Oleh: Azizha Nur Dahlia,
Mahasiswa universitas Bina Sarana Informatika
Polemik di kancah pendidikan Indonesia seakan tak pernah tuntas. Terakhir datang dari menteri pendidikan, Nadiem Makarim terkait kontroversinya atas rencana pemberian dana hibah Kemendikbud dalam Program Organisasi Penggerak (POP) pada Putera Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation.
Polemik baru kembali muncul dari wacana yang akan memulai kembali sekolah tatap muka, apakah ini akan menjadi harapan baru dengan minimnya persiapan? Ini seperti angin segar bagi anak-anak yang mulai jenuh dan guru yang mulai kesusahan dengan media ajarnya juga orang tua di rumah yang mulai kewalahan dengan pembelajaran jarak jauh (PJJ) ini.
Walaupun Nadiem meminta agar yang berada di zona hijau atau kuning saja yang bisa menerapkan sekolah tatap muka ini baik jenjang sekolah maupun perguruan tinggi. Dengan sekelumit peraturan protokol kesehatan yang dibuat dan juga aturan untuk merotasi jumlah pelajar yang akan mengikuti langkah ini. Lalu ia meminta bahwasannya materi yang bersifat teori tetap dilakukan secara daring namun materi praktikal atau yang menggunakan laboratorium dan mesin bisa menggunkan langkah ini.
Di sisi lain KPAI, Aris Sirait menentang hal ini seperti yang dilansir dari Tribunnews.com bahwa dirinya menegaskan bukan karena tidak percaya dengan protokol kesehatan yang digalakkan oleh pemerintah dan pihak sekolah, namun lebih melihat dari sudut pandang siswa, khususnya untuk sekolah dasar yang memiliki sifat masih kekanak-kanakkan. "Siapa yang menjamin ini? Sekali lagi pertimbangannya adalah dunia anak adalah dunia bermain," ujar Sirait, dalam acara Kabar Siang, Sabtu (8/8/2020). Juga amat disayangkan ada beberapa pihak yang sangat menunggu langkah ini untuk direalisasikan dan sepertinya pemerintah bergerak karena ada tuntutan dari sana tanpa memperhatikan resiko yang akan timbul dari langkah tersebut tanpa adanya persiapan yang memadai. Jika melihat hal itu, maka penerus bangsa bukanlah kelinci percobaan.
Ini terlihat dari kebijakan yang dibuat tak jelas arah geraknya akan ke mana. Seperti dana BOS yang katanya bisa digunakan untuk pembelian kuota internet namun masalahnya adalah sinyal internet yang tidak stabil dan lebih parahnya ada daerahnya yang tidak tersentuh sinyal sama sekali. Ditambah lagi tentang gawai yang digunakan karena ada yang keluarga hanya memiliki satu untuk bersama juga ada yang sama sekali tidak punya. Lalu pengelolaan dana BOS juga belum sepenuhnya bisa terjamin karena untuk penggunaannya diserahkan lagi kepada pihak sekolah dan tentu inipun belum bisa menjamin akan diberikannya kuota atau gawai secara gratis. Lantas bagaimana cara mereka akan belajar?
Juga protokol yang diberikan belum bisa memastikan bisa melindungi dari serangan virus Covid-19 ini. Yang ditakutkan adalah sekolah menjadi klaster baru baik dalam zona kuning atau hijau sekalipun dalam penyebaran virus ini ditambah lagi ada pasien yang terdiagnosa OTG atau orang tanpa gejala ini lebih berbahaya.
Seperti yang dikutip dari laman online hits.grid.id, Nadiem juga kembali menegaskan bahwa harus ada kesepakatan dari pihak sekolah dan orang tua murid untuk bisa memberlakukan kembali pembelajaran tatap muka. "Kepala sekolah wajib melaksanakan daftar ceklis, kesiapan melakukan pembelajaran tatap muka, pertama kebersihan, akses fasilitas kesehatan, memiliki thermal gun, pemetaan warga satuan pendidikan, kesepakatan satuan pendidikan dengan orang tua bahwa mereka akan melakukan pembelajaran tatap muka," tuturnya."Jadi tidak mudah. Standarnya sangat ketat dan harus dimonitor dengan pemda sebelum melaksanakan pembelajaran tatap muka," tutup nadiem.
Akankah sekolah siap untuk menerapkan langkah pembelajaran jarak jauh? Begitulah apabila pendidikan sudah terkapitalisasi, tidak akan mungkin kebijakan berpengaruh kembali kepada rakyatnya karena akan rugi untuk mengeluarkan anggaran. Negara abai, rakyat bingung tak ada yang bisa diandalkan pada situasi seperti ini. Nyawa manusia di mata mereka hanyalah sebuah angka tidak ada artinya.
Berbeda dengan Islam yang akan menerapkan konsep maqashid syariah untuk menyejahterahkan umat pada situasi seperti ini yaitu kesejahteraan yang meliputi ad-din (agama), an-nafs (jiwa), al-aql (akal), an-nasl (keturunan) dan al-maal (kekayaan). Ini bisa dilakukan apabila adanya kedekatan yang lebih dengan Sang Pencipta dan Pengatur segala urusan hambanya bukan justru memisahkan agama dari kehidupan.
Karena sejatinya pemimpin adalah datang dari manusia yang lemah maka dari itu butuh campur tangan Allah dan memiliki rasa senantiasa diawasi selalu oleh-Nya. “Seorang imam (kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dan ini menjadi poin utama bagaimana khilafah harus menjamin pendidikan yang bisa diakses seluruh rakyat dengan mudah dengan menghilangkan hambatan-hambatan yang ada. Khilafah akan menyediakan tidak hanya kurikulum, namun juga materi pembelajaran dan model pembelajaran yang memadai secara cuma-cuma. Penyedia pendidikan adalah tanggung jawab negara dan dibiayai dari harta baitul mal yang diambil dari pendapatan negara yang tentunya akan mampu untuk menutup semua anggaran kebutuhan tersebut. Bukan rakyat yang harus memenuhi itu sendiri tanpa danya pertanggungjawaban dari pemimpin. []