PEMINDAHAN IBUKOTA SAAT PANDEMI KORONA

By : Dewi sulastini

Dunia sedang kewalahan menghadapi penyebaran virus corona yang terus membuat korban jiwa berjatuhan.

Bahkan Indonesia juga sedang disibukkan untuk mengatasi meluasnya penyebaran virus corona atau coronavirus (covid-19) dari hari ke hari.

Tapi sepertinya di tengah kesibukan menghadapi wabah corona, pemerintah juga tetap sibuk mengurus rencana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan.

Kemenko Kemaritiman dan Investasi menyatakan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) baru masih sesuai rencana (on the track) meski saat ini Indonesia tengah menghadapi mewabahnya virus Corona (Covid-19).

"Saat ini persiapan masih on track," kata Juru bicara Menko Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Jodi Mahardi di Jakarta, Selasa (24/3/2020).

Bbc news indonesia - Pembangunan ibu kota baru 'tertunda' karena pandemi Covid-19, kemungkinan selama minimal 'enam bulan', kata Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan.

Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, menyatakan bahwa pembangunan ibu kota baru 'tertunda' karena pandemi Covid-19, kemungkinan selama minimal 'enam bulan.'

Sementara itu, Ahmad Heri Firdaus, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan bahwa pemerintah akan menghadapi 'tantangan' dalam mengalokasikan anggaran untuk pembangunan infrastruktur di ibu kota baru karena kelesuan ekonomi nasional dan global.

"Sekarang ini defisit APBN kian diperlebar, bahkan lebih dari 5%, tapi nanti akan kembali lagi ke maksimal 3% pada 2023, ini suatu tantangan tersendiri bagaimana pemerintah bisa memberikan anggaran untuk alokasi belanja infrastruktur di daerah ibukota baru, sementara defisit harus ditekan kembali," jelasnya.

Semakin ke sini terlihat upaya pencegahan dan penanganan wabah mulai tampak longgar. Kebijakan transportasi, kebijakan mudik, PSBB, work from home, semuanya nyaris berubah. Wajar jika kondisi sosial masyarakat juga mengikuti kebijakan yang tak jelas, pergerakan terjadi di mana-mana.
Lihatlah situasi stasiun, bandara, jalan-jalan, pasar, dan mal-mal. Hari ini tak ubahnya dengan kondisi sebelum wabah. Semuanya dipenuhi masyarakat yang tak peduli lagi akan ancaman corona. Semuanya terjadi disebabkan tak ada ketegasan dan kedisiplinan dari pemilik kebijakan.

Adanya kebijakan baru dari Menhub, relaksasi PSBB dan membolehkan alat transportasi beroperasi memicu arus mudik yang tak terkendali. Seperti yang baru – baru ini dilansir dari laman liputan6.com, ratusan penumpang berdesakan di Terminal 2 Soekarno Hatta, Tangerang. Mereka bertumpuk tanpa memperhatikan jarak aman di posko pemeriksaan dokumen perjalanan.

Sekejap potret kerumuman calon penumpang yang antre tanpa jaga jarak itu viral di media sosial. Sebagian mengecam karena protokol kesehatan di tengah pandemi virus corona atau COVID-19 tidak dilaksanakan dengan tegas. Satu sisi ada larangan mudik, namun ternyata ada pelonggaran, inikan bertolak belakang tidak konsisten.

Menurut Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Hermawan Saputra, Kebijakan pemerintah yang tak konsekuen. Misalnya, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang hanya diberlakukan di beberapa daerah, namun dibuat juga kebijakan baru seperti pelonggaran aturan bepergian yang tak ketat, dan parsial alias per daerah dinilai bisa menyebabkan munculnya gelombang kedua atau second wave virus corona di Indonesia. (cnnindonesia.com).

Tampak sekali terlihat kian hari para elit pemegang kekuasaan kian tak peduli dan kehilangan rasa empati dan lepas tangan dari kewajiban mengurus rakyat terutama yang terdampak wabah. Pertanyaannya adalah bagaimana wabah pandemi corona ini akan berakhir, sementara kebijakan terus berubah tanpa ada kepastian dan keseriusan pemerintah.

Memang tidak bisa dipungkiri dampak pandemi ini sudah sangat menjadikan perekonomian dunia bahkan Indonesia sendiri anjlok. Roda ekonomi sudah nyaris lumpuh dan saatnya harus kembali diputar menurut pemerintah. Namun mengapa strategi jalan keluarnya seakan trial and error, dengan membiarkan rakyat kembali beraktivitas diluar sementara wabah masih melanda. Apakah ini konsep semacam “herd immunity” yang kemudian jadi pilihan jalan?

