Oleh: Asep Lesmana Sanjaya
Sudahkah kita benar-benar merdeka? Itulah pertanyaan klasik dan retoris yang kembali berkecamuk di dalam pikiranku setiap momen Agustusan hadir di negeri ini. Negeri ini memang sudah merdeka secara fisik. Tidak ada lagi pasukan penjajah asing yang kita temui. Tidak ada lagi dentuman bom, meriam, dan raungan pesawat tempur musuh yang terdengar memekakan telinga. Tidak ada lagi sistem kerja paksa khas penjajah yang diterapkan. Alhamdulillah, itu semua patut kita syukuri bersama.
Akan tetapi, di balik kegembiraan bangsa kita dalam memperingati hari kemerdekaan yang ke 75 tahun, tentu masih banyak hal yang membuat kita patut bersedih sekaligus bermuhasabah. Di negeri ini, serangan pandemi Covid-19 yang telah menjangkiti lebih dari 130.000 orang dan lebih dari 6000 diantaranya meninggal, nyaris melumpuhkan semua sendi-sendi kehidupan masyarakat selama lima bulan terakhir. Imbasnya, jutaan angka kemiskinan baru muncul terdeteksi. Angka pengangguran, kriminalitas dan perceraian meningkat. Ekonomi nasional nyungsep terjun bebas hingga defisit 5%. Perangkap hutang luar negeri plus bunganya yang harus dibayar pun begitu mencekik leher bangsa ini. Penguasaan sumber daya alam yang melimpah ruah hanya oleh segelintir kapitalis, korupsi yang masih merajarela, sengkarut dunia politik, ketimpangan dalam penegakan hukum, tidak jelasnya arah pendidikan nasional, mencuatnya gejala kebangkitan neo PKI, semakin terpinggirkannya peran agama dan ulama dalam aspek pengaturan negara pun menambah daftar panjang permasalahan negeri ini. Bahtera besar bernama Indonesia saat ini seperti kehilangan pedoman. Terombang-ambing tak tentu arah dan berpotensi karam dan tenggelam bila tidak segera diselamatkan. Lantas, mampukah bangsa ini terlepas dari semua problematika tersebut dan bangkit sebagai adidaya baru?
Jawabannya tergantung dari sudut pandang dan basis ideologi mana yang dipakai. Bila anda seorang yang berpaham sosialisme-komunisme, tentu anda akan mengambil rujukan Karl Marx, Lenin, dan tokoh sosialis-komunis lainnya sebagai peletak dasar sosialisme-komunisme. Bila anda penganut paham kapitalisme sekuler-liberal, tentu anda pun akan memandang dari kacamata ideologi tersebut. Begitu pula bila anda orang yang berideologi Islam, anda tentu akan berusaha memandang setiap permasalahan dan mencari solusi menurut tuntunan Al-Quran dan sunah Nabi Muhammad Saw.
Pertanyaan selanjutnya yang sangat penting adalah dengan kacamata mana rezim saat ini memandang problematika yang ada? Lalu solusi yang akan diupayakan pun mau menggunakan basis ideologi yang mana? Apakah sosialisme-komunisme, kapitalisme sekuler-liberal, atau Islam?
Mari kita renungkan secara jernih. Sosialisme-komunisme tentu bukan pilihan. Karena sudah nyata ideologi ini adalah musuh besar agama dan bahaya laten yang senantiasa mengancam. Paham kapitalisme sekuler-liberal sekarang sedang diterapkan di negeri ini. Bukannya kemajuan dan kesejahteraan yang didapat, sebaliknya hasilnya kita bisa lihat sendiri. Negeri ini semakin dalam terpuruk di semua lini kehidupan. Tetap bertahan pada tatanan hidup kapitalisme sekuler-liberal tentu bukan pilihan yang bijak. Jika kita tidak mau beranjak dari sistem kapitalisme sekuler-liberal ini, maka ibarat pepatah unta yang jatuh ke dalam lubang yang sama berkali-kali. Sudah saatnya negeri ini bangkit dan menatap masa depan dengan optimis. Olengnya peradaban barat yang dikomandoi Amerika dan eropa akibat pandemi covid-19 merupakan bukti nyata bahwa peradaban kapitalisme sekuler-liberal tidak layak kita jadikan contoh. Resesi ekonomi global kini menghantui hampir semua negara di dunia termasuk Indonesia. China sebagai kekuatan ekonomi dan politik dunia baru pun bukanlah model yang baik sebab ada nuansa sosialis komunis disana yang begitu kental. Kita tahu sendiri, bangsa kita sangat anti dengan komunisme.
Maka satu-satunya harapan untuk menyelamatkan negeri kita tercinta ini adalah dengan Islam. Ya, Indonesia dengan segala potensi geografis, SDM dan SDA yang melimpah ruah insya allah akan bangkit dan maju menjadi sebuah negara superpower abad 21 bila menjadikan Islam sebagai ruh sekaligus sebuah sistem dalam tatanan kehidupan individu, berbangsa, dan bernegara. Islam mengharuskan mengangkat seorang pemimpin yang beriman dan bertakwa, cakap, berilmu, mencintai ulama dan rakyatnya, merdeka dari campur tangan asing, berkemauan keras untuk memakmurkan rakyatnya, serta peduli terhadap urusan agama dan kaum muslimin di belahan bumi mana pun. Islam memiliki seperangkat aturan yang jelas berdasarkan wahyu ilahi sehingga tidak akan ada konflik kepentingan disana. Tidak akan ada jual beli hukum sebab hukum islam pijakannya nyata yaitu Al-quran dan as-sunah, bukan produk hukum buatan manusia yang bisa diperjualbelikan. Islam akan dengan mudah menutup rapat-rapat jebakan hutang luar negeri apalagi yang berbunga sebab Islam jelas melarang praktik riba. Negara akan memaksimalkan pemanfaatan SDA yang ada untuk membiayai pemenuhan kebutuhan pokok rakyat sehingga tidak akan terus menerus membebani mereka dengan berbagai pungutan dan iuran seperti saat ini terjadi. Negara akan sangat memperhatikan aspek keamanan, kesehatan dan pendidikan rakyatnya karena ketiga bidang tersebut sangat penting dalam menciptakan stabilitas dalam dan luar negeri.
Demikianlah sekilas gambaran dari berbagai kemungkinan pilihan solusi bagi negeri ini. Sekali lagi, solusi mana yang hendak kita ambil untuk kebangkitan dan kemajuan ibu pertiwi? Quo vadis Indonesiaku? Hendak kemana negeri ini dibawa? Sosialisme-komunisme, kapitalisme sekuler-liberal, ataukah Islam rahmatan lil’alamin? Semoga kita tidak salah dalam memilih. Merdeka! Allahu akbar!
Bandung 17 Agustus 2020
*Penulis adalah seorang pendidik di kota Bandung