Oleh: Maya Puspitasari
Beberapa hari lalu publik disuguhkan video viral tentang antrian mengular panjang di Pengadilan Agama Soreang Kabupaten Bandung. Antrian dalam video tersebut menunjukkan beberapa warga yang mayoritas perempuan sedang mengantri untuk mengajukan gugatan cerai. Bukan hanya di Kabupaten Bandung, beberapa kota lain di Indonesia pun ditengarai mengalami kenaikan tingkat perceraian selama pandemi.
Banyak pihak setuju bahwa pandemi menjadi salahsatu pemicu mengapa perceraian marak. Tekanan ekonomi yang semakin sulit seperti pendapatan suami berkurang atau bahkan berujung di-PHK sementara kebutuhan semakin banyak tampaknya menjadi penyebab. Ditambah tuntutan WFH (work from home) yang harus diselingi SFH (school from home) membuat konflik di rumah semakin tidak bisa terelakkan.
Bupati Bandung dan Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah mengungkapkan pendekatan agama bisa mencegah terjadinya perceraian di tengah-tengah keluarga. Bupati Dadang Nasser menyampaikan agar para ulama turun tangan dalam memberikan nilai-nilai religi pada masyarakat agar suami-istri tidak langsung menempuh perceraian sebagai solusi permasalahan. Sementara itu, Muharam Marzuki menyarankan agar suami istri melakukan kegiatan beribadah bersama seperti memperbanyak shalat berjamah dan lebih rajin mengaji.
Penerapan aturan yang memisahkan antara agama dengan kehidupan sebenarnya menjadi penyebab utama. Jika ekonomi menjadi pemicu masalah dan menjadikan ibadah ritual sebagai solusi sepertinya tidak akan memecahkan masalah dengan tuntas. Karena saat suami-istri sudah rajin beribadah, mereka akan terbentur dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang masih meninggalkan hukum-hukum Allah. Tekanan ekonomi yang dirasakan oleh sebagian besar keluarga di Indonesia yang kemudian memicu perceraian tidak menyangkut permasalahan individu semata. Masyarakat dan negara pun memiliki peranan penting dalam menanggulangi permasalahan di ranah keluarga ini.
Individu yang bertakwa yang membangun keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah menjadi pilar pertama dalam menjaga ketahanan keluarga. Tidak seperti saat ini dimana masyarakat cenderung individualis, masyarakat yang peduli diperlukan untuk sebagai pengawas dan bila diperlukan bisa menjadi mediator di tengah suami-istri yang tengah berkonflik.
Pemegang peranan yang besar sebenarnya adalah negara yang seharusnya melakukan tindakan preventif agar keutuhan rumahtangga bisa tetap terjaga. Pendidikan dan bimbingan dalam membentuk keluarga harmonis disediakan pemerintah secara cuma-cuma dan disosialisasikan secara besar-besaran. Kendala yang dirasakan oleh keluarga yang bisa memicu perceraian seperti pengeluaran tambahan untuk membeli kuota internet juga harus disediakan ke seluruh lapisan masyarakat terutama ke keluarga dengan tingkat sosioekonomi rendah. Penyediaan rumah layak dengan harga terjangkau dan kebutuhan sandang serta pangan menjadi tanggungjawab pemerintah juga.
Alhasil seluruh lapisan yakni individu, masyarakat dan negara semuanya bisa berperan aktif dalam menjaga keutuhan keluarga termasuk di masa pandemi ini.
Wallahu a'lam.