Oleh: Aktif Suhartini, S.Pd.I.
Ibu Rumah
Tangga/Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok
Usia anakku saat ini sedang menginjak
remaja menuju dewasa dan mulai menunjukkan perilaku yang membingungkan.
Tiba-tiba senang berdiam diri di kamar,
malas berbicara, komunikasi
interaktif hampir tidak pernah terjadi. Sebagai seorang ibu, tentunya dengan sabar dan perlahan serta
mengeluarkan bujuk rayu untuk mengetahui,
apa yang terjadi sehingga terdapat perubahan yang signifikan? Dengan
sedih anakku bercerita, dia disakiti teman dekatnya. Yang anak muda sekarang
menyebutnya putus cinta. Astaqhfirullah, anakku sudah terkontaminasi
dengan pergaulan remaja yang katanya sudah umum terjadi. Itulah yang terjadi,
mungkin di antara ibu-ibu semua pasti pernah menghadapi peristiwa seperti ini.
Sungguh sangat sulit menghadapi masalah
ini, disaat orang tua memberikan pendidikan dan pengajaran sesuai hukum syara
bahwa tidak ada pacaran dalam Islam, pacaran itu hukumnya Haram. Tapi apa
jawaban mereka? “Kayak enggak pernah muda saja, Mommy nih. Emang salah
kalau orang jatuh cinta? Emang enggak boleh sedih bila ditolak atau diputusin
pacar? Bukannya Allah kasih rasa kasih sayang dalam setiap diri manusia?”
Subhanallah...Pertanyaan-pertanyaan
yang dilontarkan anakku tersebut
terkesan membenarkan apa yang dia lakukan. Padahal, kata pacaran atau
putus cinta, tidak ada tuntunannya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Patutkah
bersedih hanya karena diputuskan pacar atau ditolak sang calon pacar? Apakah
permasalahan ini akan dihisab Allah di yaumil akhir nanti sehingga termasuk
masalah yang patut disedihkan.
Oh, anakku...Bila engkau belum bisa
mempelajari atau meIaksanakan syariat Islam dan belum mampu berjuang untuk
Islam, itulah yang patutu engkau sedihkan. Karena manusia akan ditanya di
akhirat kelak, untuk apa waktu dan usia yang Allah berikan di dunia? Terbersit
rasa sedih dan kecewa dari seorang ibu yang sedang berusaha mendidik anaknya
untuk mengenal sistem pergaulan dalam Islam, tapi terkalahkan dengan lingkungan
pergaulan anak yang belum tersentuh Islam secara keseluruhan.
Siapakah yang salah dengan keadaan seperti
ini? Mengapa, tidak ada kesamaan dalam pendidikan dan pengajaran pada anak
antara pihak keluarga dengan pihak masyarakat (lingkungan tempat anak
berinteraksi) dan juga pihak negara yang sewajarnya melindungi rakyatnya?
Tentu saja, sistem sekuler yang memisahkan agama
dan kehidupan menjadikan tidak ada kesamaan dan kekompakkan antara pihak
individu (keluarga), masyarakat dan negara. Di sistem sekuler ini, seorang yang
mengaku dirinya Muslim, bisa saja tidak akan merasa takut akan kemaksiatan yang
dia lakukan, karena tidak ada iman dan takwa dalam dirinya. Begitu juga dengan
masyarakat, seakan cuek saja, terkesan tidak peduli, yang penting bukan saya
yang berbuat maksiat. Peduli amat.
Bahkan, dalam sistem sekuler ini, aturan
manusialah yang dipakai negara untuk menyelesaikan semua permasalahan kehidupan
yang terjadi. Jika pengaturan kehidupan diserahkan kepada manusia, akan tampak
perbedaan dan pertentangan tatkala pengaturan itu berjalan. Hal ini menunjukkan
tanda kelemahan manusia dalam mengatur aktivitasnya.
Negara pun seakan membiarkan kemaksiatan
merajalela tanpa ada sanksi yang membuat mereka jera, membuat generasi ini
hidup tanpa pijakan yang benar dan
mereka rentan terjerumus pada kemaksiatan. Padahal, negara mempunyai
peranan yang paling penting dalam membentuk generasi yang jauh dari perbuatan
maksiat yang dibenci Allah SWT.
Namun, lain halnya di dalam sistem Islam.
Dalam sistem Islam, tiga peranan inilah yang akan bersinergi guna membentuk
generasi yang taat syariat dengan
berkepribadian Islam, baik pola pikir dan pola sikapnya sesuai dengan apa yang
Allah perintahkan dan yang dilarang-Nya. Tiga pilar tersebut yakni: Pertama,
individu yang bertakwa. Takwa inilah buah dari keimanan seseorang yang
benar-benar memahami makna pemikiran rukun iman dan sadar betul konsekuensi
dari melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, yakni Surga atau Neraka. Dari
takwa itu juga akan tumbuh rasa al khauf (takut) dengan azab yang akan
menimpa dirinya.
Kedua,
kontrol masyarakat. Di sinilah pentingnya peranan masyarakat untuk melakukan
kontrol terhadap antar sesama manusia, dengan saling mengingatkan di antara
mereka. Sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah SWT dalam Qur’an Surah
Al-Ashr ayat 1-3 yang artinya, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar
dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran.”
Ketiga, negara
yang menerapkan hukum Islam. Negaralah yang paling berperan dalam hal ini.
Ketika individunya sudah beriman dan
bertakwa, masyarakat pun saling nasihat menasihati, tapi tidak ada sistem
yang menerapkan hukum Islam, mustahil hukum Islam bisa terlaksana. Karena yang
berwenang untuk menerapkan hukum Islam adalah negara.
Negara pun dengan tegas akan memberikan
sanksi/hukuman bagi siapa saja yang melanggar aturan Islam, sehingga tidak ada
lagi yang berani melakukan perbuatan dosa itu kembali. Saat ini, seandaianya
negara menyatakan pacaran itu haram dan berdosa dan pelakunya akan dikenai
sanksi, maka tidak akan ada yang melakukan aktivitas pacaran atau aktivitas
yang mendekati pacaran, insya Allah. []
Post a Comment