Resesi di Depan Mata, Masih Berharap Pada Sistem Kapitalis ?

Oleh: Agustinah Amalia 
(Mahasiswi)

Wabah virus Corona atau Covid 19 telah membuat ketakutan nyata di seluruh penjuru dunia. Tak hanya berhasil membuat genting pada bidang kesehatan yang telah menelan ribuan korban jiwa, melainkan membawa pula dampak luar biasa pada perekonomian dunia termasuk di tanah air. Penyebaran virus tersebut yang kian meluas mengguncang banyak bursa saham di dunia yang mengakibatkan indeks saham mengalami penurunan tajam.

Lalu bagaimana dengan kondisi ekonomi Indonesia? Saat ini rupiah tertekan di hadapan dolar AS yang menyebabkan melemahnya nilai rupiah pada level Rp 13.865 (terus berubah). Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II-2020 sebesar minus 5,32 persen dibandingkan triwulan II-2019, atau year on year (yoy). Dibandingkan dengan triwulan I-2020, atau quarter to quarter (qtq), angkanya minus 4,19 persen. (Rabu, 5/8/2020)
Lihat: https://money.kompas.com/read/2020/08/06/122846926/pertumbuhan-ekonomi-minus-532-persen-sekali-lagi-tolong-kendalikan-pandeminya?page=all

Kemerosotan yang terjadi pada perekonomian Indonesia berbanding lurus dengan situasi perekonomian yang terjadi di negara lainnya. Yang menimbulkan efek domino dari masalah kesehatan merambat hingga masalah ekonomi dan sosial. Sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi negatif pada kuartal II-2020 akibat dari perlambatan aktivitas perekonomian imbas pandemi virus Corona. Sebagaimana yang dikatakan oleh Direktur Eksekutif Center Of Reform on Economic Mohammad Faisal, beliau mengatakan “Proyeksi pertumbuhan ekonomi negatif tersebut mengingat masih adanya peningkatan kasus positif virus corona atau Covid 19, serta masih diberlakukannya pembatasan social berskala besar (PSBB)”.
Lihat: https://katadata.co.id/agungjatmiko/finansial/5f2908ce5195a/pertumbuhan-ekonomi-diramal-minus-6-indonesia-masuk-resesi-teknikal
Semenjak diberlakukannya PSBB hampir di seluruh wilayah Indonesia menyebabkan transaksi ekonomi turun drastis. Pengamat Ekonomi Institut Kajian Strategis Universitas Kebangsaan RI Eric Sugandi mengatakan negatifnya pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada kuartal II-2020 membuat Indonesia otomatis masuk kedalam resesi teknikal. 

Resesi yang melanda sebuah Negara terkhusus di Indonesia ditandai dengan meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan, turunnya daya beli masyarakat, dan melemahnya neraca perdagangan. Di sisi lain kebijakan pemerintah yang serba prematur tidak bisa segera mengendalikan sebaran virus. Alhasil mau tidak mau beberapa daerah memberlakukan pengetatan kembali berupa PSBB  untuk menekan sebaran virus.

Seperti apa yang terjadi saat ini di Bogor. Pemerintah Kota Bogor memperpanjang lagi pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar pra-adaptasi kebiasaan baru (PSBB Pra-AKB) selama sebulan mulai 4 Agustus hingga 3 September 2020. Sebagaimana yang disampaikan oleh Wali Kota Bogor, Dedi A Rachim yang mengatakan pihaknya memutuskan memperpanjangn PSBB Pra-AKB dengan pertimbangan penyebaran Covid 19 di Kota Bogor yang masih fluktuatif. (Selasa, 4/8/2020)
Lihat: https://republika.co.id/berita/qejn2p328/alasan-bogor-perpanjang-lagi-psbb-praakb

Lalu bagaimana dampak yang diberikan kepada masyarakat jika Indonesia dan dunia mengalami Resesi? Dampak tersulit yang akan dihadapi masyarakat dalam situasi resesi adalah meningkatknya angka pengangguran secara tajam. Dan dampak lanjutan yang diberikan adalah meningkatnya angka kemiskinan dan kelaparan. Apalagi ditambah dengan diberlakukannya PSBB yang masih berlangsung di beberapa wilayah di Indonesia, yang membuat masyarakat terbatas beraktivitas di luar rumah sehingga daya beli pun menurun, juga karena berkurangnya bahkan hilangnya  pendapatan terutama bagi keluarga miskin dan rentan di sektor informal.