Jika meniru cara alami ini, maka semakin banyak orang yang terinfeksi dan sembuh, maka semakin banyak juga orang yang kebal. Lama-kelamaan, herd immunity akan terbentuk. Namun pertanyaanya, apakah hal tersebut setimpal dengan risiko kematian dan jumlah infeksi yang akan terjadi?.

Apalagi jika menyerahkan penyelesaian wabah pada mekanisme seleksi alam, jelas merupakan sebesar-besarnya bentuk kezaliman. Demi alasan ekonomi, rakyat dibiarkan bebas tertular.

Maka adanya pandangan bahwa rezim hari ini sesungguhnya sedang berdiri di sisi kepentingan para pemilik bisnis besar yang notabene adalah pemilik modal global. Pandangan tersebut cukup beralasan, terlihat dengan membuka kembali aktivitas perekonomian yang sedang coba kembali diputar hakikatnya adalah roda ekonomi kapitalisme global.

Lihat saja siapa pemilik bisnis besar itu, bukan memakmurkan perekonomian rakyat yang di situasi wabah semestinya jadi tanggungan pemerintah. Akibat penerapan sistem kapitalis sekuler di negeri ini, para elit hanya mementingkan kepentingan para kapitalis ketimbang rakyat. Sistem ekonomi negeri dikelola dengan sistem kapitalis neoliberal hingga kekayaan alam milik rakyat pun hampir seluruhnya dikuasai korporasi lokal dan global.

Bahkan hajat hidup orang banyak pun habis dibisniskan oleh para elit pemangku kebijakan. Bisa dibayangkan dengan membuka ekonomi baru atau memutar roda ekonomi di tengah wabah, berarti berkonsekuensi mendorong masyarakat untuk masuk ke tengah kancah? tentu resikonya adalah dengan membiarkan rakyat keluar menantang virus yang lemah menjadi pihak yang kalah?

Sejatinya bagi peradaban kapitalisme, penerapan konsep yang berisiko mengancam keselamatan rakyat seperti ini memang sah-sah saja. Karena dalam peradaban ini semua aspek, termasuk aspek kemanusiaan harus tunduk pada kepentingan pemilik modal/kapitalis.

Itulah kenapa selama ini rakyat banyak selalu menjadi pihak yang dikorbankan. Bahkan di tengah krisis ini pun para kapitalis tetap berusaha meraup sebesar-besar keuntungan. Mulai dari industri farmasi, alat kesehatan, telekomunikasi, industri layanan berbasis online, hingga industri asuransi, infrastruktur, dan yang lainnya.

Bagaimana dengan negara? dalam sistem kapitalisme negara hanya bertindak sebagai fasilitator dari segala kepentingan para pemilik modal. Sebab dalam sistem kapitalis biaya politinya demokrasi itu sangat mahal, harus banyak modal untuk meraih kekuasaan. Tak heran jika penguasa akan selalu bergandengan tangan dengan para pengusaha, sponsor atau pemilik modal.

Tidak ada makan siang gratis dalam sistem ini, maka timbal baliknya adalah segala kebijakan yang dibuat para elit hanya untuk kepentingan kapitalis sedang rakyat dibiarkan tanpa pengurusan.

Dalam Islam, urusan nyawa rakyat menjadi hal yang diutamakan. Bahkan keberadaan syariat dan negara dalam Islam (yakni khilafah) salah satunya berfungsi untuk penjagaan nyawa manusia dan penjamin kesejahteraan hidup mereka.

Wajar jika saat peradaban khilafah ini selama 13 abad lamanya tegak, umat manusia hidup dalam kedamaian sesungguhnya. Apa yang dibutuhkan manusia, mulai dari kebutuhan dasar termasuk kesehatan, kehormatan, keamanan, benar-benar dipenuhi negara. Negara betul-betul bertanggungjawab dalam mengatasi wabah pandemi hingga tuntas. Pemimpin yang terdepan dalam mengurus rakyatnya.

Sebab peradaban Islam tegak di atas keshalihan pemimpin, paradigma bahwa amanah kekuasaan tak hanya berdimensi dunia, tapi juga berdimensi akhirat. Maka bisa dipastikan, negara dan penguasanya akan sungguh-sungguh menunaikan kewajiban. Menjadi pengurus umat sekaligus menjadi penjaganya.

Sudah waktunya kembali pada sistem aturan yang Allah wajibkan, sistem syariah Islam yang membawa pada peradaban emas mercusuar dunia dengan kegemilangannya. Dengan penerapan sistem Islam, maka kesejahteraan dan kemakmuran akan dirasakan baik muslim maupun non muslim. Tidakkah kita menginginkannya kembali?
Wallahu a’lam bish shawab.
Previous Post Next Post