Seharusnya Nusantara Berterimakasih Kepada Khilafah

Oleh : Elfia Prihastuti, S.Pd
Praktisi Pendidikan dan Member AMK

Teori Crawford menyatakan, Islam langsung dari Arabia, alasannya adalah karena kaum muslimin alam Melayu berpegang kepada mazhab Syafi'i yang lahir dari semenanjung Arab, tepatnya di Hadramaut. Meskipun demikian ia menyarankan bahwa interaksi penduduk Nusantara dangan kaum muslimin yang berasal dari pantai timur India juga merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sementara itu Keyzer beranggapan  Islam datang dari Mesir, karena Mesir merupakan negeri yang bermazhabkan Syafi’i yang paling tua.

Teori semacam ini juga pernah dikemukakan oleh Hamka dalam Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia Tahun 1962. Menurutnya Islam langsung datang dari Arab, bukan melalui India, bukan pula pada abad ke 11 malainkan pada abad pertama Hijrah/VII Masehi. 

Satu fakta kita dapati dari teori tersebut, bahwa ada sebuah lintasan sejarah yang menghubungkan negeri berpenduduk mayoritas umat Islam ini (87 persen) dengan kekhilafahan Islam sebagai negara adidaya saat itu.

Adanya hubungan tersebut sejalan dengan pernyataan Prof. H. Uka Tjandrasasmita, Sejarahwan dan Guru Besar UI, berdasarkan berita Tome Pires (1512-1515), sekitar awal abad ke 16 dan 17 M di Kesultanan Aceh Darussalam telah terjadi pertukaran baik dagang maupun diplomatik, antara Istanbul dan Aceh. Keduanya selalu bersekutu untuk memerangi Portugis dan Kompeni Belanda.

Ir. Kusman Sadik, M.Si, Dosen Pascasarjana IPB Bogor, juga memberi uraian menarik terkait interaksi Nusantara dengan Kekhilafahan. Ketika Khilafah Utsmaniyah pada 3 Maret 1924 dibubarkan oleh Mustafa Kemal Attaturk, umat Islam di negeri ini memberikan respon. Dalam kongres Al-Islam Hindia ketiga di Surabaya tanggal 24-27 Desember1924 yang diikuti 68 organisasi Islam di penjuru Indonesia, menghasilkan suatu keputusan penting yaitu melibatkan diri dalam pergerakan khilafah dan mengirimkan utusan yang harus dianggap sebagai wakil umat Islam Indonesia ke kongres dunia Islam.

Memang, perkembangan Islam di Indonesia pernah didapatkan saat belajar pelajaran IPS di SMP. Tetapi sebatas tentang nama-nama raja, penggantinya, tahun pemerintahannya, akhir pemerintahannya dan hal semisal lainnya. Sedangkan gambaran sejarah tentang sepak terjang dakwah hingga Islam menjadi agama mayoritas di antero Nusantara seolah menjadi puzzle yang hilang dalam lintasan sejarah. Nampaknya, meminjam istilah  Ustadz Ismail Yusanto, ada upaya pengaburan dan penguburan sejarah untuk para generasi. 

Aroma fobia akut pada kebenaran sejarah yang mampu menggiring kesadaran umat Islam pada persatuan dan kebangkitan jelas terasa. Jiwa semacam itu dalam sepanjang lintasan sejarah hanya dimiliki kaum penjajah. Penguasa negeri ini yang merupakan kepanjangan tangan penjajah, tentu akan melakukan upaya menyembunyikan kepingan sejarah tersebut. Akan tetapi, serapi apapun menyembunyikannya, jejak-jejak kekhilafahan Islam terlanjur membekas di bumi Nusantara.

Seharusnya negeri ini berterimakasih pada khilafah. Sebab wilayah Nusantara yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini, diperjuangkan umat Islam dengan dorongan pemahaman mengusir penjajah dari negeri muslim. Pemahaman tersebut terlahir dari pengaruh dakwah yang dilakukakan di Nusantara. Umat Islam di negeri Zamrud Khatulistiwa ini juga patut bersyukur atas nikmat keimanan yang bersemayam dalam jiwa. Itulah keberkahan hidup yang tiada tara. 

Dengan demikian eksistensi khilafah sebagai sistem kepemimpinan Islam yang memiliki peran menjaga agama dan mengatur urusan dunia serta menyebarkan dakwah Islam ke seluruh dunia menjadi sesuatu yang dibutuhkan umat Islam di penjuru dunia. Khusus di Nusantara secara historis cukup banyak catatan sejarah yang menulis peran khilafah dalam mendakwahkan dan menjaga Islam di Nusantara.

Namun, sejarah yang ada bukan sekadar romantisme. Dengan menemukan penggalan sejarah yang lengkap mendorong kita untuk memperjuangkan keberadaan khilafah. 

Dalam surat al-Baqarah ayat 208, Allah Swt. berfirman :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu."

Dalam rangka memenuhi kewajiban tersebut, dibutuhkan sarana negara yang menerapkan sistem Islam, yaitu Daulah Khilafah Islamiyah. Maka secara normatif kaum muslimin memiliki keharusan memperjuangkan keberadaannya. Hal ini didasarkan pada kaidah hukum syara' :

مَا لاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

“Perkara wajib yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka perantara itu menjadi wajib.”

Wallahu a'lam  bishshawab.
Previous Post Next Post