Rekor Baru Kasus Covid 19, Kebijakan Harus Dievaluasi

Oleh: Puji Ummu Mush'ab 
(Aktivis Muslimah & Pendidik Generasi)

Pandemi covid-19 masih menyerang di berbagai dunia. Salah satunya Indonesia. Jumlah penambahan kasus positifnya semakin meningkat. Pada Sabtu (29/8/2020), jumlah kasus baru COVID-19 mencatatkan rekor baru sebanyak 3.308 kasus perhari. Berturut-turut sebelumnya pada Jumat (28/8/2020) jumlah kasus baru tercatat 3.003 kasus dan pada Kamis (27/8/2020) sebanyak 2.719 kasus baru.(m.detik.com, 29/8/2020). Angka penambahan kasus positif selama 3 hari berturut-turut, mencetak rekor baru sejak awal kasus Covid 19 pada bulan maret tahun ini. Munculnya klaster-klaster baru penyebaran Covid 19 di masyarakat juga turut menyumbang tingginya kasus positif Covid 19. Klaster tersebut adalah klaster keluarga, layanan kesehatan, perkantoran bahkan yang terbaru adalah klaster industri atau perusahaan. Sebanyak 238 karyawan LG Cikarang positif Covid-19 sehingga pabrik mendadak ditutup. (www.cnbcindonesia.com, 25/8/2020). Pabrik lainnya adalah Suzuki Indonesia yang berada di wilayah Tambun, Kabupaten Bekasi terdapat 71 karyawannya terpapar virus Covid 19, tetapi tidak menutup pabriknya hanya mengurangi jumlah produksinya. (m.detik.com, 28/8/2020). 

Wiku Adisasmito sebagai Juru Bicara Pemerintah untuk Update COVID-19 mengatakan meningkatnya kasus Covid-19 disebabkan karena meningkatnya tingkat penularan Covid 19 di masyarakat dan meningkatnya jumlah pengetesan. Jadi, pemerintah menganggap massifnya tes yang dilakukan menjadi penyebab melonjaknya kasus Covid-19, bukan karena tidak diputusnya rantai penyebaran virus. Jika kita melihat lebih detail, kasus semakin meningkat seiring dengan diberlakukannya kebijakan menuju adaptasi kebiasaan baru oleh pemerintah. Adaptasi kebiasaan baru merupakan cara kita untuk merubah perilaku, gaya hidup, dan kebiasaan agar terhindar dari virus Covid 19. PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) mulai dilonggarkan dengan menerapkan protokol kesehatan agar kita tetap produktif. Hal ini diterapkan pada sektor atau bidang penting seperti, rumah ibadah, pasar atau pertokoan, perkantoran, transportasi umum, hotel, dan restoran. Pemberlakuannya dilakukan saat wilayah sudah menjadi zona aman (zona hijau) yang dihitung berdasarkan data dan fakta di lapangan. Tidak dipungkiri, pandemi membuat berbagai sektor carut-marut, terutama sektor ekonomi yang diambang jurang resesi. Pada akhirnya kebijakan tersebut diterapkan untuk menyelamatkan perekonomian dalam negeri. Nyawa rakyat menjadi taruhan.

Penguasa dianggap lambat dan masih gagap dalam menghadapi wabah. Nyawa rakyat menjadi tumbalnya jika lambat dalam mengambil kebijakan apalagi sampai keliru. Pandemi ini sudah berlangsung kurang lebih setengah tahun, seharusnya penguasa belajar dan mengoreksi dari kesalahan penanganan wabah dan selalu tanggap terhadap kasus baru. Kondisi seperti ini menunjukkan begitu tidak efektifnya kebijakan yang diterapkan dan lambatnya upaya yang dilakukan dalam menanggulangi penyebaran Covid 19. Selain itu juga menunjukkan ketidakseriusannya dalam menangani urusan rakyat, termasuk nyawa rakyat. Inilah cerminan penguasa yang jauh dari hukum Islam.

Dalam Islam, nyawa seseorang apalagi nyawa banyak orang benar-benar dimuliakan dan dijunjung tinggi. Nyawa setiap manusia itu nilainya lebih berharga. Runtuhnya Ka'bah lebih ringan di mata Allah dibandingkan terbunuhnya seorang Muslim. Menghilangkan satu nyawa manusia disamakan dengan membunuh seluruh manusia (TQS Al Maidah ayat 32). Nabi SAW juga bersabda: "Sungguh lenyapnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang Muslim". (HR. An Nasai, at Tirmidzi dan al Baihaqi). Perlindungan dan pemeliharaan syariah Islam atas nyawa manusia diwujudkan melalui berbagai hukum. Diantaranya melalui pengharaman segala hal yang membahayakan dan mengancam jiwa manusia. Sesuai dengan sabda Nabi SAW, "Tidak boleh (haram) membahayakan diri sendiri maupun orang lain". (HR Ibn Majah dan Ahmad). Pemimpin itulah yang akan menerapkan hukum-hukum itu melalui kebijakan yang diterapkan dalam negara.

Ketika terjadi wabah atau tidak, pemimpin akan mengurusi rakyatnya dengan sebaik-baiknya. Kebijakan yang diambil selalu berlandaskan dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan bukan berlandaskan materi semata. Pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya di hadapan Allah SWT. Pada masa kepemimpinan Khalifah Umar saat dilanda wabah. Beliau megambil kebijakan tegas yaitu melakukan isolasi atau lockdown dalam istilah sekarang. Hal ini sesuai dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Auf. Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: _“Jika kalian mendengar suatu negeri dilanda wabah, maka jangan kalian memasukinya. Jika wabah itu terjadi di negeri yang kalian berada didalamnya, maka janganlah kalian keluar darinya.” (HR Bukhari)._

Kebijakan tersebut tentu membawa keselamatan bagi rakyatnya. Nyawa rakyat lebih penting dari apapun. Wabah tidak akan menyebar luas ke seluruh penjuru dunia menjadi pandemi, seperti yang terjadi saat ini. Kasusnya semakin hari justru semakin meningkat. Perlu ditegaskan juga, bahwa segala upaya dan ikhtiar dilakukan tanpa mengurangi sedikitpun keyakinan kita tentang qadha dan qadar Allah SWT. Dan juga keyakinan tidak ada satu pun yang menimpa di bumi ini kecuali dengan seizin Allah, sesuai dengan firman Allah dalam QS Al-Taghabun: 11. Jadi, kita tidak boleh panik, paranoid, ketakutan berlebihan tanpa alasan yang jelas dalam menghadapi pandemi Covid 19.

Seharusnya penguasa berkaca dan belajar dari pemerintahan Khalifah Umar. Namun, hal itu hanya ada ketika sistem yang diterapkan adalah sistem Islam, sistem yang dibuat oleh Allah SWT sebagai satu-satunya pencipta alam semesta dan segala isinya. Segera bangkit dan bergerak berjuang bersama untuk menegakkan Khilafah. Insyaallah kesejahteraan akan menyelimuti kehidupan ini. _Wallahu a’lam bi ashshawab_
Previous Post Next Post