Bank Indonesia pun melaporkan adanya penurunan konsumsi rumah tangga. (https://bisnis.tempo.co/read/1339205/bank-indonesia-konsumsi-rumah-tangga-dan-investasi-turun) Selain itu diperkirakan ada 7 juta rumah tangga kelompok buruh/karyawan yang termiskinkan, sehingga pengangguran akan bertambah 25 juta orang akibat kegiatan usaha terhenti dan tidak ada pekerjaan untuk pekerja bebas. Dalam survei online yang dilakukan oleh Komnas Perempuan tentang Perubahan Dinamika Rumah Tangga dalam Masa Pandemi Covid 19 yang berlangsung pada April hingga Mei 2020, didapatkan bahwa perempuan adalah salah satu kelompok yang rentan. Terutama yang berlatar belakang kelompok penghasilan kurang dari 5 juta rupiah per bulan, pekerja sektor informal, berusia antara 31-40 tahun, berstatus perkawinan menikah, memiliki anak lebih dari 3 orang, dan menetap di 10 provinsi dengan paparan tertinggi Covid 19.

Demikian nyata pandemi Covid-19 telah membuat rumah tangga menderita. Keadaan keluarga yang hari ini sulit untuk memenuhi kebutuhan,  makin di perparah ketika negara tidak memberikan perlindungan sosial. Kalaupun ada jumlahnya tidak memadai. Krisis Covid 19 telah mengungkap konsekuensi buruk dari kesenjangan perlindungan sosial di negara yang mengadopsi sistem Kapitalisme. Bahkan di kehidupan normal pun sebelum pandemi Covid 19, telah menghadapi kesenjangan perlindungan sosial yang sangat besar. 

Dalam sistem ekonomi Kapitalisme, krisis bukanlah suatu hal yang aneh, sebab memang selalu terjadi mengikuti siklus sepuluh tahunan. Melihat hal ini yang kian terulang menunjukkan adanya wabah Covid-19 ini bukanlah penyebab utama krisisnya ekonomi global, melainkan bawaan mendasar dari sistem cacat Kapitalisme. Alhasil ketika dilanda masalah seperti pandemi ini akan memperburuk kondisi perekonomian. 

Kini di tahun 2020 wabah Covid-19 mampu memporak porandakan ekonomi dunia bahkan negara adidaya sekalipun.  Sektor non real yang dipakai ekonomi Kapitalisme bagaikan benalu dalam kehidupan, sebab ia dapat menyerap banyak uang dalam skala besar tanpa adanya barang atau jasa yang dihasilkan. Disinilah sifat tamak manusia mendapat ruang, hanya memikirkan penimbunan uang dengan segala cara menjual saham, obligasi, mata uang, dan kertas berharga lainnya . 

Berbeda halnya dengan sistem ekonomi Islam. dalam Islam pengaturan ekonomi harus diawali dengan menata pembagian berbagai sektor kepemilikan ekonomi secara benar. Pembagian kepemilikan dalam ekonomi Islam ada tiga: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Mengapa harus ada pembagian tersebut? jawabannya adalah agar tidak terjadi hegemoni ekonomi. Yaitu pihak yang kuat menindas yang lemah. Seperti pencaplokan kepemilikan umum oleh swasta, baik asing maupun lokal. 

Penguasaan terhadap sumber daya alam yakni sektor tambang, gas, batu bara, kehutanan, laut, sumber daya air dan lain sebagainya. Dalam Islam, Negaralah yang harus dan wajib mengelola secara mandiri segala sumber daya alam tersebut yang hasilnya akan dikembalikan sepenuhnya untuk umat. Dan sisanya menjadi salah satu pos pemasukan keuangan negara untuk membiayai sejumlah layanan yang dibutuhkan rakyat.

Penguasaan Sumber Daya Alam (SDA) oleh negara tersebut menjadikan perekonomian negara akan stabil dan rentan terkena resesi, sebab tidaklagi bergantung dengan negara asing. Sehingga seluruh kebutuhan pokok warga negara baik muslim maupun non-muslim akan terjamin tepenuhi dengan baik oleh negara. Sasaran pemenuhan kebutuhan dalam Islam pun per individu bukan per masyarakat.

Demikianlah gambaran solusi Islam dalam mencegah krisis ekonomi. Maka seharusnya masyarakat jangan terkecoh mengambil tawaran solusi tambal sulam  dari Kapitalisme dengan peningkatan pemasukan dari ekonomi kreatif dan mengabaikan perampokan asset ekonomi strategis dari umat sebagai pemilik sah nya. Dengan demikian sudah menjadi kebutuhan mendesak bagi negeri ini untuk mengambil Islam sebagai solusi atas permasalahan yang ada. Sebab hanya dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah di seluruh sendi kehidupan akan mampu menyelesaikan seluruh problem umat manusia serta menghantarkan kita pada kehidupan yang aman dan sejahtera. Wallahu’alam bisshawab.
Previous Post Next Post