah peristiwa Isra’ dan Mi’raj, serta bai’at Aqabah 1 dan 2 dari kaum Anshar terhadap Rasulullah SAW, Allah SWT menurunkan wahyu untuk hijrah ke Madinah. Hijrah ini memang semata-mata memenuhi perintah Allah SWT untuk melanjutkan dan mengembangkan dakwah Islam. Masyarakat Madinah menerima hangat dakwah Rasulullah SAW. Mereka mencintai Allah SWT dan RasulNya. Kecintaan tersebut diwujudkan dengan tunduk dan patuh pada syari’at Islam. 

Selama di Madinah, Rasulullah SAW berperan sebagai kepala negaranya, menerapkan syari’at Islam secara kaffah. Semua permasalahan kehidupan masyarakat, aturannya bersumber dari syari’at Islam. Akhirnya masyarakat jahiliah Arab menjadi masyarakat Islam yang memiliki peradaban luhur karena menerapkan hukum-hukum Allah SWT. Artinya dengan hijrah kekufuran sirna digantikan keimanan. Kejahiliahan lenyap digantikan kemuliaan dan keagungan syari’at Islam. Hijrah menjadi titik balik kembalinya manusia pada fitrahnya. Bahkan hijrah menjadi starting point peradaban Islam menuju puncak kejayaan. Begitu pentingnya momentum hijrah menjadi alasan kuat Khalifah Umar Bin Khattab ra dan shahabat lainnya, meletakkannya sebagai awal penanggalan hijriah (1 Muharram).

Berkaca dari sirah Rasulullah SAW. Keterjajahan hanya akan hilang apabila negeri ini hijrah dengan meninggalkan sekulerisasi yang bertentangan dengan aqidah Islam. Bersegera tanpa ragu untuk menerapkan syari’at Islam secara kaffah. Inilah kunci utama agar negeri ini diridhai Allah SWT dan mendapat keberkahan dariNya. Tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat. Sehingga mampu bermetamorfosis menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghaffur (negeri yang baik dengan Rabb Yang Maha Pengampun). Allah SWT berfirman dalam surat Al A’raf ayat 96.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا
كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ
Artinya : Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
Wallahu a’lam bish-shawabi.
Previous Post Next Post