Praktik Politik Dinasti dalam Pilkada 2020: Keniscayaan Sistem Demokrasi

By : Putri M. Anisa
 Mahasiswa, Komunitas Annisaa Ganesha

Meskipun Indonesia masih dilanda pandemi, Pilkada serentak 2020 akan tetap diselenggarakan. Tentu ini adalah suatu keanehan yang terlihat dipaksakan. Walau begitu, ada hal menarik lain dalam pilkada kali ini. Tak hanya aturan teknis yang dilengkapi dengan protokol kesehatan, ternyata juga tercium aroma politik dinasti karena muncul sederet nama kerabat dekat pejabat negara yang akan bersaing dalam pesta demokrasi kali ini. Mulai dari anak, menantu, orang tua, pasangan, hingga keponakan. Salah satunya adalah putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, yang diusung oleh PDIP sebagai Calon Walikota Solo. Berdasarkan penuturan Direktur Eksekutif Media Survei Nasional (Median), Rico Marbun, pengusungan tersebut merupakan simbol kekuatan pengaruh Jokowi dalam tubuh PDIP (Republika, Jumat 17/7). Majunya Gibran sebagai kandidat Pilwakot Solo tahun ini menandai cikal bakal dinasti politik keluarga Jokowi. Hal senada juga dituturkan oleh pengamat politik dari Universitas Al-Azhar, Ujang Komarudin. Menurut beliau penguasa di Indonesia saat ini tengah berupaya untuk membangun dinasti politiknya. “Mumpung sedang berkuasa, anak-anak dari jajaran penguasa ini dicalonkan menjadi kepala daerah hingga wali kota”, ujarnya dikutip dari Kompas.com. Beliau menilai pencalonan tersebut akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Hal ini akan membahayakan proses demokratisasi karena demokrasi dapat dibajak oleh kekuatan oligarki dan dinasti politik.

Memang, ini bukanlah kali pertama munculnya itikad membangun politik dinasti atau politik oligarki dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Praktik ini bahkan dilegalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pasal 7 huruf r UU No. 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Aturan tersebut menyatakan bahwa ketentuan pencalonan kepala daerah dapat berasal dari keluarga petahana. Oleh karena itu, keberadaan politik dinasti maupun politik oligarki dalam pemerintahan di negeri ini merupakan suatu keniscayaan.

Sistem demokrasi yang diterapkan di negeri ini menjungjung tinggi suara terbanyak sebagai syarat kemenangan. Dalam jaman populis seperti sekarang hal ini hanya dapat dicapai melalui dana yang besar, popularitas, maupun pengaruh yang dimiliki. Sedangkan konsep kedaulatan di tangan rakyat hanyalah pemanis belaka. Sebab, rakyat hanya diberikan otoritas untuk memilih calon yang telah disiapkan oleh partai politik untuk duduk di tampuk kekuasaan. Proses penyaringan calon oleh parpol secara alamiah akan sangat terpengaruh oleh kepentingan parpol dan kepentingan orang-orang yang memiliki pengaruh besar dalam tubuh parpol. Wajar apabila muncul praktik politik dinasti dan politik oligarki dalam sistem demokrasi, bukan sekedar anomali. Praktik seperti ini sangat berbahaya karena akan berpotensi melahirkan penguasa yang tidak kompeten karena mereka terpilih atas hasil persekongkolan elit penguasa. 

Berbeda dengan sistem demokrasi, sistem Islam mengarahkan rakyat untuk memilih pemimpin berdasarkan kapabilitasnya untuk memimpin serta menjalankan seluruh syariat Islam. Hal ini dikarenakan kepemimpinan ditujukan untuk menegakkan agama dengan melaksanakan syariat Islam dan memenuhi kemaslahatan umat. Menurut Imam al-Mawardi, dalam bukunya al-Ahkam al-Sulthaniyyah, syarat seorang pemimpin diantaranya berilmu baik dalam urusan mengatur negara maupun dalam pengetahuan agama.

Selain itu, pemimpin juga harus berlaku adil. Menurut Jabir Qamihah, dalam kitab al-Mu’aradhah Fi al-Islam, pemimpin adil ialah pemimpin yang bertakwa, menjalankan amanah kepemimpinan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS An-Nisa: 58 yang artinya “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Pemimpin juga dinilai berdasarkan ketakwaannya kepada Allah. Ketika seseorang bertakwa, ia akan terhindar dari perbuatan dosa, tidak terobsesi mengejar kepentingan dunia, dan dapat dipercaya memegang amanah kepemimpinan. Seseorang akan berpikir dua kali untuk diamanahi sebagai pemimpin dalam sistem Islam karena ia sadar betul bahwa kepemimpinan merupakan amanah yang berat pertanggungjawabannya. Rasul pun telah mengingatkan manusia dalam sabdanya, “Siapa yang diamanati Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memimpinnya dengan tuntunan yang baik, maka ia tidak akan dapat merasakan bau surga.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk menghentikan praktik politik dinasti dan oligarki di negeri ini adalah dengan menyingkirkan sumber masalahnya, yakni penerapan sistem demokrasi. Kemudian menggantinya dengan sistem pemerintahan Islam yang akan mencegah praktik politik tersebut terjadi. Hanya dengan sistem Islamlah akan terwujud sistem pemerintahan yang berorientasi pada kemakmuran rakyat dan terbebas dari kepentingan golongan elit tertentu. Wallahu a’lam bishshawwaab.
Previous Post Next Post